............✏
Aku sedang menunggu Ibu sejak lima menit yang lalu. Teman-teman dekatku sudah pada pulang. Keela, Awa, Depi, Iqbal, dan Natasya, mereka biasa pulang sekolah bersama dengan sepeda masing-masing. Sebenarnya aku juga ingin pulang bareng dengan mereka, tapi rumahku jauh, nggak memungkinkan untuk bersepeda ke sekolah.
“Yang lain sudah pulang, kamu kok belum?”
Aku menoleh. Suara si anak baru ternyata.
“Belum dijemput.”
“Aku temani kamu sampai dijemput ya, Ai?”
“Nunggu sendiri aja. Kamu mending pulang duluan.”
“Kalau nggak mau bicara sama aku, gapapa. Aku diam aja nemeninnya.”
“Terserah deh.”
Lalu dia benar-benar diam saat menemani. Duduk manis di bawah pohon mangga sambil mencoret-coret tanah dengan ranting pohon. Aku mendekat, barulah kelihatan hasil coretannya.
Baru saja aku ingin bertanya, tapi Ibu keburu datang.“Dave, aku udah dijemput. Makasih udah nemenin.”
“Aku senang dengar kamu memanggil namaku.”
Tidak aku jawab lagi. Aku langsung bergegas masuk ke mobil.
“Hati-hati di jalan, Ai.”
Di jalan, Ibu terus mengajakku bicara seperti biasanya. Bertanya bagaimana hari ini di sekolah, apakah aku kesulitan ketika belajar, hingga bertanya bagaimana aku memperlakukan teman-temanku.
Ibu paling mengerti, anaknya ini paling seenaknya sendiri jika tidak suka dengan seseorang. Ibu tau, banyak anak laki-laki yang menyukaiku. Begitu juga dengan anak perempuan. Jadi aku tak akan pernah untuk tidak memiliki teman. Akibatnya, aku jadi pemilih. Hanya berteman dengan orang-orang yang menurutku pantas berteman denganku.Jadi teringat apa yang Dave tulis di tanah tadi. Kalau ku acuhkan, anak-anak lain biasanya langsung berhenti mendekatiku. Tapi Dave malah mencoba lagi. Tadi dia menulis, menjadi senja untuk Aileen.
Aneh, kan? Aku nggak paham apa maksudnya.“Bu, kenapa sih mereka ingin berteman dengan aku?”
“Karna Aileen menyenangkan, mungkin.”
“Menyenangkan apanya? Aku aja suka jahat ke mereka.”
“Kenapa harus bersikap jahat kalau mereka bahkan selalu baik sama kamu?”
“Salah mereka dong, Bu, tetap baik padahal udah dicuekin.”
“Memang seperti itu harusnya.”
“Apa hanya karna Aileen cantik ya, Bu?”
“Mereka yang tetap baik meski kamu menyebalkan adalah orang yang tulus, Nak.”
“Tapi kalau Aileen nggak cantik, mau bersikap baik sekalipun, mereka nggak akan sebaik kalau Aileen cantik.”
Ibu hanya tertawa menyerah. Baiklah, tidak ada yang bisa menyangkal pendapatku yang satu itu. Sudah pasti ibu setuju. Nggak mungkin aku mendapatkan surat-surat cinta ala anak kelas 5 SD setiap hari di laci mejaku, kalau aku nggak cantik. Nggak mungkin teman-teman berebut ingin bermain bersamaku, mencuri perhatianku, dan baik padaku, kalau aku nggak cantik.
Buktinya, Wati dan tiga temannya tidak punya banyak teman, karna mereka ... eh kata Ibu nggak boleh begitu.🍁🍁🍁
“Aileen,” suara Bu Jubaedah memanggilku dari meja guru.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sad Girl [Sudah Terbit]
Teen Fiction"Cukup, Ai. Jangan pernah ngejar gue lagi. Biar gue aja yang ngejar lo!" "Tapi kapan kamu bakalan ngelakuin itu? Aku sayang kamu. Gak mau kehilangan kamu, Dave." "Lo inget kata-kata gue ini. Suatu saat nanti gue pasti bakalan balik lagi ke lo. Nggak...