MH-18

261 41 6
                                    

💞

Menyiapkan semua keperluanku sedikit membuat aku lupa akan patah hatiku, ya walaupun saat sepi aku masih bisa merasakan nyeri itu. Tapi aku selalu menekannya agar tidak muncul ke permukaan.

Detik-detik menunggu hasil pengumuman membuat aku was-was, karena jujur saja aku sungguh ingin pergi keluar negeri. Apalagi setelah aku melihat-lihat di internet tempat yang aku tuju. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin berada di sana. jika aku sepintar dan seberbakat saat aku sekolah dulu, aku akan lulus dengan cepat, semoga tidak sampai 3 atau 4 tahun untuk sarjana. Tapi kalaupun segitu, ya, bukan masalah. Lagipula aku dengar jika aku berbakat aku bisa menambah jenjang pendidikanku. Kita lihat saja.

Siang ini rumah sangat sepi. Appa, Eomma, Oppa, dan Eonni. Semuanya sedang pergi bekerja. Tinggalah aku sendiri. Dulu aku tidak peduli sekalipun mereka semua sibuk, tapi akhir-akhir ini rasanya sedikit berbeda, aku lebih ingin banyak menghabiskan waktu dengan mereka, karena hati kecilku yakin bahwa aku akan lolos ujian dan akan segera pergi ke negara yang terkenal adidaya itu.

Dan benar saja, saat aku memeriksa email. Aku tak bisa berhenti takjub melihat namaku masuk dalam salah satu calon siswa di Culinary Institute of America atau yang biasa di singkat CIA. Itu artinya satu bulan lagi aku akan pergi ke New York. Daebak!

Aku segera mengambil jaketku lalu berlari menuruni tangga sambil memakainya, berniat menemui Irene atau Joyi karena aku butuh teman bicara untuk cerita sekarang, menunggu semua anggota keluargaku pulang itu pasti sore. Dan aku tidak sesabar itu untuk meluapkan kebahagiaanku.

Tanpa menghiraukan pintu rumah yang entah tertutup atau tidak aku segera berlari menuju pagar, dan saat aku menariknya tubuhku langsung mematung. Di depanku, orang yang menyebabkan aku patah hati tengah berdiri menatapku.

"Oppa..."

"Hai... Wendy. Bisa kita bicara?"

Entah. Rasanya aku belum sesiap itu. Tapi jika aku lari dan berbalik masuk ke rumah pasti terlihat sangat kekanakan. Hah... Eottokhae...

"Wendy..."

"Mian, Oppa. Aku... Aku..."

"Sebentar saja. Aku janji tidak lama. Bisa kan?"

Ya sudahlah. Aku akhirnya mengangguk.

💞

Taman yang ada di komplek ini berada beberapa meter dari pintu gerbang. Ada banyak kursi panjang yang di susun di beberapa tempat, seperti di dekat air mancur, di dekat pohon, bahkan ada juga di dekat lapangan bola basket. Ukuran taman kompleks ini lumayan luas, kalau untuk olahraga banyak macam yang bisa di lakukan di sini, terutama lari, untuk mengelilingi taman ini sepuluh putaran saja aku pikir aku akan langsung pingsan saking luasnya. Tapi karena aku tidak begitu suka olahraga jadi aku jarang ke sini.

Chanyeol Oppa bilang ingin bicara denganku, dan kelihatannya serius, tapi aku tidak mungkin mengajaknya masuk ke rumah, alhasil aku mengiyakan saja saat dia mengajakku ke taman ini. Dan seperti sebelum-sebelumnya, entah apa yang di pikirkan namja --yang hari ini berkacamata hitam-- di kepalanya itu, sejak tadi kami hanya diam sembari menatap beberapa anak remaja yang aku perkirakan masih duduk di Sekolah Menengah Pertama tengah bermain basket.

Jujur saja aku tidak suka situasi seperti ini. Jadi, saat aku melihat ada anak kecil yang tengah makan es krim, aku menginginkannya. Berjalan meninggalkan Chanyeol Oppa aku menghampiri si bocah gembul dengan pipi bulatnya.

"Hei, bocah. Kau dapat dari mana es krim itu?"

Bibirnya yang tengah bergoyang itu seketika diam. Matanya menatapku.

Main Hati [fanfiction] √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang