💥MGML💥 38 | Jarak

506 40 65
                                    

Aku dan kamu tidak terpisah, hanya saja berjarak

===


Ia bingung, harus berjalan dengan senang atau melangkahkan kaki dengan sedikit ketakutan. Tapi sekarang ia tengah merasakan keduanya. Senang dengan apa yang ia nyatakan walau tak ada persiapan, juga sedikit takut dengan aura yang dipancarkan papanya.

Aldan sebagai anak satu-satunya paham betul bagaimana sifat papanya mengenai dunia remaja yang selalu dianggap sebagai masa-masa yang harus betul diperhatikan.

Ini bukan soal Aldan, melainkan Anya. Walaupun Anya bukan anak kandungnya, tapi tetap saja Anya merupakan tanggung jawabnya. Yap, sebelum ini Arya sempat mewanti-wanti Aldan untuk tak terlalu dekat dengan Anya, untuk menjaganya, melindungi, juga tak menyakiti.

Dan apa yang Arya lihat tadi? Di depan matanya ia melihat kedua remaja hampir saja berciuman. Arya sebagai orangtua tentunya marah. Tapi, rasa marahnya cepat tergantikan dengan apa yang membuatnya pulang lebih cepat dari perkiraan.

Terbukti saat sudah di dalam kamar dengan Aldan berada di depannya dalam keadaan menunduk, Arya langsung menepuk-nepuk pundak anaknya.

"Maafin Aldan, Pa," ucap Aldan terlihat menyesal.

Padahal lebih banyak persen kesenangan dalam hatinya. Mendadak wajahnya memanas saat mengingat perlakuannya tadi. Sehabis ini ia juga berniat ingin memamerkan dengan temannya, menyusul mereka sesuai tempat yang mereka sepakati sebelumnya.

"Ah soal tadi papa gak marah besar, tapi jangan diulangi. Apalagi lebih dari itu," ucap Arya mengingatkan. Sorot matanya juga terlihat tajam. Tapi, perlahan berubah. "Dan sekarang, ada yang lebih penting untuk dibahas."

Aldan menaikkan sebelah alisnya dan bertanya, "Apa, Pa?"

Arya tersenyum penuh arti. Lama-kelamaan senyum tersebut menjadi hangat. "Kamu sudah papa daftarkan di Universitas Australia, Universitas of Sydney. Fakultas bisnis, jurusan Bisnis Internasional. "

Aldan terdiam, mencoba mencerna kalimat yang barusan diutarakan Arya.

"Selamat Aldan. Papa bangga."

Kerutan pada dahi Aldan membentuk dalam. Masih mencoba berpikir keras. Baru lah beberapa menit ia paham.

"Aldan gak minta kuliah di sana. Aldan gak mau," tolak Aldan. Ia membuang muka, saat mendapati sorot Arya yang mengintimidasi.

"Papa lulusan sana, masa kamu gak mau ngikutin jejak papa?" tanya Arya. Posisinya pun kian mendekat pada Aldan.

"Enggak, Pa. Kuliah sini aja lah." Lagi, Aldan bersikeras menolak suruhan Arya.

"Udah papa daftarkan, gak bisa batal!" seru Arya tak kala bersikeras pula.

"Paaaa, gak mau. Nanti Aldan jauh dari Anya dong." Aldan merengek. Tak lama dari itu, bibirnya terkatup rapat. Sadar atas apa yang ia ucapkan barusan. "Pokoknya gak mau."

Mendengar nama Anya membuat satu ide terlintas. "Anya? Kamu suka sama Anya, kan?" tanya Arya yang ia sudah tau betul jawabannya.

Aldan mengangguk sebagai jawaban. Tak dapat dielakkan, karena memang sudah lama Arya tau mengenai hal ini.

"Nah, kalau suka tunjukkan." Satu alisnya terangkat

"Tadi kan udah, Pa," jawab Aldan santai. Sesaat ia teringat wajah Anya yang begitu dekat, embusan napas yang begitu terasa, degupan jantung yang menjadi pengiringnya. Buru-buru ia menggeleng, mengenyahkan pikirannya.

"Ungkapan doang gak menjamin. Kamu perlu menjadi sesuatu untuk mengikatnya. Papa gak mau bantu."

"Maksud papa apaan?" tanya Aldan bingung. Dahinya terlipat ke dalam pertanda ia tengah berpikir.

My Guide My Lover [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang