Part 15

1K 54 9
                                    

Bismillah

Salva menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Gadis itu lalu merebahkan dirinya di sofa ruang tamu rumah orang tuanya dulu. Kakinya dia selonjorkan, membuang segala beban yang dia rasakan seharian ini.

Gadis itu membuka tangannya yang tadi menutup wajah. Menatap setiap sudut rumah yang sejak kecil menaunginya. Gadis itu menatap pintu kamarnya. Di sana barang-barang Salva masih tersimpan rapi seperti saat Salva masih menempatinya. Tidak ada sedikitpun perubahan letak pada barang-barang yang ada di sana sejak terakhir dia tinggali.

Gadis itu mengembuskan napasnya berat. Dia merindukan belaian kasih ibunya. Jika dulu dia berada di sini karena ingin mencari tempat untuk menuangkan segala isi hatinya, kini tidak ada lagi.

“Bu, Salva pengen curhat,” lirihnya. Tidak ada yang menyaut, hening, tiada suara selain helaan napas Salva.

Suara pesan masuk terdengar dari ponsel Salva. Gadis itu mengambil ponselnya dan melihat siapa pengirim pesan barusan.

Bu Sakinah

Nak, hari ini ke rumah, ya. Ibu masak makanan kesukaan kamu dan Lutfi, sekalian merayakan ulang tahun ibu ^_^

Wah, Barakallah Fii Umrik, Bu.

Insyaallah, sepulang dari kampus, Salva sama Kak Lutfi datang ke rumah ibu.

Ditunggu ya, sayang^^

Iya, bu^_^

Salva tersenyum membaca pesan dari ibu mertuanya. Dia harus menyiapkan hadiah khusus untuk sang mertua. Dan satu lagi, dia akan pergi ke sana bersama Lutfi. Dia tahu, dia memang belum bisa memberi kado yang sangat diinginkan oleh ibu mertuanya itu, tapi setidaknya dia bisa memberi hal yang lain. Dan dia akan berusaha memberi kado impian Bu Sakinah itu sebisanya.

Salva keluar dari dalam rumah orang tuanya. Mengunci pintu rumah itu dan bergegas untuk pulang.

***

Suasana terasa sunyi dan menegangkan, meskipun mereka saat ini tengah berada di sebuah kafe yang penuh akan manusia dan nyanyian yang menggema di setiap sudutnya.

Jari lentik Dian bermain di atas meja kafe. Matanya menyorot sendu menatap ke arah jemari itu. Berkali-kali gadis dengan rambut sebahu itu mengembuskan napasnya berat. Tatapannya seakan-akan tengah menimang, haruskah dia mengatakan ini sekarang?

“Lut, mungkin sekarang waktu yang tepat untuk aku mengatakan hal ini.” Mata Dian menatap tajam mata Lutfi yang saat ini menatapnya dengan tatapan bingung.

Lelaki itu tidak menjawab, dia memilih diam sambil menunggu sang kekasih mengatakan apa yang akan dia katakan.

“Mungkin ini sangat sensitif, tapi, mau tidak mau aku harus mengatakan ini dan kamu harus mendengarkannya.” Dian kembali menjeda ucapannya.

“Mengatakan apa?” tanya Lutfi penasaran. Dia tahu bahwa apa yang akan Dian katakan kali ini adalah topik yang serius.

“Ingat kejadian beberapa minggu lalu, setelah kita pulang dari nonton waktu itu?” tanya Dian.

Wajah Lutfi langsung memucat. Dia ingat dan sangat ingat.

“Aku harus katakan ini sekarang, Lut. Karena pada dasarnya, ketika kamu melakukan itu, kamu tahu apa yang harus kamu lakukan selanjutnya.” Dian menatap ke bawah, lalu mengambil napas dan membuangnya.

Gadis itu mengangkat kepalanya, lantas menatap lurus tepat di mata Lutfi. “Aku hamil.”

Lutfi diam, namun, helaan napas beratnya itu mampu mendeskripsikan keadaannya sekarang. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan kasar. Dia memang tahu apa yang akan Dian katakan, tapi sejatinya dia belum siap.

Yulim Qalbi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang