❇2❇ ANA (Revisi)

204 22 15
                                    

~Anathan~
.
.
.

Bila diizinkan,
takdir pasti mengijinkanmu memilih.
Tapi nyatanya tidak begitu,
karena takdir tahu
bila pilihan dihadapkan padamu
maka, tidak akan ada luka atau tangis.
Karena bahagia pasti pilihanmu
tapi, itu tidak adil.
Karena walaupun itu seonggok luka
mereka juga butuh yang
namanya keadilan.

***

"Dari mana kamu jam segini baru pulang? Kamu pikir ini hotel apa? Yang bisa kamu datang dan pergi kapan pun kamu mau? Jawab dasar pembunuh!" bentak seorang lelaki paruh baya.

Sekitar empat puluh tahunan itu, dirinya ialah pak Wijaya, Wijaya Navinko Devqi. Benar saat ini Fika ada di mision keluarga Wijaya. Rumahnya ini anggap saja seperti itu.

Kalian pasti tahu bukan, kenapa Fika pulang telat. Karena dia naik ojek. Pasti kalian janggal dengan kata 'pembunuh' tapi, itu sudah menjadi julukannya sejak sepuluh tahun terakhir. Karena kejadian itu, entah siapa pelakunya sampai sampai ia yang kena imbasnya.

"Itu tadi Fika nungguin ojeknya lama, jadi telat pulang. Maaf" hanya itu yang bisa diucapkan Fika. Tidak ada kata lain selain itu, tidak mungkin juga dia mengatakan bahwa dia menunggu Bagas pulang.

"Alah alasan doang dia pah, hukum aja udah biar gak kebiasaan" balas seorang gadis seumuran dengannya. Dia adalah saudara kembar nya yaitu Fuma, lebih tepatnya Darrel Fuma Viska Wijaya.

"Bener apa yang dibilang Fuma, kamu hanya alasan lagi iya?!" bentaknya kembali.

"Enggak pah, Fika gak alasan emang tadi ojeknya lama" ucap Fika masih dengan alasannya.

"Alah ngelak aja terus" Fuma berusaha memancing kemarahan papanya.

PPLLAAKK !

PPLLAAKK !

Papanya menampar kedua pipi mulus milik Fika. Pipi yang semula putih, sudah menjadi merah. Pipi yang dulu di belai penuh kasih sayang kini sudah menjadi tempat yang cocok untuk dipukul. Dirinya pun hanya bisa memegangi pipinya, ia tahu jika ia melawan maka ia akan berakhir di gudang.

"Papah! Pah apa apaan sih pah?, Kenapa papah nampar kak Fika, kak Fuma juga ngapain ngomporin papah, abang juga nga.."

"DIAM DIRGA!" bentak sang papah pada lelaki yang baru saja turun dari tangga. Dia Dirga, lengkapnya Devanda Dirga Viska Wijaya, putra bungsu keluarga Wijaya.

"Sejak kapan kamu berani bentak papah hah?! Pasti anak sialan ini kan yang udah pengaruhi kamu, sadar Dirga dia tidak lebih dari seorang pembunuh, ingat itu p.e.m.b.u.n.u.h" lanjut sang papah, dengan menekankan kata pembunuh.

"Gak pah, maksud Dirga gak gitu, Dirga cuma.." lagi dan lagi, ucapan Dirga terpotong. Kali ini oleh Fuma.

"Udahlah dek, pembunuh kayak dia gak pastes dibela. Paling-paling cuma alasan supaya dapet simpati doang, cih basi" ujar Fuma sambil meludah.

ANATHAN  || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang