Seventeen

50.7K 3.4K 63
                                    

Yang habis sahur mana suaranya, aduh yang diem diem aja nih pasti golongan abis Sahir langsung molor bangunnya pas mau Maghrib wkwkkwk. Oh iya, buat nemenin puasa kalian selamat membaca part terbaru yaaaaa. Jangan lupa komen dan rekomendasi kan ke temen kalian jika cerita ini emang menarik bagi kalian. Semangat ya yang lagi puasa hari ini. Ditunggu komennya.

Dela tidak tau apapun saat tiba-tiba
saja sesosok wanita menjambak rambutnya. Menyumpah serapahi nya dengan berbagai kata kotor. Tidak ada yang membantu, Adamson tetap bersedekap sembari menyaksikan kelanjutan penyiksaan ini. Dela merintih berkali-kali, saat dirasa rambutnya sudah akan lepas dari kepalanya.

Plak

Ini sudah tamparan yang keberapa kalinya? Pipi Dela juga sudah mati rasa. Wanita yang tengah menatapnya secara garang ini rupanya memiliki banyak tenaga.

"Kau benar-benar pelacur!!!" Wanita di hadapan Dela menatap Dela nyalang.

"Tunggu, Nona. Sejujurnya aku tidak tau mengapa kau menyerangku seperti ini!!!" Dela balas berteriak.

"Kau berpura-pura bodoh, Jalang!!! Jangan kau pikir aku melupakan bagaimana wajahmu yang menjijikan itu saat membawa Adamson lari dari acara pertunangan ku!!!" Clara berteriak, tangannya gemas untuk mencakar wajah Dela sampai menjadi buruk rupa.

"A-aku-," Dela kehilangan kata-katanya, pandangannya beralih pada pria tampan yang tengah menatap perseteruannya dengan wanita agresif itu.

"Aku terjebak olehnya lagi? Lagi-lagi aku menjadi kambing hitam atas kesalahannya?" Dela bergumam lirih, menyadari betapa bodohnya dia yang selalu dimanfaatkan Adamson.

"Aku tidak akan mengampuni mu!!!" Clara meraih gunting yang ada di meja Dela, lalu menggunting seluruh kemeja Dela hingga terkoyak tanpa sisa.

"Stop Nona!! Aku tidak tau apapun!!!" Teriak Dela fruatasi. Dela mencoba menghentikan tangan Clara dengan gunting itu, hingga gunting itu terpental tepat depan sepatu hitam Veron. Veron berjongkok, meraih gunting itu lalu mengamatinya.

"Kau lihat Adamson? Hadiahku jauh lebih agresif daripada mangsamu. Aku suka ini." Veron tersenyum miring.

"Dasar sialan!!!" Teriak Clara sembari melemparkan vas bunga pada Dela. Vas bunga itu tepat mengenai dahi Dela, hingga darah segar mulai merembes keluar.

Dela menatap Clara tajam, tangannya menggenggam pergelangan tangan Clara kuat. Tidak menghiraukan darah yang sudah mengalir deras, tidak perduli dengan kemeja yang sudah terkoyak hingga memperlihatkan bra hitam miliknya.

"Dengarkan aku baik baik, Nona!! Pertama aku tidak membawa kabur tunangan mu, kau harus tau bahwa pria bernama Adamson itu lebih licik daripada rubah. Yang kedua, jika kau mendapati pria mu berselingkuh. Jangan salahkan wanita yang ada di samping nya, karena jika pria mu memang mencintaimu dia tidak akan tergoda dengan pelacur seperti apapun. Dan ketiga, kau sudah ditinggal di acara pertunangan sadarlah sesampah apa dirimu!!" Dela medorong Clara kasar dirinya memilih melangkah menjauh.

"Kau lihat? Mangsaku lebih tangguh." Adamson tersenyum angkuh.

Dela terpaku di depan lift, saat tubuhnya berhadapan dengan pria tampan dengan senyum ramah itu. Rasanya malu saat bertemu pria tampan itu dengan penampilan seperti ini.

Irfan terkejut kala pintu lift terbuka menunjukkan penampilan Dela yang berantakan. Tanpa berpikir panjang pria itu membalut tubuh Dela dengan jas kantornya. Melihat darah yang ada di dahi Dela terus mengalir membuat pria itu semakin panik. Sebelum membawa Dela masuk ke lift, pria itu dapat melihat bagaimana kekacauan yang ada di lantai 25 itu. Pecahan vas bunga, satu orang wanita yang duduk di lantai, dua orang pria yang tengah mengamati Dela. Pandangan Irfan bertemu dengan Adamson, sorot gelap milik Adamson seolah menusuk tajam Irfan dari kejauhan.

"Nona, darahmu-," Irfan tercekat, tidak bisa melanjutkan kata-katanya kala pandangan Dela mengunci matanya. Wanita itu menatap Irfan seolah menunjukkan kerapuhannya. Setetes air mata lolos dari mata kirinya, seolah menunjukkan bahwa batinnya jauh lebih terluka daripada dahinya. Lalu sesaat kemudian, wanita itu ambruk dengan kegelapan membuat Irfan semakin panik akan keadaan wanita cantik yang tampak rapuh itu.

***

"Terimakasih." Dela menunduk malu, pria yang membuatnya kagum itu sudah melihat betapa rapuhnya Dela. Pria itu mungkin sudah melihat betapa menyedihkannya Dela tadi.

"Sama-sama." Pria itu tersenyum lembut.

Terasa canggung, Dela sendiri tidak bisa terlalu banyak bicara kepalanya masih terasa berdenyut walau sudah mendapat penanganan di sebuah rumah sakit. Gadis itu mendongak menatap Irfan sesaat, merasa heran mengapa Irfan tidak menanyakan apa yang terjadi pada Dela.

Seolah dapat membaca pemikiran Dela dengan baik, Irfan tersenyum lembut sorot matanya menatap wanita disampaingnya yang tengah diperban dibagian kepalanya. "Aku tidak akan bertanya apa yang terjadi padamu, untuk melalui nya saja sudah sulit untukmu. Aku tidak mau melihatmu semakin bersedih mengulang ingatan buruk itu karena rasa penasaranku."

Dela tersenyum, Irfan benar-benar pria yang pengertian. Tidak salah jika sejak awal Dela mengagumi Irfan dengan begitu hebat.

"Tapi," Irfan menjeda kata-kata nya. Kakinya berhenti melangkah, matanya menyorot Dela lembut. "Aku ingin menjadi seseorang yang selalu menolongmu saat kau berada di situasi terburuk." Pria itu tersenyum lembut.

"Terimakasih, Irfan." Dela balas tersenyum, rasanya cukup melegakan dapat menemukan orang baik di dunia yang kejam ini. Rasanya Dela sangat bersyukur dipertemukan oleh Irfan yang berhati lembut.

"Dan, Hoodie ini aku akan mencucinya dan segera mengembalikannya padamu." Dela tersenyum tulus.

"Tidak usah khawatir, kau bisa mengembalikan itu jika kau memiliki waktu senggang." Irfan balas tersenyum, untung saja ia menyimpan Hoodie kesayangannya di mobil sehingga dapat digunakan wanita itu menggantikan kemeja Dela yang terkoyak.

"Ayo, biar aku antar pulang," ucap Irfan.

"Tidak. Aku akan pergi ke suatu tempat. Terimakasih atas bantuanmu hari ini, aku harap aku bisa membalasmu suatu hari nanti." Dela tersenyum, lalu tubuhnya beranjak menjauh dari pria dengan senyum ramah itu. Dela akan pergi ke tempat yang tenang, mengunjungi seseorang yang sudah lama Dela rindukan.

Ojek yang ditumpangi Dela berhenti di tempat tujuannya, setelah membayar gadis itu melangkah masuk dengan bunga mawar di tangannya.

"Halo." Dela melambaikan tangannya dengan senyum di bibirnya. "Ah, jangan khawatir aku tidak apa-apa. Dahiku hanya terbentur." Gadis itu terkekeh.

Dela menghela nafas lelah, wajahnya mendongak menatap langit. Menahan air matanya agar tidak merembes, berkunjung disini selalu berhasil membuat hati Dela perih. "Leon aku merindukan mu." Gadis itu memeluk batu nisan yang bertuliskan nama orang yang sangat ia cintai.

Gadis itu meraung kesakitan, sakit dalam hatinya saat ia tak bisa memeluk tubuh tegap milik Leon. Sakit kala ia tidak punya tempat untuk bercerita, sakit bahwa Leon telah mengkhianati nya lalu pergi kepada Tuhan. Ini tidak adil, Leon yang menyakitinya tapi kenapa harus Dela yang tersiksa oleh rindu. Kenapa hanya Dela yang tidak dalam kondisi baik-baik saja?

"Leon, aku ingin kau di sampingku. Aku ingin kau menenangkan ku, Leon aku rindu senyummu." Dela terisak mengingat dimana ia dapat tertawa bahagia dengan Leon, Dela kembali mengingat bagaimana pertemuan pertama mereka di bangku SMA dulu. Kenangan itu berputar bagai kaset rusak yang tidak bisa Dela hentikan, kenyataan yang semakin menyayat hati Dela bahwa Leon benar-benar sudah berpulang pada Sang Pencipta.

Sesungguhnya jarak yang paling menyakitkan adalah dimana kau dan dia berjarak bukan karena kota, atau negara. Berjarak pada alam yang berbeda.

Sesungguhnya hal yang paling menyakitkan adalah, dimana dia telah pergi dan kita yang ditinggalkan hanya mampu menyesali setiap perbuatan.

Dan sesungguhnya saat perjuangan sudah dikerahkan, tapi Tuhan tidak mengizinkan. Maka saat itulah, hati akan benar-benar patah dan hancur sehancur-hancurnya.

The Perfect Mom (PROSES PENERBITAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang