"Ini Memang aku. Lisanku tak sesempurna pakaianku dan Akhlakku tak sesempurna jilbabku"
_saliha
***
"Maaf" lirihnya.
Tak ada jawaban. Semua masih diam dalam fikirannya masing masing. Apapun yang Teresha rasakan, saat ini ketakutan mendominasi fikiran dan hatinya. Ia mulai merasa bersalah, ia mulai merasa dirinya adalah orang paling bodoh, orang terkejam yang pernah ada, orang yang egois.
"Lis. Maaf" Ulangnya sekali lagi.
Ia melihat Lisa yang berbalik arah hendak kembali masuk kedalam mobilnya. Teresha pasrah, mungkin kecewa Lisa lebih besar dari rasa takutnya. Dengan cepat, Teresha berlari kearah gadis itu, mencekal pergelangan tanggannya, mencegahnya pergi, walau beberapa kali tangannya kesakitan karna Lisa terus meronta minta dilepaskan.
Teresha mencoba memohon dengan sekuat tenaga membuat Lisa tetap ditempatnya. Belum ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Lisa sampai saat ini. Dan itu yang membuat Teresha semakin merasa bersalah.
"Lis. Gue mohon jangan kaya gini".
Kalimat itu sukses membuat Lisa merasa geram. Mengapa dirinya yang disalahkan dalam hal ini? Kemana saja Teresha selama ia mencarinya? Kemana saja Teresha saat ia butuh teman untuk menolongnya? Dan bagi Lisa, pertemuan kali ini sudah cukup menjelaskan, bahwa dirinya tak lagi dibutuhkan dalam hidup Teresha. Dirinya sudah asing dan tak berguna lagi.
Lisa tak memberontak, dia diam dengan sorot mata kecewanya yang membuatnya menjadi manusia menyedihkan. Menaruh sepenuhnya kepercayaan pada orang yang dianggapnya adalah satu satunya orang yang dapat mengertinya, dan kemudian diasingkan.
"Gue capek" Lisa menekan kata katanya. Hedak kembali pergi, tangannya berhasil Teresha raih lagi.
"Gue mohon. Gue punya alesan Lis. Ijinin gue jelasin semuanya sama lo. Kemana aja gue? Kenapa gak kabarin lo? Dan semua yang terjadi sama hidup gue. Bakal gue jelasin" Pinta Teresha
Lisa tersenyum getir "Apa yang mau lo jelasin?"
"Gue tau gue salah Lis gue mohon maafin gue. Gue tau gue terlalu egois karna gak mikirin kehidupan lo di Jakarta sana. Gue gak nyariin lo. Gue mungkin gaada saat lo butuh. Tapi semua ada alasannya Lis. Gue mohon percaya sama gue"
Kecewa Lisa kali ini mengalahkan hatinya "Gue capek. Gak peduli sama omongan lo. Permisi"
Tanpa pamit, Lisa masuk dan mengunci kaca mobilnya. Menyisakan Teresha yang masih mencoba membujuknya. Mengetuk ngetuk pintu kaca mobil dengan harapan Lisa mau membuka dan mendengarkannya. Pipinya sudah basah dengan air mata.
Sedang Lisa didalam hanya diam, memandang lurus kedepan tanpa arti. Seperti inikah rasanya dikecewakan oleh orang terpercaya? Seperti inikah rasanya terlupakan. Bodoh memang. Lisa memang tak berarti apa apa di hidup Teresha, mengapa dirinya merasa orang penting?. Sial. Lisa menjambak rambutnya frustasi.
Ia melihat Teresha yang mengetuk ngetuk kaca mobilnya. Tak ada niat dalam hatinya untuk mendengarkan gadis itu. Hatinya masih terlalu kecewa.
"Lisa!!"
"Lis buka Lis!!"
"Lisa gue mohon!!"
Lisa mulai menjalankan mesin mobilnya dan menginjak gas untuk menjauh. Namun ia masih memandang kebelakanng lewat kaca yang tergantung didepan kursi pengemudi. Ia melihat Teresha masih berdiam memandang kepergiannya. Lisa tahu Teresha sangat menyesal, namun saat ini, Lisa butuh waktu untuk bisa kembali membangun kepercayaan pada dia.
Dia memandang jalanan didepannya. Mengemudi tanpa tujuan dengan air mata yang sudah membanjiri pelupuk matanya. Sesekali tangannya terulur untuk menghapus jejak tangisannya.
"Maaf Cha" Gumamnya kecil.
***
"Lisa ayo angkat"
Tangan Teresha sibuk menelfon kembali nomor yang tertera di ponselnya. Tak peduli sudah berapa puluh kali telfonnya tak dijawab, Teresha masih tetap mencoba berharap masih ada harapan untuk Lisa menjawab telfonnya dan memaafkannya.
Tak me riject atau tak menggangkat panggilannya, Lisa tak menjawaab. Teresha rasa pupus sudah harapannya berfikir semua akan baik baik saja karna yang Teresha takutkan adalah bagaimana gadis itu akan melampiasakan kekecewaannya.
Teresha sempat diam sejenak sebelum dengan cepat ia mengambil sebuah jaket dan kunci mobil diatas nakas. Ia berlari menuruni anak tangga dengan buru buru.
"Mau kemana Ca?"
Teresha mengalihkan pandangan pada laki laki paruh baya yang tengah menyenderkan punggungnya di sofa ruang Tv "Acha izin keluar sebentar Yah"
Teresha mendekat dan mencium tangan Ayahnya pamit "Mau kemana?"
"Hmm.. Ada perlu sebentar saja Yah. Gapapa ya? Acha janji gak lama lama" Kedua tangannnya terangkat membentuk huruf v.
Begitu Ayahnya mengangguk, Teresha segera melesat pergi dengan mobilnya membelah jalanan Kota Bandung yang ramai padat, harap harap dapat menemui Lisa dan berbicara kepadanya.
Perasaan gelisah dan rasa bersalah kini terus menghantui Teresha. Bagaimana tidak, ia tak mau membuat gadis itu kalut dengan emosi dan rasa kecewanya. Allah, lindungi Lisa dimanapun dia berada. Bagaimanapun Lisa adalah Lisa, dia orang yang pernah menjadi segalanya untuk Teresha.
Beberapa kali Teresha mengecek kembali handphonenya. Atau kembali menelfon Lisa. Bahkan skesekianpuluh kalinya Teresha menelfon gadis itu tapi tak kunjung ada jawaban. Sekecewa itu kah lisa padanya?.
"Ayo angkat liiiis.. Gue mohooon"..
Tut.. tut... tut..
Panggilannya kembali ditolak. Teresha pasrah. Jika Lisa kecewa padanya, biarlah. Memang ini salahnya. Memang ini adalah jalan yang Teresha ambil.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
Mata Syurga
Spiritual~Masa lalu tak pernah menuntut akan bagaimana sikapmu hari ini dan Masa depan tak akan menjamin kau yang sama di masa lalu~ Bagaimana mungkin Teresha yang jauh dari aturan agama mencoba taat kembali? (Slow update)