Seperti Hari-hari yang Lalu, Tanpa Kamu.

5.2K 566 35
                                    


"Lo berdua sudah gila ya gue rasa. Yang lebih gila lagi elo. Bisa-bisanya ya kepikiran ide ajaib kayak gitu sih, Win? Nggak paham gue!" Love ngomel sambil mondar-mandir di ruang TV apartemen Win. Win dari tadi cuma duduk di sofa sambil mengamati Love yang berjalan bolak-balik bagai setrikaan. "Kalau gue sih ya Win, ngerti lo nggak bisa nerima lamaran kawin. Nggak mau LDR juga paham. Yang gue nggak paham ngapain pakai putus kontak segala sih? Kalau gue sih ya sudah jalanin aja. Nggak jadian dulu nggak masalah. Pedekate LDR kan bisa."

"Ya itu kan elo...." Win mendekap bantalnya. Berkali-kali dia menjelaskan pada Love tapi tetap aja sahabatnya itu menganggap pikiran Win rumit dan berhasil bikin Bright nurut mengikuti kerumitannya. Love sampai geleng-geleng dengan ekspresi aneh begitu perempuan itu tahu Win dan Bright pulang dari Singapura sendiri-sendiri.

Bright tetap melanjutkan sesuai jadwal, sedangkan Win membeli tiket pesawat paling pagi untuk keesokan harinya.

Tahu nggak yang bikin Love semakin uring-uringan?

Karena begitu mendarat di Jakarta, Win nggak langsung mengabari Love. Yang Win lakukan adalah langsung pulang ke apartemen, mengurung diri seharian, dan baru mengabari Love hari ini. "Elo kan belum pernah LDR, padahal coba aja dulu."

"Duuuhh... elo ah. Gue melakukan semua ini kan ada alasan sendiri. Justru karena gue ngerasa perasaan gue sama dia itu besar banget makanya gue pengen ngetes perasaan gue ke dia dan perasaan dia ke gue."

Love duduk di sofa di hadapan Win. "Kalau lo beli motor di tes. Kalau beli kompor di tes. Ini perasaan sudah jelas masih di tes. Gue tetep nggak nyambung sama pikiran lo Win. Lo berdua sudah jelas-jelas saling suka, ciuman hot sampe dua kali, dan lo itu maniak hal-hal romantis kan?—Lo bilang Bright itu cowok romantis yang tipe lo banget, natural. Terus lo dilamar dengan romantis juga, eh lo tolak.—Tahu nggak kesimpulan gue? Lo egois. Atau bego. Atau udah egois, bego pula."

Kata-kata Love bikin Win refleks meletakkan kembali sesendok es krim yang nyaris masuk ke mulutnya kembali ke cup-nya. "Kok gue jadi egois?"

"Lo itu lagi menciptakan drama romantis kisah cinta yang sempurna versi elo."

Analisis macam apa itu? "Ngarang lo. Nggak ada hubungannya deh sama kisah cinta romantis yang sempurna. Gue nggak mau mutusin sembarangan apalagi untuk milih pasangan hidup. Gue mau menikah dengan orang yang tepat yang bener-bener cinta sama gue. Yang beneran cinta sejati gue. Makanya gue harus memastikan."

"Itu kalimat lo aja udah menjelaskan dengan nyata lo egois. Aslinya lo cemburu sama Nevvy kan?"

Dan pertanyaan—lebih tepatnya tuduhan Love—barusan bikin Win ternganga. "Ih? Semakin ngarang bebas."

"Bukan ngarang, ini fakta yang lo tutup-tutupi. Dan sebagai sahabat lo yang tahu lo sampe ke jumlah kolor bolong yang masih lo simpen, lo nggak bisa bohong sama gue."

"Fakta yang ditutup-tutupi apa? Ditutup-tutupi dari siapa coba?"

Love menaikkan sebelah alis. "Dari diri lo sendiri lah. Alias, denial." Love mengucapkan kata denial dengan dramatis. Tone suara dibuat rendah dan mata yang menyipit serius.

Dahi Win berkerut nggak ngerti. "Lo bilang lo kagum sama apa yang Bright lakukan untuk

Nevvy. Awalnya iya emang kagum. Tapi begitu lo tahu perasaan lo buat dia serius dan dia bales perasaan lo, lo jadi cemburu sama Nevvy biarpun dia sudah nggak ada. Karena dia sudah nggak ada pun Bright masih mau melakukan sesuatu yang segitunya buat dia. Ya kan?"

Win menggigit-gigit bibirnya. "Hmm... nggak gitu juga ah...."

Love berdiri dari tempat duduknya lalu tiba-tiba pindah duduk di samping Win. "Lo masih aja deh, ngeles. Ini gue lho, Win. Lo ngeles pakai jurus paling canggih ala kungfu shaolin juga percuma."

HONEYMOON EXPRESS [BrightWin] ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang