29🍀

11K 1.1K 229
                                    

Bagaikan sebuah batu karang yang setiap waktunya diterpa ombak dahsyat. Sekuat apapun batu karang itu mencoba bertahan dan berdiri kokoh, pada akhirnya lambat laun juga akan terkikis dan berakhir hancur. Sama halnya dengan Jimin. Sekuat apapun hatinya mencoba sabar dan bertahan, pada akhirnya hatinya akan sampai pada batasan dimana sudah tidak kuat lagi untuk menahan segala kesakitannya.

Kini anak itu sudah benar-benar hancur, hatinya bahkan juga fisiknya. Semuanya sudah rusak dan tidak akan mungkin dapat kembali seperti sedia kala.

Remaja manis yang dulu selalu memperlihatkan senyum indahnya seakan dirinya baik-baik saja, kini hanya dapat terbaring lemah di salah satu kamar ICU dengan berbagai alat penopang hidup yang terpasang hampir di sekujur tubuhnya.

"Hyung, aku pernah berjanji pada ibu bahwa aku akan datang padanya saat aku selesai dengan sekolahku. Dan malam tadi aku bermimpi, ibu datang menjemputku. Ibu memang tidak mengatakan apapun. Tapi dari caranya menggenggam tanganku, aku tahu ibu akan membawaku. Ah, sepertinya disana ibu sedang sangat merindukanku."

Ingatan Yoongi tentang percakapannya dengan sang adik beberapa hari yang lalu seakan mencubit hatinya. Yoongi yang waktu itu tidak perduli pada cerita Jimin, kini perasaannya mulai digeluti oleh rasa takut. Apakah mimpi yang diceritakan Jimin waktu itu adalah sebuah pertanda?

"Beginikah caramu membalas perbuatan kami?" Yoongi bergumam pelan dengan jemari yang mengusap pelan pipi Jimin yang terlihat semakin tirus.

"Bahkan kau belum menyelesaikan sekolahmu. Bagaimana mungkin kau bisa menemui ibu dan meninggalkan kami begitu saja."

Yoongi mendekatkan bibirnya pada telinga Jimin, kemudian berbisik pelan. "Tolong, berjuanglah sekali lagi Jiminnie. Bertahanlah supaya hyung bisa menebus segalanya. Hyung mohon——"

Setetes air mata Yoongi jatuh dan menetes pada sisi wajah Jimin. Dan perlahan, mata yang masih terpejam tersebut juga turut menitikan air mata membuat Yoongi semakin terisak penuh haru.

"Hyung tahu kau mendengarnya Jiminnie. Kamu harus kuat. Harus! Jangan menangis hum? Hyung akan melakukan segalanya untuk kesembuhanmu. Jiminnie harus bertahan."

-

-

-

-

-

"Tidak!"

"Yoongi, dengarkan ayah."

"Apa lagi yang harus kudengar. Persetan dengan mati otak, koma, atau apapun. Yang aku tahu Jimin masih hidup. Adikku masih bernafas."

"Yoongi, Jimin pasti sangat kesakitan saat ini. Dan dia akan semakin tersiksa bila kita semakin menahannya disini."

"Kau ingin membunuh putramu? Setelah apa saja yang kau perbuat padanya pada akhirnya kau juga akan membunuhnya? Jimin masih berjuang, brengsek!"

Yoongi berteriak frustasi, kemudian tangannya yang terkepal meninju dinding didepanya dengan begitu keras. Tidak perduli tangannya akan lebam bahkan tulangnya remuk sekalipun.

"Ayah juga tidak mau begini Yoongi. Ayah tidak ingin kehilangan Jimin. Tapi kondisinya sudah tidak memungkinkan lagi untuk bisa bertahan. Semua dokter disini sudah menyerah."

Insung menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dadanya begitu sesak mengingat fakta bahwa putra kesayangannya sudah tidak ada harapan lagi. Ayah mana yang rela melepaskan hidup putranya dan menyaksikan kematiannya dihadapan matanya sendiri?

"Ini semua permintaan Jimin. Jimin sudah jauh-jauh hari mendaftarkan dirinya sebagai pendonor organ untuk Taehyung. Ayah juga tidak menginginkannya Yoongi. Ayah juga ingin Jimin hidup. Aku lebih baik mati dari pada harus menyaksikan anakku terbujur kaku didalam peti mati."

My Brother ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang