07 ; hug

6.3K 1.2K 470
                                    

"Aku jadi mengingat bagaimana ayah menenangkan diriku, dulu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Aku jadi mengingat bagaimana ayah menenangkan diriku, dulu."

•••

Setelah selesai bekerja di restoran itu, kini Ara tengah menyantap semangkuk ramen yang dia beli di minimarket. Ia tidak tahu kalau pria itu bekerja tiga kali dalam sehari. Mulai dari pelayan di restoran, penjaga toko roti, dan sekarang adalah kasir minimarket.

Ara mendengus kesal seraya memandang Jisung yang tengah melayani banyak sekali pembeli di dalam sana. Kenapa bisa pemuda itu terlihat ... tampan? Ah, sial. Gadis itu langsung memalingkan wajahnya kala tatapannya bertemu dengan Jisung.

Kim Ara kini melirik ke jam tangannya, ini sudah hampir jam sepuluh. Ramennya sudah habis, dan sekarang dia tidak tahu harus berbuat apa. Mau tak mau, dia beranjak dari tempatnya dan masuk ke dalam minimarket. Kedua matanya menjelajah setiap rak makanan ringan di sekitarnya.

Setelah memilih beberapa camilan untuk dimakan, kini Ara harus mengantre di barisan paling belakang. "Astaga, kakiku bisa keram jika pembelinya sebanyak ini," geram Ara dengan dirinya sendiri.

Ia benar-benar di paling ujung.

Waktu terus berjalan, dan ini sudah jam sepuluh tepat giliran Ara untuk membayar camilan yang dia bawa. "Lama sekali, aku mau pulang," sungut Ara pada Jisung, tampaknya pemuda itu menghiraukan dirinya.

"Semuanya jadi 70.000," ucap Jisung sambil memandang datar Kim Ara.

"Apa? Wajahmu seperti mengajak untuk berkelahi. Bukankah tadi kau tersenyum? Aku bisa melaporkan dirimu pada atasanmu, ayo cepat tersenyum dulu pada pembeli terakhir ini." Ara cengengesan.

"Cepat bayar atau kukunci dirimu di tempat ini."

"Bocah sialan," umpat Ara, dia pun mengeluarkan selembar uang pada Jisung. Setelah selesai membayar, mereka kini menutup lampu minimarket dan mengunci tempat tersebut.

"Jisung, aku akan menginap di rumahmu hari ini!" Jisung diam.

"Kenapa kau tinggal sendiri? Apa kau tidak takut akan ada pencuri atau yang lain?" tanya Ara. Jisung masih diam dan mulai mengayuh sepedanya menuju ke apartemen Felix.

"Aku bertanya padamu." Ara menarik pelan ujung baju Jisung.

"Aku tidak mau menjawab pertanyaan aneh darimu. Duduklah dengan baik," sahut Jisung.

"Kita akan ke rumahmu, bukan?" Jisung menggeleng.

"Lalu?"

"Apartemen temanku." Saat bersamaan, Jisung menghentikan sepedanya di parkiran. Keduanya berjalan beriringan hingga sampai tepat di depan pintu kamar Felix.

"Kenapa kita ke sini?"

"Mengambil barang-barangku." Pintu pun terbuka lebar.

"Akhirnya kau pulang, Jisung! Kenap—kau siapa?" Felix mengarahkan jari telunjuknya ke Ara.

"Aku Kim Ara, kekasih dari Park Jisung!" Jisung memutar bola matanya jengah, pemuda itu berlalu begitu saja dan mengemas semua pakaian dan barang belanjaan miliknya.

"Kalian benar-benar pacaran?" sambar Felix.

"Tentu, kami baru saja pacaran pada saat dia pergi bekerja," ucap Ara tanpa dosa. Telinga Jisung seakan tuli dan tak peduli dengan omong kosong gadis itu. Selesai dengan kegiatan mengemas pakaiannya, kini pemuda itu menarik lengan Ara dan pergi dari tempat Felix.

"Setidaknya beri aku pajak jadian kalian!" seru Felix sambil terkekeh pelan.

Angin malam benar-benar dingin, Ara juga lupa membawa jaketnya sendiri, keduanya kini sudah berada di atas sepeda yang dikayuh oleh Jisung. Mereka terdiam dalam lamunan masing-masing, tiba-tiba setetes rintik air yang entah dari mana membuat Ara mengadahkan kepalanya.

"Sepertinya akan turun hujan, kau bisa lebih cepat?" Jisung mengangguk pelan. Apartemen Felix dan kontrakan Jisung bisa dibilang tidak terlalu jauh.

"Kenapa kau tinggal sendiri, Jisung?" Entah berapa kali pertanyaan itu muncul begitu saja dari mulut kecil Ara, Jisung menghela napas dan enggan menjawab.

Rintik hujan semakin deras, untung saja mereka sudah sampai di kontrakan Jisung. Keduanya langsung masuk ke dalam rumah, tanpa aba-aba Ara langsung membaringkan dirinya di kasur empuk milik Jisung.

"Kau tidur di ruang tamu. Ini rumahku," titah Jisung.

"Astaga, tega sekali. Bagaimana kalau ada yang berusaha menyakitiku? Lalu, ada pencuri? Kau yakin aku harus tidur di luar?" Jisung memutar bola matanya malas. Dia pun membawa pakaian dan handuknya ke dalam kamar mandi.

Seraya menunggu Jisung selesai mandi, Ara kini membuka selimut dan menutupi dirinya hingga sebatas dada. Dia tidak berbaring, posisinya masih duduk dan punggungnya bersandar pada bantal. "Ke mana orang tuanya? Apakah dia merantau? Atau anak yatim piatu? Ah ya, ayahnya sudah meninggal."

Mata Kim Ara menjelajahi setiap sudut ruangan itu, walaupun agak sempit tidak seperti kamarnya, tempat ini terasa nyaman dan hidup. Aroma khas Jisung pun sangat tercium wanginya.

Duarr!!

Suara petir yang begitu kencang membuat Ara tersentak kaget dan bersembunyi di dalam selimut. Gadis itu takut pada suara petir, sangat takut. Perlahan air matanya turun, tubuhnya juga ikut menggigil kala suara petir itu datang lagi.

"Mama ...," panggilnya pelan.

Pintu kamar mandi terbuka, Jisung keluar dari sana dan rambutnya masih sedikit basah. Pemuda itu mengerutkan dahinya sambil menatap Ara yang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

Jisung menaruh handuknya di sofa lalu mendekati gadis itu. Kerutan di dahi semakin jelas ketika ia mendengar suara isakan di dalam selimut, apakah benar-benar ada seseorang yang menyelinap ke rumah dan mencoba menyakiti gadis itu?

Bodoh, apa yang kupikirkan.

"Ara? Kau—"

"Mama ... mama." Perlahan, Jisung menyibakkan selimut itu. Dia bisa melihat dengan jelas bagaimana Ara menangis dan memeluk lututnya sendiri.

"Kau kenapa?"

"Petir ... a-aku takut petir." Jisung mengerti sekarang, memang tadi terdengar suara petir yang sangat kencang.

"Aku akan ambilkan air untukmu." Tangan Jisung dicekal oleh Ara ketika hendak beranjak dari sana.

"Jangan pergi, di sini saja." Jisung menghela napas, terpaksa dia duduk di samping Ara dan berusaha menenangkan gadis itu.

"Tenanglah." Jisung membawa Ara ke dalam dekapannya. Hangat dan nyaman, itu bisa Ara rasakan di dalam pelukan seorang Park Jisung. Perlahan isakan itu mulai menghilang. Ara lebih tenang sekarang.

"Jisung-ah, kemarilah, Nak! Jangan takut, itu hanya suara petir dan tidak akan memakanmu. Tenanglah, Ayah ada di sini." Jisung tersenyum miris kala kenangan itu terlintas di benaknya. Di mana sang ayah mencoba menenangkan dirinya yang takut pada suara petir.

"Ara, jangan takut. Itu hanya suara petir dan tidak akan memakanmu, tenanglah aku ada di sini."

•••

Kagak ada yang meluk gw tuh klo ada suara petir :v hehehe.

Jadi gimana nih kesannya buat chapter kali ini? Agak flat sih emang, tapi aing usahakan ke depannya lebih baik lagi.

Btw, makasih banyak loh bagi kalian yang udah mampir ke chapter kali ini, semoga kalian semua suka ya ^^

Makasih juga 1k viewernya T_T gak nyangka secepat itu :')

Jangan lupa vote dan komen juga gais, lup UU ;)))

For Jisung | Park Jisung✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang