_Kamu tidak sendirian. Allah ada bersamamu, kapanpun dan dimanapun saat kamu membutuhkan. Ingat satu hal.
Manusia kuat, ujiannya lebih berat____
"Alif?!"
Tubuh Teresha terasa lemas, apalagi ketika sosok bertubuh kekar mendekapnya erat.
Ia mendekap Teresha seolah sebagai permintaan maaf atas segalanya. Teresha dapat merasakan Ayah mengecup pucuk kepala Teresha beberapa kali. Satu tangannya juga mengusap kepala Teresha yang dibalut khimar. Kini Teresha semakin kecewa pada dirinya sendiri ketika melihat wajah Mbok Atun dan Ayahnya yang murung. Ia membuat orang-orang bersedih.
"Maafkan Ayah. Jangan marah sama Ayah yah. Ayah janji akan disini kalo kamu mau cerita." Teresha tak mampu bersuara, apalagi saat ia mendengar sebuah isakan kecil diatas kepalanya "Ayah janji."
Teresha mengangkat tangannya, membalas pelukan sang Ayah. Memejamkan mata seperti menemukan sebuah sandaran baru untuknya berbagi cerita. Kehangatan yang ia butuhkan, dan berharap Allah tidak akan mengambilnya lagi untuk kali ini. Karna ia tak mau kehilangan untuk ke-duakali. Saat membuka mata, ia mengedarkan pandangan dan jatuh pada sosok yang kini berdiri bersebrangan dengannya. Sosok lelaki jangkung yang kini tersenyum, sangat teduh. Dan Teresha tidak tahu, kenapa dia bisa ada disini dan anehnya berhasil meyakinkannya untuk keluar dari kamar.
Ayah melepaskan pelukannya membuat Teresha memandang sendu "Acha gapapa."
"Jangan ngulangin lagi. Ayah disini buat denger cerita Acha kalau Acha mau cerita, ya." Teresha tersenyum "Kan, mukamu jadi pucet karna gak pernah mau makan" Ayahnya tertawa dan Teresha melihat ada sisa air mata dipipinya.
"Terimakasih ya Lif." Ayah mengalihkan tatapan pada Alif yang kini mengangguk sopan. Teresha jadi semakin bingung, sejak kapan Ayahnya kenal dengan Alif dan kenapa Alif ada disini, dirumahnya?
"Alif kesini dengan teman-teman kamu yang lain. Memangnya tidak ingin ketemu?" Teresha menyerit bingung dan berjalan kearah tangga. Darisana ia melihat tiga orang yang ia kenal betul.
"Ara?!!"
Gadis kecil dengan gamis berwarna pink itu tersenyum lebar mendengar suara yang ia nantikan memanggilnya. Tangannya yang memegang tongkat mengarahkan kearah dimana suara itu tertangkap oleh telinganya. Namun sebelum Ara benar-benar sampai ditujuan, seseorang memeluknya lebih dulu. Dan senyum Ara semakin mengembang saat menyadari, ternyata Teresha yang berada didepannya saat ini.
Ayah, Mbok Atun dan Alif menyusul kemudian. Mereka menghampiri Ara dan Teresha berbarengan dengan Syila dan Fikri yang juga ada disana. Semua tersenyum, tak terkecuali Teresha yang tengah terduduk dengan kedua lututnya mendekap gadis mungil dan cantik yang sudah lama tak ia lihat keberadaannya.
Teresha melepas pelukannya"Teh Ica pipinya nggak tembem. Pasti nggak mau makan ya?" Ucap gadis itu meraba wajah Teresha.
"Kata Bang Aif, teh Ica lagi sakit gamau makan. Makanya aku ikut jenguk kesini. Jangan marah ya kalau Ara datang nggak bilang-bilang Teh Ica. Habisnya Ara kangen." Tangan gadis lugu itu masih ada diwajahnya. Meraba pipi sesekali menusuk-nusuknya pelan.
Teresha tertawa kecil "Lagi diet. Aku gamau gendut."
Lalu kini gantian Ara yang memeluk Teresha duluan"Kangen sama Teh Ica. Memangnya Teh Ica nggak kangen sama Ara? Umi aja kangen sama Teh Ica. Kenapa gak ke rumah Ara lagi? Ara sudah buatkan Teh Ica bros bentuk bunga. Tadinya mau bentuk bulat aja, tapi nanti tidak bagus. Bentuknya mirip sama bunga melati. Teh Ica mau?" Ara melemparkan begitu banyak pertanyaan dengan bibir mengerucut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Syurga
Spirituelles~Masa lalu tak pernah menuntut akan bagaimana sikapmu hari ini dan Masa depan tak akan menjamin kau yang sama di masa lalu~ Bagaimana mungkin Teresha yang jauh dari aturan agama mencoba taat kembali? (Slow update)