Part 16

966 57 8
                                    

Bismillah

Seperti disambar petir di siang bolong. Hati Salva hancur berkeping-keping tanpa sisa. Mungkin, inilah yang disebut sakit, tapi tak berdarah. Tak terlihat namun, mampu dirasakan. Rasanya perih, lebih perih dari tusukan seribu atau sejuta duri.

Tangis Salva tak bisa terhenti, meski dari balik pintu kamar Lutfi, berkali-kali Lutfi mengutarakan kata maaf dan mencoba untuk menjelaskan semuanya.

“Nggak perlu nunggu Salva hamil. Keinginan Ibu sudah saya penuhi.”

Semua mata langsung tertuju kepada perempuan yang saat ini berdiri di ambang pintu. Mata Lutfi dan Salva kompak membulat. Sedangkan Pak Baskara dan Bu Sakinah diam kebingungan.

“Maksud kamu apa?” tanya Pak Baskara dengan suara yang meninggi.

Detak jantung Lutfi terasa dipompa dua kali lipat dari debaran sebelumnya. Ini lebih dari sekadar kekhawatiran. Dia takut, menyakiti hati ketiga orang yang saat ini disayanginya. Ya, tiga orang, termasuk Salva.

“Saya hamil anak Lutfi.”

Salva menatap tajam tepat di bola mata Lutfi, seakan meminta penjelasan yang jelas saja, penjelasan itu akan semakin membuat hatinya terluka.

“Pergi kamu! Jangan pernah membuat kebohongan tentang anak saya. Jangan rusak rumah tangganya,” usir Pak Baskara.

“Yah, yang gadis itu katakan...” Lutfi menunduk dalam, lelaki itu memejamkan matanya, “Benar. Dia hamil anak Lutfi.”

Plak

Satu tamparan keras berhasil Pak Baskara layangkan tepat di pipi Lutfi. Seketika itu pula Salva menangis, gadis itu menggeleng, tidak mau menerima keadaan yang ada saat ini.

“Aku nggak nyangka, Kak. Aku kira hubungan Kak Lutfi dengan Kak Dian nggak sejauh ini. Ternyata...” Salva tidak mampu melanjutkan ucapannya.

“Salva, saya bisa jelasin.” Lutfi meraih tangan Salva, namun, gadis itu menepisnya.

“Kamu jelasin ke Ayah sekarang, Lut! Biar Salva dibawa ibumu ke kamarmu.” Pak Baskara menatap Bu Sakinah, “Bawa Salva.”

Dan di sinilah Salva sekarang. Salva masih enggan membuka pintu kamar, meski itu kamar milik Lutfi sekalipun. Dia tetap membiarkan teriakan Lutfi yang mengucap maaf dan ungkapan penyesalan lainnya di depan kamar.

Gadis itu meringkuk dengan air mata yang terus menerus keluar, membuat dadanya sesak. Sesak akan perasaan yang lama dia pendam, kini berakhir menyedihkan.

“Astaghfirullahalazim.” Salva kembali beristigfar.

“Salva, buka pintunya, Sal. Saya akan jelasin semuanya.” Suara Lutfi masih terdengar dari luar.

“Salva, please, Sal. Saya bisa jelasin, Sal.”

Salva menarik napasnya dalam-dalam. Gadis itu berjalan mendekati pintu, bukan untuk membuka pintu, tetapi untuk duduk bersandar di balik pintu. Gadis itu masih menangis, tangannya memegang dadanya yang terasanya nyeri.

“Kak, Kakak harus tanggung jawab. Aku... Aku rela untuk dimadu.” Salva berujar dengan berat.

Di balik pintu. Lutfi terduduk lemas, bersandar di pintu dan menyesali segala perbuatannya. “Aku yang nggak rela, Sal,” gumamnya.

***

Pagi ini disambut dengan Dian yang tiba-tiba datang di kediaman Pak Baskara. Lutfi dan Salva masih berada di sana. Dan kali ini, Pak Baskara, Bu Sakinah serta anak dan menantunya tengah berada di ruang tamu untuk menemui Dian.

Suasana menegangkan. Salva terus saja menunduk sejak tadi, tidak tahan gadis itu menatap Dian yang saat ini tengah menatap Salva dengan pandangan yang seakan mengancam, mengancam posisi Salva.

“Jadi, kamu mau bagaimana? Saya tahu bahwa putra saya harus bertanggung jawab.” Pak Baskara memulai obrolan, memecah keheningan yang ada.

“Saya mau Lutfi menikah dengan saya. Resmi secara hukum dan agama, dan saya mau lagi satu hal.” Dian menggantung ucapannya.

“Apa?” tanya Pak Baskara.

“Saya mau menjadi istri satu-satunya. Saya mau Lutfi menceraikan Salva––“ ucapan Dian terhenti ketika seseorang memotong kalimatnya.

“Nggak mungkin, saya nggak mau putra saya menceraikan menantu kesayangan kami,” potong Bu Sakinah.

“Saya terserah saja kalau begitu. Hanya ada dua pilihan. Yang pertama, ceraikan Salva dan biarkan Lutfi menjadikan saya istri satu-satunya. Yang kedua, tetap pertahankan Salva dan saya akan menggugurkan bayi––“

“Jangan, Kak Dian. Kalau Kakak memang ingin Kak Lutfi menceraikan saya, saya rela untuk diceraikan,” cegah Salva.

Lutfi menatap Salva tajam. Dia tidak terima dengan keputusan istrinya.

“Salva! Kamu lupa? Perceraian itu perbuatan yang dibenci Allah,” ujar Lutfi.

“Lalu aku harus bagaimana, Kak? Apa Kak Lutfi rela jika anak dalam kandungan Kak Dian harus digugurkan? Kakak rela? Itu anak Kak Lutfi,” jawab Salva.

“Tapi saya nggak bisa ceraikan kamu, Sal,” ujar Lutfi, suaranya meninggi.

“Kenapa? Bukannya sejak awal kita menikah, ini yang diinginkan Kak Lutfi?” balas Salva.

“Karena saya jatuh cinta sama kamu,” ungkap Lutfi.

Salva membulatkan matanya. Jika saja ucapan Lutfi barusan dia dengar sebelum kenyataan ini menamparnya, mungkin hatinya akan sangat berbunga-bunga. Tapi, kali ini tidak.

“Lalu kamu rela anak kamu ini aku gugurkan?” Dian berucap tiba-tiba. Membuat semua mata menatapnya tak suka, perempuan itu sungguh egois untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.

“Nggak, aku nggak rela juga,” jawab Lutfi.

“Pilihan ada di tanganmu, Kak.” Salva meraih tangan Lutfi. Mungkin, ini terakhir kalinya gadis itu menyentuh tangan yang beberapa hari ini dia cium punggung tangannya sebelum berangkat ke kampus.

Hening. Semua terdiam. Menatap Salva yang saat ini mencium punggung tangan Lutfi dengan sangat lama, gadis itu menangis di sana. Sesaat kemudian, Salva melepaskan tangannya.

“Bagaimana, Lut?” tanya Dian.

Lutfi memejamkan matanya. Menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Lelaki itu mengembus dan mengeluarkan udara yang dia hirup dalam-dalam. Sungguh, ini pilihan yang sangat sulit baginya.

Segala andai melayang-layang di pikiran Lutfi sekarang. Andai dia tidak melakukan itu bersama Dian. Andai dia tidak terlalu membenci Salva. Andai dia tidak menyia-nyiakan keberadaan Salva. Dan andai dia tidak jatuh cinta kepada Salva. Mungkin semua tidak akan serumit sekarang.

“Maaf, saya...”

***

Assalamualaikum
Halo, semua!

Alhamdulillah, bisa update part 16. Mungkin, kurang beberapa part lagi, Yulim Qalbi akan tamat.

Btw, Lutfi kenapa, ya, bilang maaf? Hehe

Voment and share, jangan lupa.
-Dn💙

 -Dn💙

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yulim Qalbi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang