Mungkin Bisa Dibilang Patah Hati...

5.5K 629 18
                                    




Sebetulnya kalau bisa, hari ini Win pengin memilih untuk nggak masuk kerja. Setelah semalam menangis diam-diam sambil tidur rasanya seluruh bagian wajahnya membengkak dua kali dari ukuran normal ketika bangun pagi tadi.

Ternyata dia sesedih itu gara-gara Bright.

"Foei, kemarin saya minta kamu telepon Pak Bright untuk membatalkan kerja sama. Udah kamu kerjakan?" tanya Win begitu sampai ke meja Foei. Stafnya itu bukannya langsung menjawab, malah terpana menatap Win.

"Saya sakit mata." Win menunjuk kacamata hitamnya karena yakin itu penyebab Foei bengong. "Sudah telepon Pak Bright?" Win mengulang pertanyaanya.

Foei gelagapan. "E-eh, sudah, Pak. T-tapi—"

"Ke ruangan saya deh," potong Win. Entah kenapa dia nggak mau membahas masalah Bright ini di depan pegawai lain. Foei mengangguk dan mengikuti langkah Win ke

ruangannya. Win duduk di kursinya tanpa melepas kacamata.

"Tutup pintunya."

Foei mengangguk lalu menutup pintu sebelum berjalan ke arah Win dan duduk di hadapan bosnya yang sering panikan itu. "Tapi apa tadi, Fer?"

"Itu Pak, tadi kan saya sudah hubungi Pak Bright, menjelaskan soal... hmm... mengakhiri kerja sama. Tapi, Pak Bright menolak."

Duduk Win langsung tegak. "Maksudnya menolak? Saya kan udah bilang supaya kamu kasih tahu Pak Bright, kita siap kalau memang harus kena penalti."

"Tapi, Pak Bright pengin meneruskan kerja samanya, Pak. Pak Bright mau meneruskan sampai paketnya selesai. Begitu katanya."

"Kamu sudah bilang itu keputusan saya untuk mengakhiri kerja sama?"

Kepala Foei mengangguk pelan. "Sudah, Pak, tapi Pak Bright bilang nanti dia mau ngomong langsung sama Bapak."

Mata Win membesar. "Kamu udah bilang saya nggak mau ketemu?"

Kali ini alis Foei berkerut kebingungan. "Mm... memangnya Bapak nyuruh saya ngomong gitu?"

Duh, sial, siaaal! rutuk Win dalam hati. Tingkah panik Win pasti sekarang sukses bikin Foei curiga kalau alasan pemutusan kerja sama ini bukan alasan profesional.

"E-eh, ya, maksudnya kan kamu bisa bilang saya nggak mau ketemu." Win gelagapan.

Alis Foei masih berkerut bingung. Di kepalanya terlintas bayangan bosnya yang selalu ngomel-ngomel kalau stafnya berani-berani mengambil keputusan sendiri tanpa diskusi di saat ada masalah. Itu sebabnya Foei nggak mungkin sok tahu bilang Win nggak mau ketemu klien kalau bukan atas perintah langsung. Lagian, nggak mau bertemu rasanya sangat nggak profesional. Biasanya. Sepelik apa pun masalahnya, bosnya itu selalu siap menghadapi langsung. Foei malah sering salut pada Win karena kalau lagi panik atau kepepet, bosnya itu malah semakin kreatif.

"Pak, ada masalah sama Pak Bright ya?" tanya Foei takut-takut. "Maksud saya bukan masalah... mm, pekerjaan?"

Melihat mata Win yang melebar Foei merasa pertanyaannya terlalu lancang. "Maaf, Pak..." tambah Foei, buru-buru. "Tapi kalau Bapak butuh bantuan saya untuk bicara lagi sama Pak Bright, saya—"

"Ya sudah, kamu keluar aja deh, lanjutin kerja. Nanti aja diomongin lagi."

"Baik. Permisi."

"Eh, Foei..." panggil Win sebelum Foei menyentuh gagang pintu.

"Ya, Pak?"

"Pak Bright bilang sama kamu kapan dia mau ngomong langsung?" Foei menggeleng. "Nggak, Pak. Apa Bapak mau saya ta—"

"Nggak, nggak usah. Ya sudah."

Foei mengangguk pelan lalu keluar ruangan. Bosnya aneh banget hari ini.

"Duuhhh..." Win menepuk-nepuk dahinya frustrasi. Gimana nih kalau tiba-tiba Bright nongol dan minta ketemu? Sumpah, Win sama sekali nggak siap bertatap muka dengan Bright.

"Aaahhh!!!" Win mengacak-ngacak rambutnya sendiri. Menyebalkan! Apa nggak bisa dia punya kisah cinta yang manis dan lancar-lancar aja?

Kayaknya hari ini otaknya nggak mungkin bisa diajak kerja. Dia harus menenangkan diri. Minum smoothies, makan cake, atau apa pun lah! Asal jangan mikir. Win melirik jam tangannya. Ngopi di hotelnya Love sepertinya ide yang bagus.

**

Foei meringis menyambut Win begitu membuka pintu ruangannya. Dari posisi sebelah tangannya yang mengambang, Win menerka Foei berniat mengetuk pintu tapi Win keburu membuka pintu. "Eh, Foei, kalau ada apa-kamu handle dulu ya. Saya mau keluar sebentar...."

"Eh... tapi, Pak... ada tamu buat ...."

"Duh, kamu dulu deh ya yang tanganin, Foei. Tamu dari mana sih?" Foei meringis lagi.

"Hai, Win, aku yang mau ketemu kamu."

Sekujur tubuh Win mendadak beku. Bright tiba-tiba sudah berdiri di belakang Foei. Posisi ruang tunggu tamu dan pintu ruangan Win cuma dibatasi pot-pot tanaman hias yang lumayan besar. Cukup mudah buat Bright duduk di sana tanpa terlihat, dan tiba-tiba muncul tanpa memberi waktu Win untuk menghindar.

Saat itu juga di dalam kepala Win langsung membuat catatan untuk memindahkan pot-pot penghalang. Dia harus bisa mengintip langsung ke ruang tunggu tamu dari dalam ruangan untuk mendeteksi kehadiran tamu-tamu tak diinginkan.

Bright tersenyum sewajar mungkin sambil menatap Win. "Bisa kan, Win? Mau ngobrolin soal kelanjutan kerja sama kita."

Lalu semua mata di ruang kantor Honeymoon Express yang minimalis dan nggak terlalu besar itu menatap ke arah Win dengan penasaran. Ada yang yang pura-pura berdiri sambil menelepon, ada yang berlagak sibuk baca brosur, ada yang terlalu lama berdiri di depan mesin foto kopi, tapi yang pasti mata dan telinga mereka semua siap menguping.

Win menebak mulut ember Foei pasti berkoar tadi pagi. Permintaan Win untuk membatalkan kerja sama dengan klien memang sangat di luar kebiasaan itu. Selama ini, serumit apa pun permintaan klien, asalkan masih sesuai dengan kapasitas Honeymoon Express, Win akan berusaha mengerjakan sebaik mungkin. Kalau Win menolak bertemu, kemungkinan besar Bright akan memaksa.

Tetapi, Win nggak mau memuaskan staf-stafnya yang tampak haus gosip itu.

"Aku ada perlu ke luar kantor. Bisa ikut?"

Nggak perlu ditanya dua kali, Bright mengangguk.

HONEYMOON EXPRESS [BrightWin] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang