Part 02

957 71 20
                                    

Bismillah

Keesokan paginya, keluarga Pak Baskara sudah berada di rumah Pak Yusril. Sembari menunggu Salva keluar, mereka bercakap ringan, sekadar menghilangkan kecanggungan yang ada.

Setengah jam kemudian. Salva keluar dari dalam kamarnya. Tubuhnya dibalut dengan gamis bewarna navy, warna kesukaannya. Lengkap dengan khimar yang menutup kepala hingga dada. Gadis itu tidak memakai make up yang tebal, tetapi tetap cantik untuk dipandang.

Sekilas Lutfi hampir terpesona dengan sinar wajah seorang gadis yang akan dijodohkan dengannya. Tapi lagi-lagi, bayangan wajah Dian, sang pacar, terlintas di pikirannya.

“Saya to the point saja. Jadi, bagaimana, apakah kamu menerima menikah dengan Lutfi?” tanya Pak Baskara.

Salva yang tadinya menunduk kini menatap kedua orang tuanya dengan tatapan yang tidak dapat diartikan. Wajahnya semakin cemas kala sang ibu mengangguk, tanda agar Salva setuju dengan pernikahan ini. Salva melakukan ini untuk kedua orang tuanya. Dia tidak mau orang tuanya tersiksa karena utang. Dan parahnya lagi, utang itu berbunga. Gadis itu rela mengorbankan hatinya, yang sebenarnya telah terpaut pada teman semasa SMA-nya dulu.

Gadis itu menahan air matanya agar tidak tumpah. Sekilas dia menatap Lutfi yang juga menatapnya. Hatinya berdesir kebingungan. Tak lama setelah itu, Salva mengangguk dengan perlahan, perlahan pula, air matanya menetes melewati pipi kemerahannya.

Alhamdulillah.” Kalimat itu menggema berkali-kali di ruang tamu rumah Pak Yusril.

“Boleh saya memberi syarat untuk pernikahan ini?” tanya Lutfi membuat suasana kembali hening.

“Apa?” tanya Pak Baskara.

“Saya ingin pernikahan ini hanya dihadiri oleh orang terdekat saja. Mungkin Salva juga boleh mengundang sahabatnya, tapi tidak untuk teman seangkatan. Salva paham maksud saya, kenapa saya meminta ini?" ujar Lutfi.

Salva mengangguk pelan. Dia paham, bahkan sangan paham dengan alasan yang tidak dapat dijabarkan oleh Lutfi. Semua karena Dian masih berstatus sebagai pacarnya di mata anak-anak kampus.

Pak Baskara terlihat menimbang-nimbang, hingga akhirnya mengangguk, menuruti permintaan putra sematawayangnya itu.

***

Tak terasa hari pernikahan telah tiba. Salva menatap wajahnya lewat pantulan cermin di hadapannya. Kini gadis itu terpaksa tersenyum di hadapan Elish dan Binar, sahabatnya.

“Selamat ya, sekali lagi selamat, sebentar lagi kamu akan menjadi seorang istri,” ujar Binar sambil tersenyum bahagia memeluk Salva erat.

“Makasih, ya.”

“Aku bahagia banget lihat kamu menikah. Apalagi, calon suami kamu itu Kak Lutfi, most wanted semasa SMA.” Kini ganti Elish yang bicara.

“Meski pun Kak Lutfi punya pacar, tapi nggak pa-pa, pasti mereka sudah putus. Kalau belum putus, nggak mungkin Kak Lutfi nikahi kamu,” sambung Binar.

Salva hanya tersenyum menanggapi ucapan kedua sahabatnya. Gadis itu malah ingin menangis saat mengingat bahwa dia akan menjadi istri dari lelaki yang mencintai wanita lain. Sekaligus, bersedih karena ini adalah saatnya dia melepas cinta dalam diamnya kepada teman SMA-nya.

Doa-doa mulai dibacakan. Hingga akhirnya, sampailah mereka pada ijab qobul yang akan terjadi beberapa detik lagi.

Salva menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya secara perlahan. Mencoba tenang meski pun hati meronta. Mencoba ikhlas meski pun sebenarnya gadis itu enggan untuk berpasrah pada kenyataan.

“Lutfi Yusuf Aditama bin Baskara Aditama. Aku nikahkan dan kawinkan engkau dengan putriku Salvanidia Baharun binti Yusril Hendarto dengan mas kawin tersebut tunai."

Tidak ada jawaban dari Lutfi. Di kamarnya, Salva berharap-harap cemas. Takut apabila segala persiapan yang seharusnya sudah matang ini malah berantakan.

“Saya terima nikah dan kawinnya Salvanidia Baharun binti Yusril Hendarto dengan mas kawin tersebut tunai."

“SAH.”

Air mata seketika mengalir membasahi pipi Salva. Gadis itu menahan isakan dan mencoba tersenyum saat ibunya datang guna membawanya menemui Lutfi.

“Terima kasih,” bisik Bu Sakinah sambil menuntun Salva.

Gadis itu hanya tersenyum tipis dan kembali melangkah. Tangan serta kaki gemetar, jantungnya bekerja dua kali lebih cepat. Banyak-banyak hatinya beristigfar, guna menenangkan perasaannya.

Setelah menanda tangani surat nikah. Kini Salva mencium punggung tangan suaminya dan dibalas dengan kecupan singkat di kening oleh Lutfi padanya. Beberapa kamera memotret mereka. Tak lupa dengan foto keluarga bersama.

***

Resepsi diadakan di gedung pada pukul setengah delapan hingga pukul sembilan malam. Seusai menyalami tamu yang kebanyakan adalah teman-teman orang tua mereka, kini Lutfi dan Salva pergi menuju kamar hotel yang sudah dipesan jauh-jauh hari.

Suasana seketika serasa canggung saat Bu Sakinah keluar dari kamar. Lutfi mendudukkan dirinya di atas sofa yang tersedia di sana. Sedang Salva masih berdiri, mematung di dekat ranjang.

“Kamu nggak mandi? Mandi dulu sana,” ujar Lutfi.

“Iya,” jawab Salva, gadis itu terlihat salah tingkah untuk beberapa detik, namun, dia bisa menetralkannya.

Sepeninggal Salva ke kamar mandi, Lutfi menatap cincin pernikahan yang melingkar di jari manisnya. Pikirannya tiba-tiba teringat akan Dian, sang kekasih yang tidak mengetahui bahwa saat ini dia sudah menikah.

Sayang, nanti kalau kita menikah, aku mau aku sendiri yang pilih cincin nikahnya, dan hanya aku yang boleh pakaikan cincin di jari kamu.”

Perkataan Dian berputar di pikiran Lutfi. Lelaki itu kini menarik cincin yang dia kenakan, melepaskannya dan melemparnya ke tempat tidur. Tangannya mengusap wajah dengan kasar, sebelum akhirnya memukul tembok di sebelahnya dengan lumayan keras.

“Semua karena Salva.”

***

Assalamualaikum, halo!
Bagaimana part kedua dari cerita ini? Semoga nggak membosankan, ya^^

Jangan lupa vote, coment, and share cerita ini ke teman-teman kalian yang suka baca cerita dengan genre spiritual dan tema pernikahan, mhehe

So, tunggu next part-nya ya!
-Dn💙

Yulim Qalbi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang