Sesuai dengan rencana awal, Rio datang menghampiri rumah Katrin tepat pukul 5 sore tanpa ngaret. Katrin menghampiri Rio lengkap dengan style anak-anak pantai. Membawa topi bundar ala anak pantai lalu memakai kain pantai yang membalut pinggangnya.
Berbicara tentang senja, siapa yang tidak menyukainya? Banyak filosofi yang bisa dideskripsikan tergantung dengan sudut pandang orang. Senja yang merupakan keadaan setengah gelap dibumi sesudah matahari terbenam menggambarkan piringan matahari yang telah hilang dari cakrawala.
***
Setelah mobil Rio terparkir, sebelum masuk ke area pantai, ia membuka bagasinya untuk mengambil beberapa barang yang tidak diketahui katrin.
"Rio, banyak banget ini makanannya. Perut gue gak karung ya", ucap Katrin sedikit mengejek.
Terlihat Rio menenteng 2 kotak Pizza Hut lengkap dengan dessert donat dari J.Co tak lupa minuman bublle dari Chatime.
"Gue gak mau lo makan lumpia yang dijual orang-orang sekitar pantai. Udah pasti gak bersih, entar perut lo rusak. Gue gak mau ya lo sakit", kata Rio dengan nada mulai posesif.
Dalam hati Katrin, dia mulai mengetahui sifat Rio. Bukan soal yang peduli dengan kesehatan tapi ini perihal cara pandang dia dalam memandang sesuatu.
Dari makanan yang dibeli Rio, dan ucapan Rio yang memandang pedagang lumpia di pantai ini menyadarkan Katrin bahwa Rio benar-benar cowok yang sangat brandid. Mengingat pertemuan pertamanya dengan Rio yang di Starbucks itu, harusnya dari awal Katrin sadar tipe seperti apa Rio ini.
Tapi yang masih menjadi pertanyaann, cowok brandid kayak Rio mau sama Katrin yang notabenenya acak-acakan gini?
***
Setelah mendapat tempat yang dirasa cukup bagus untuk melihat sunset, Katrin membuka balutan kain pantai yang ia kenakan untuk dijadikannya sebagai alas duduk. Sambil menunggu matahari mulai terbenam, mereka saling bercerita satu sama lain, sesekali Rio menyuapkan pizza kepada Katrin. Bagi orang yang melihat kelakuan mereka, pasti menganganggap mereka pacaran. Padahala mah enggak..eh belum.
"Rio, gue mau nanya deh", ucap Katrin memulai topik baru.
"Tanya aja", balasnya dengan enjoy.
"Lo emang suka makan ditempat brand gitu ya? Kayak starbucks, pizza hut, yang gitu-gitu?"
"Gue rasa perut gue emang cocok makan yang begituan, lagian kebersihannya juga dijamin"
"Ohh emm lo gak suka makan dipinggir jalan gitu? Kayak lalapan gitu, enak tau"
"Dari tempatnya sudah mendeskripsikan kehygienisan makanannya gak terjamin"
Ucapan Rio tadi menyadarkan dirinya dengan siapa dia sekarang. Rio benar-benar cowok yang sangat brandid sekali. Berbeda sekali dengan dirinya, yang makan masih dipinggir jalan, kadang nyari tongkrongan yang paling murah-semurah murahnya.
"Kenapa nanya gitu?", ucap Rio kini yang membalikkan pertanyaan.
"Ah enggak, nanya aja. Gue mah kebalikan dari lo, gue suka makan pinggir jalan gitu, yang gak brandid gitu deh hehe"
"Alasan lo?"
"Ya menurut gue, yang kayak starbucks itu dan sejenisnya sama aja. Misalnya ni ya, lo beli kopi di starbucks seharga 58 ribu sedangkan kalau lo beli di angkringan gitu lo bisa dapet yang lebih murah, bahkan dengan rasa yang gak jauh beda. Ibaratnya ni ya lo itu meng-kaya-kan orang yang udah kaya. Starbucks itu kan lo tau lah ya, coba sesekali liat yang angkringan, gak ada salahnya kan", jelas Katrin panjang lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teater in Love
Teen FictionSebelum mengakhiri masa SMA gue, gue pengen banget punya cowok. Plis, gue terakhir putus itu sama tali pusar gue. Ya bisa dibilang gue jomblo sejak embrio. Alias gak pernah pacaran. Tapi gue maunya sama ANAK TEATER. Terwujud gak ya?