"Bagaimana apa kau mau mencari daun ajaib itu? Jika kau dapat menemukan daun itu, kau akan mendapatkan kekuatan yang besar! Kekuatan itu sangat kuat. Dengan begitu Hayabusa akan mudah kau kalahkan!" Parsha memerhatikan Ruby yang masih berpikir, Ruby terlihat berpikir dua kali sebelum pergi ke gua itu.
"Aku ragu," jawab Ruby pelan. Lalu menunduk.
Parsha terkekeh, "kau ingat dengan tujuanmu? Ingin memiliki sosok pria itu kan?" Parsha sengaja berbicara seperti itu agar Ruby bersemangat.
"Maksud nenek Alucard?" tanya Ruby, Ruby terlihat senang.
"Iya, dengan memiliki kekuatan yang besar, kau dapat membunuh siapapun yang menjadi penghambat dirimu untuk mendapatkan Alucard, termasuk Miya." ucap Parsha, ia tersenyum licik saat Ruby mulai terlihat yakin.
"Baiklah nek! Aku siap, demi mendapatkan Alucard, aku akan mencari daun sakti itu di dalam gua." Ruby tampak semangat.
"Bagus cucuku, sebentar lagi kamu akan memiliki kekuatan yang tak ada tandingannya. Percayalah dengan nenek!" Parsha tersenyum bangga, sebentar lagi Ruby akan menjadi anak buahnya. Tanpa diketahui oleh Ruby, Parsha rupanya hanya memanfaatkan Ruby untuk membunuh Miya.
"Baiklah nek!" jawab Ruby, senyum licik Ruby terlihat jelas, ia berpikir bahwa sebentar lagi dia akan jatuh di pelukan Alucard dan Miya akan tersingkirkan. Tanpa sadar membayangkan tentang Alucard Ruby terkekeh.
"Kenapa kau tertawa seperti itu, cucuku?" tanya Parsha penasaran.
"Tidak nek, hehe..." jawab Ruby, ia cengengesan.
"Baiklah, kalau kamu memang siap untuk pergi ke Gua itu, nenek harus memberimu ramuan sihir yang sudah nenek buat, sepertinya sudah matang!" kata Parsha lalu bangkit dari duduknya, kemudian berjalan meninggalkan Ruby yang masih duduk di atas tikar.
"Sebentar lagi kau akan menjadi milikku, Alucard, hihihi.." Ruby menyunggingkan senyumannya.
•••
Malam yang dingin ini, tidak menyurutkan niat Miya untuk menuju ke Gua itu. Bersama dengan Harith, Miya terlihat tenang. Setidaknya dia, ada yang menemaninya.
Suara lolongan serigala yang terdengar jelas walau dari kejauhan membuat Miya serta Harith saling waspada. Namun mereka mencoba untuk tetap tenang, berjalan berdampingan sambil bercakap-cakap.
"Harith!" Kata Miya, ia melihat Harith yang berjalan disampingnya.
Harith melihat keatas. Melihat manik mata Miya yang juga melihatnya, "ada apa kak?"
"Kamu, sudah menguasai ilmu bela diri yang telah diajarkan guru Shin?" Miya sengaja menanyakan itu, hanya sebagai pembuka ombrolan.
"Sudah kak, tapi masih belum sepenuhnya." Harith berkata apa adanya, ia tidak suka berbohong apalagi menipu.
"Oh... kalau begitu, besok pagi kakak akan ajarkan kamu ilmu bela diri." kata Miya, ia menyentuh pundak Harith lalu tersenyum simpul. Dia merasa senang dapat membantu.
"Kak! Kalau aku belajar ilmu sihir?" tanya Harith, ia masih mendongak ke atas memerhatikan Miya yang masih terlihat berpikir, memikirkan soal pertanyaan Harith.
Miya berpikir dua kali, "kalau kamu ingin belajar ilmu sihir, kakak tidak bisa membantu, resiko saat menggunakan ilmu sihir juga perlu diperhatikan." Jelas Miya, lalu mesem, "jadi apa kamu yakin, ingin belajar ilmu sihir?" Lanjutnya.
"Aku sebenarnya sudah siap kak! Tapi masih ragu," jelasnya.
"Kalau kamu memang siap, ingin belajar ilmu sihir, bilang saja ke guru Shin, nanti kamu pasti diajarkan tentang ilmu itu," jawab Miya.
"Tapi ingat! Setelah diajarkan Ilmu sihir oleh guru Shin, gunakan ilmu sihir itu untuk kebaikan, jangan gunakan untuk kejahatan, karena dapat merugikan kamu sendiri dan orang lain," jelas Miya panjang lebar, Harith mengangguk patuh.
"Baik Kak!" jawab Harith sambil tersenyum senang.
Sambil berjalan bersama, mereka tetap bercakap-cakap. Namun sesekali mereka berdua juga berhenti.
Sekarang mereka berhenti di bawah pohon karena rasa lapar dan haus yang menyerang mereka berdua. Untungnya Miya membawa bekal berupa buah-buahan dan air di dalam kendi ukuran kecil yang ia taruh di dalam tas kulit. Kalau saja Miya tidak membawa makanan, mereka akan lemas dan tidak dapat melanjutkan perjalanan menuju ke Gua.
"Harith, duduklah di samping Kakak!" Miya sudah dalam posisi duduk, ia menepuk rerumputan yang ada di sampingnya mengisyaratkan agar Harith segera duduk.
"Iya kak!" jawab Harith, kemudian ia duduk.
Mereka berdua duduk di bawah pohon mangga, pohon itu lebat dan angin malam membuat mereka kedinginan. Dengan inisiatif Miya mengeluarkan kain tebal yang dibawanya dari rumah untuk digunakannya sebagai selimut. Lalu memberikannya kepada Harith yang terlihat kedinginan.
"Pakailah ini!" Miya memakaikan kain tebal itu pada Harith, Harith menoleh lalu tersenyum.
"Makasih Kak!" katanya dengan senyuman yang belum pudar. Sekarang Harith tidak merasa kedinginan.
"Kau lapar dek?" tanya Miya, ia mengeluarkan buah pisang yang ada di dalam tas kulitnya, menawarkannya pada Harith.
"Tidak Kak! Aku tidak lapar!" Jawab Harith, suaranya terdengar pelan, rupanya Harith mulai kantuk.
"Kau benar tidak lapar? Tadi katanya lapar?" tanya Miya lagi, untuk memastikan.
Harith yang duduk di sebelahnya langsung menoleh, tangannya memegang kain tebal yang dibuatnya untuk selimut itu erat. Untuk meminimalisir udara dingin.
"Aku mengantuk kak!" ucap Harith, ia kemudian menguap dan bersandar di pundak Miya. Karena mengantuk Harith tidak merasa lapar lagi.
Miya tersenyum simpul, lalu mengelus rambut Harith yang halus. "Kalau kamu mengantuk, Pulang saja! Perjalanan masih cukup jauh!" ucap Miya lembut. Ia lebih menyarankan Harith agar pulang, karena jarak Desa Town Land dan tempatnya beristirahat sekarang, masih cukup berdekatan.
"Tidak kak! Kalau aku pulang! Kak Miya tidak ada yang menemani," jawabnya, suaranya terdengar lirih karena efek mengantuk.
Dengan perasaan yang gembira, Miya memeluk tubuh mungil Harith, seketika kehangatan menjalar di tubuhnya. "Makasih dek, kamu selalu membuat kakak bangga!" gumam Miya lirih, ia teringat masa-masa kecil dulu ketika dirinya bermain bersama Harith. Anak kecil ini selalu membantunya jika Miya kesusahan.
Tanpa sadar! Miya menguap, lalu matanya tertutup secara perlahan, karena rasa kantuk, Miya dan Harith akhirnya terlelap. Miya masih dalam posisi yang sama merangkul Harith dari samping, saling bersender satu sama lain, Harith bersender di pundak Miya sedangkan Miya menyenderkan kepalanya di kepala Harith.
Angin malam yang dingin, rupanya tidak memengaruhi Miya dan Harith untuk terlelap. Mereka tidak merasa kedinginan, atau terganggu dengan keadaan sekitar, justru mereka terlihat nyenyak saat tidur. Karena faktor kecapaian.
•••
Bersambung di part 13
KAMU SEDANG MEMBACA
Miya & Alucard [Lengkap]
FantasyMiya gadis Desa Town Land yang tinggal bersama neneknya, Vexana. Kedua orangtuanya sudah meninggal saat Miya masih berumur lima tahun. Sehingga nenek tirinya Vexana yang beralih mengasuh Miya sampai Miya tumbuh menjadi gadis dewasa. Di sinilah, Miy...