19. DEA-O

862 100 85
                                    

"Ibaratnya lo itu hujan dan gue adalah pelangi. Saat hujan telah usai maka pelangi akan datang. Mereka seolah berkata bahwa mereka bisa saling melengkapi dan mereka adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan. Jadi, bersediakah kamu menjadi hujan untuk pelangi, Dea Angelista?"

Mulai dari kemarin, kalimat yang dilontarkan Deo terus berputar diotaknya. Membuat Dea merasa salah tingkah sendiri. Untungnya kemarin hujan datang tanpa aba-aba membuat suasana terpecah seketika.

Bahkan sampai hujan reda dan sudah berada di kendaraan beroda dua itupun mereka sama-sama diam tanpa mengeluarkan sepatah kata seolah-olah mulut mereka tergembok dengan kunci yang sudah dibuang di lautan.

Semenjak hari itu jua Dea perlahan mulai menjauh dari Deo. Dimulai dari setiap istirahat Deo kekelasnya dan Dea yang akan selalu pergi dengan alasan ke toilet ataupun ke ruang guru.

Lamunan Dea buyar akibat mendengar bunyi bel tanda istirahat. Seperti rutinitas diawalnya, ia mengambil bekal diloker. Namun loker itu tampak kosong padahal seingatnya ia sudah menyimpan bekalnya dengan aman diloker.

Dea menggeplak dahinya. Ia melupakan bekal yang sudah ia taruh disamping badan saat ia menalikan tali sepatu dirumah.

Dengan berat hati, Dea terpaksa harus mendatangi kantin untuk mengisi perut sebelum mag diperutnya kambuh.

"Tenang, Dea. Ini hanya butuh waktu sebentar untuk mengantri setelah itu kita akan langsung pergi ketaman belakang untuk mencari suasana yang nyaman," ujar Dea seolah perkataannya bisa menenangkan keraguannya.

"NENG DEA!" panggil Galen dengan suara lantang dari pojok kantin.

Alhasil semua orang yang berada dikantin berfokus pada Dea tak terkecuali Deo yang langsung memutarkan kepalanya 180 derajat. Bohong jika Deo tak merindukan Dea yang akhir-akhir terus menjauhinya. Ia terlalu rindu dengan sikap dingin tapi perduli itu.

Walaupun jarak mereka berpuluh meter tapi mereka saling menatap satu sama lain, menyalurkan rasa rindu yang belum bisa mereka ungkapkan.

"Natap doang gak bisa bikin nyembuhin kangen kali!" ujar Orlando sembari melemparkan kulit kacang yang mengenai punggung Deo.

"DEO KANGEN LO, DE!" kata Moza dengan suara kencang sembari menunjuk Deo.

"SAKING KANGENNYA, DIA MAKAN SAMPE PIRINGNYA GAK ABIS GARA-GARA MIKIRIN LO!" canda Kean sembari mengelus punggung Deo dengan ekspresi iba yang dibuat-buat.

"KEMARIN DIA NANGIS GULUNG-GULUNG DIDEPAN RUMAH GUE KARNA LO MULAI MENJAUH," ejek Matteo.

"DIA BAHKAN MAU BUNUH DIRI PAKE TRUK MAINAN ADEK GUE!" tambah Orlando dengan tampang tanpa dosa.

Tak tahan dengan omong kosong teman-temannya yang membuatnya malu. Deo langsung beranjak menghampiri Dea. Menghiraukan semua tatapan yang tertuju padanya.

"Gak bawa bekal?" tanya Deo dengan tatapan lembut.

Dea masih menatap Deo tanpa berkedip dan jantungnya berdetak lebih cepat. Bahkan rasanya ia membutuhkan oksigen sebanyak-banyaknya.

"Hei?" panggil Deo sembari meniup wajah Dea.

Dea langsung berkedip dengan menundukkan kepalanya. Ia merasa malu bahkan sangat malu sudah tertangkap basah menatap wajah Deo dengan intens.

DEA-OTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang