Part 04

793 57 15
                                    

Bismillah

Lutfi memutar kunci rumah barunya, setelah kunci terbuka, lelaki itu mendorong pintu rumahnya hingga nampak bagian ruang tamu yang lumayan luas.

“Ini rumah kita,” ujarnya dingin kepada Salva.

Keduanya lalu masuk ke dalam. Salva memperhatikan sekeliling, rumah ini cukup mewah bagi Salva yang sejak kecil selalu tinggal di rumah yang sederhana.

“Kenapa? Kaget ya lihat rumah yang menurut kamu besar ini? Maklum sih, 'kan keluarga kamu orang nggak punya." Perkataan Lutfi membuat Salva mengalihkan pandangan kepadanya. Tatapan mata Salva menajam. Gadis itu tersenyum kecut lantas berjalan mendekat.

“Kakak boleh jahat sama aku, boleh hina aku sesuka hati Kakak. Tapi jangan pernah bawa-bawa orang tuaku, mereka nggak salah apa-apa,” tegas Salva.

“Kalau orang tua kamu nggak utang ke orang tua saya, saya nggak akan menikah sama kamu.”

Salva terdiam. Memang begitu adanya, perkataan Lutfi benar sepenuhnya. Gadis itu lebih memilih untuk menunduk dan menghindari perdebatan yang sudah dipastikan bahwa dia yang akan kalah.

“Kunci kamar kamu.” Lutfi menyodorkan kunci kamar ke arah Salva.

“Terima kasih.”

“Rumah ini nggak bertingkat, cukup kalau cuma buat kita. Kamar kamu di sebelah kiri dan kamar saya yang kanan. Jangan salah masuk," jelas Lutfi.

Salva mengangguk paham dan langsung menyeret kopernya memasuki kamar. Gadis itu menata ruangan kosong yang hanya diisi dengan ranjang berukuran kecil, lemari, meja belajar, serta meja rias. Salva mendekor ruangan bercat biru muda itu dengan indah, seperti kamarnya yang ada di rumah orang tuanya.

Salva keluar dari dalam kamar setelah pekerjaannya selesai. Dia merasa lapar karena belum makan sejak kemarin malam, gadis itu pun berjalan menuju dapur yang ada di belakang kamarnya. Dia membuka lemari es dan hanya mendapati telur.

“Hanya telur?” gumamnya. Dia mengambil telur yang tinggal satu butir itu lalu memasaknya. Tak lupa dia juga menanak nasi.

“Masak apa?” tanya Lutfi yang tiba-tiba datang. Lelaki itu melipat kedua tangannya di depan dada sambil bersender di dinding dapur.

“Telurnya cuma satu, Kakak kalau mau makan beli aja pakai aplikasi online. Aku belum makan dari semalam,” jelas gadis itu tanpa diminta.

Lutfi tertawa pelan mendengar ucapan Salva. Dia berjalan mendekat dan kini berdiri tepat di sebelah Salva. Lelaki itu menunduk, mencoba melihat wajah Salva yang masih terfokus pada telur yang kini sudah matang.

“Kamu lucu juga ternyata.” Satu kalimat yang keluar dari mulut Lutfi dapat menggetarkan hati Salva.

Salva melirik sekilas, lalu menetralkan degub jantungnya. Dia tidak menjawab, membiarkan saja lelaki yang berstatus suaminya itu bicara. Salva duduk di kursi meja makan. Gadis itu mulai melahap nasi yang sebenarnya sedikit panas. Dia terlalu lapar. Lutfi ikut duduk di hadapan Salva.

“Besok langsung kuliah, 'kan?” tanya Lutfi padanya.

“Iya, kenapa?”

Yulim Qalbi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang