Rasanya Win pengin mengetuk palu ala Hakim Agung karena frustrasi. Sudah nyaris setengah jam sepasang klien di depannya ini berdebat masalah kamar menghadap kolam renang atau menghadap pantai.
Win memang sangat memuja bulan madu. Tapi nggak gini-gini amat juga. Bisa-bisa, kalau mereka terus ribut gara-gara hal semacam ini, bulan madu mereka malah kacau dan berganti jadi pertengkaran rumah tangga.
"Babe, kita kan pengin langsung punya baby. Jadi, kita butuh suasana rileks. Suara ombak pantai tuh menenangkan. Daripada suara berisik orang di kolam berenang... Bisa-bisa kita nggak tenang karena takut diintip," rengek si perempuan dengan ekspresi yang sebentar lagi mewek.
Win nyaris terbatuk-batuk kaget mendengar kalimat 'takut diintip'. Memangnya mereka bakalan pasang poster 'Lagi bulan madu nih!' di luar kamar?
Si suami tampak mengernyit nggak sepakat. "Ya ampun, babe. Siapa yang mau ngintip sih? Kamar yang menghadap pantai kan cuma jendelanya aja yang pemandangannya ke pantai, nggak ada pintu langsung keluar. Kalau yang menghadap kolam renang, kan ada pintu buat langsung ke kolam renang. Tinggal buka pintu, kita bisa langsung nyebur. Lebih asyik, kan? Harga kamarnya juga sama." Pria berotot itu ngotot.
Bibir si istri mulai manyun. Tanda-tanda buruk. Win harus bertindak sebelum mereka betul-betul menggelar pertengkaran rumah tangga di sini. "Eh, Mas Jay dan Mbak Jane, gini aja deh. Soal kamar nggak perlu diputuskan hari ini. Kalian diskusi lagi aja di rumah. Nanti kalau sudah ada keputusan, bisa hubungi saya lagi. Gimana?"
Alis Jane mengernyit menatap Win. "Memangnya, kamarnya nggak bakal diambil orang lain, Mas Win?"
Win menggeleng. "Nggak. Tenang aja. Bisa di-keep dulu kok. Honeymoon Express sudah lumayan lama kerja sama dengan hotel itu, jadi bisa diatur. Butuh berapa lama? Dua hari? Tiga hari?"
"Secepatnya deh. Maksimal besok sudah ada keputusan," jawab Jay cepat.
Win tersenyum lebar, profesional. Dalam hati ber syukur mereka nggak ngotot menyelesaikan diskusi dengan aroma peperangan itu sekarang. Setelah bersalam-salaman, Jay dan Jane pamit. Win bisa duduk lega sambil menghela napas. Ada-ada aja.
"Pak, ada telepon di line dua," suara Mook terdengar di Intercom. Baru juga bernapas lega sebentar.
Win menekan tombol line 2. "Ya, halo...?"
"Hei, Win. Sibuk?" Win langsung duduk tegak. Bright. Kayaknya Win butuh terapi khusus nih soal Bright. Setiap kali berinteraksi dengan pria ini, Win masih aja deg-degan. Padahal sekarang sudah jelas banget Bright calon suami orang dan terbukti sangat mencintai calon istrinya.
Gilanya, melihat Bright melakukan semua itu buat calonnya, malah bikin Win makin terpesona dan terkagum-kagum. Bahaya nih.
"Eh, nggak kok. Tadi ada klien, tapi barusan mereka pulang. Kenapa telepon ke nomor kantor, nggak ke HP aja? Nomerku nggak di-save yaaa?" canda Win sekaligus menyelidik.
Bright tertawa pelan. "Hahaha... Nggak mungkin lah. Masa nggak di-save. Saat ini kan kamu orang penting dalam hidupku."
Win nyaris kena serangan jantung.
"Kamu yang menentukan sukses atau nggaknya acara honeymoon-ku," sambung Bright, bikin Win batal kena serangan jantung. "Aku sengaja telepon ke kantor, takutnya kamu lagi sibuk meeting atau apa lah. Kalau ke kantor kan ada sekretaris kamu yang jawab teleponku."
Win terkekeh pelan. "Ohhh... Kirain nggak di-save. Bisa-bisa aku kecewa terus merenung di gua hantu."
Bright tertawa lepas. "Kamu jago bercanda ya sekarang. Kemajuan. Nggak kayak dulu. Ngasih proposal ke base camp PA aja ngomongnya gelagapan. Aku sampe kepikiran nyiapin tim medis sama ambulans tiap kamu datang."
KAMU SEDANG MEMBACA
HONEYMOON EXPRESS [BrightWin] ✅
Fiksi PenggemarBright Vachirawit bukan hanya sekedar teman lama, dia adalah laki-laki yang selalu sukses membuat jantung Metawin berdebar tak karuan sewaktu di kampus. Dan setelah sekian tahun, reaksi debar jantungnya masih sama. Tapi lamunan Metawin buyar seketik...