8. DEA-O

1.7K 178 17
                                    

Matahari lamat-lamat tenggelam diufuk barat menyisakan semburat cahaya jingga kemerahan yang melindap. Aku berjalan di trotoar setelah turun dari angkot.

Saat aku melihat kanan kiri, aku melihat seekor kucing liar yang berjalan pincang berada disebelah pohon yang rindang, sepertinya kucing itu telah dipukul oleh seseorang.

Aku berlari menghampiri kucing itu. Lukanya cukup parah, dipelipisnya terdapat sobekan, kakinya terdapat bekas pukulan yang memunculkan darah yang cukup banyak, bahkan bulunya yang berwarna putih berubah menjadi warna kecoklatan karena kotor. Kucing ini basah, aku mengira jika kucing ini telah dibuang seseorang kesebuah selokan yang berada didekat pohon ini.

Aku melihatnya dengan iba. Aku ingin membelikannya obat dan makanan kucing. Namun, disaku ku hanya tersisa uang lima puluh ribu yang akan digunakan untuk mencukupi kehidupanku selama seminggu.

Segala pertimbangan berputar diotakku. Aku juga ingat jika bahan masakan dirumah sudah mulai sedikit. Jika aku membelikannya obat dan makanan berarti aku dan mama hanya akan makan lauk dengan tempe dan kecap saja.

Akhirnya dengan segala pertimbangan dan perasaan yang mencoba meyakinkan. Aku bergegas pergi ke apotik dengan membawa kucing yang nampak tak berdaya itu.

Setelah membeli yang diperlukan, aku memilih duduk ditempat yang rindang. Aku mengobati lukanya, memberinya makan dan juga mengelusnya dengan sayang.

Aku terlalu asik dengan duniaku sendiri sampai tak sadar jika sedari tadi aku diperhatikan oleh seseorang. Seseorang itu menepuk pundakku. Aku dengan reflek berdiri dan memelintir tangannya.

"Argh, sakit Dea," pekik lelaki itu yang ternyata adalah Deo. Ia memakai seragam sekolah sama sepertiku.

Aku segera melepaskan tangannya dan kembali duduk untuk mengelus-ngelus kucing yang tengah makan itu. "Lo suka kucing?" tanyanya.

"Hm,"

"Kucingnya ini kenapa? Kok bisa sampek banyak lecetnya gini?" tanya Deo sambil ia mengecek luka kucing yang berada dipangkuanku.

Aku mengangkat kedua bahu acuh pertanda tidak tahu. "Kasian banget," kata Deo sambil mengelus kucing.

"Lo gak mau pulang?"

Deo mengecek jam yang bertengger ditangannya. Ia berkata, "Udah mau magrib ini,"

Aku melebarkan kedua bola mataku. Aku mengecek jam ditanganku, ternyata benar sudah mau adzan magrib.

Di otakku langsung terlintas jika mama saat ini sedang khawatir. Aku langsung berdiri dan bersiap lari agar cepat sampai. Namun, lagi-lagi tanganku dicekal olehnya.

"Gak mau nebeng? Mumpung lagi baik nih," tawar Deo.

Aku melepaskan cekalannya tanpa menjawab. Segera pergi menjauh dari Deo, si lelaki pemaksa itu.

Bruumm.. bruummm..

Aku terlonjak saat Deo sudah ada disampingku dengan motor yang dikendarai sangat pelan.

"Gue anter ya?"

"Gak,"

"Ayo dong De, gak usah bayar,"

"Ayo lah, gue anter ya?"

"Ck, orang ganteng gini jangan disia-siain nanti diambil orang lo nangis," goda Deo. Namun, aku hanya diam tidak menanggapi ucapannya.

"De.."

"Dea.."

"Dea.. Dea.."

"Hm?" jawabku dengan kesal.

DEA-OTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang