Part 13

811 47 3
                                    

Bismillah

Siang ini udara cukup panas. Salva berjalan melewati trotoar dengan keringat yang berkali-kali melewati keningnya. Kakinya berhenti saat tiba-tiba seseorang berdiri tepat di hadapannya.

“Eh, Kak Zikri,” sapa Salva sambil tersenyum.

“Iya. Kamu tumben jalan kaki?” tanya Zikri.

“Iya, nih, Kak. Motornya kehabisan bensin tadi pagi, lupa ngisinya kemarin,” jawab Salva.

“Terus, berangkat ke kampus tadi naik apa?” tanya Zikri lagi.

“Sama Kak Lutfi, tapi sekarang nggak bisa jemput, soalnya Kak Lutfi sibuk,” jawab Salva.

“Sibuk pacaran, ya?” cetus Zikri keceplosan.

Salva mengerutkan keningnya, beberapa detik kemudian dia menatap ke bawah. Ucapan lelaki di hadapannya ini memang benar adanya.

“Eh, maaf. Nggak—“

“Nggak apa, Kak. Aku udah tau itu dari dulu,” sela Salva, wajahnya tersenyum menyimpan luka

“Maaf.”

“Iya, Kak. Oh iya, Kakak ngapain di sini?” tanya Salva mengalihkan topik obrolan.

“Ini, beli es kelapa muda,” jawab Zikri.

“Oh, gitu, yaudah ya, Kak, aku lanjut jalan.” Salva mengakhiri obrolannya.

“Tunggu, Sal,” cegah Zikri.

“Ada apa, Kak?” Salva berbalik menatap Zikri.

“Pulang sama aku aja, gimana? Panas juga cuacanya,” tawar Zikri.

Salva menggeleng pelan. “Aku naik taksi.” Setelahnya, gadis itu berjalan menjauh.

***

“Nonton apa, ya, enaknya?” tanya Salva pada dirinya sendiri.

Gadis itu tengah membuka laptop untuk dia pakai menonton film. Dan saat ini dia bingung ingin menonton apa. Lelah sangat mendominasi, maka dia memutuskan untuk refresing.

“Nonton film horor bagus, Sal.” Suara Lutfi mengagetkannya. Lelaki itu sudah berada di ambang pintu kamar Salva.

“Lah, Kak Lutfi, tumben?” tanyanya.

“Boleh masuk?” tanya Lutfi, tidak menjawab pertanyaan Salva barusan.

“Bo.. Boleh,” jawab Salva tergagap.

Lutfi berdiri di sebelah Salva yang tengah duduk di kursi meja belajar. Lelaki itu membungkukan badannya, mengambil alih mouse yang ada di genggaman Salva. Jantung Salva berdetak abnormal. Gadis itu memejamkan mata, berharap agar detakan itu tidak terdengar oleh Lutfi, karena jarak mereka sangat dekat.

“Nah, ini bagus, nih,” ujar Lutfi sembari meng-klik tombol tonton pada film pilihannya.

Lutfi menegakkan badannya, menatap ke sekeliling kamar. “Aku ambil kursi meja rias, ya, buat duduk,” izinnya pada Salva.

Salva mengangguk. Lantas Lutfi pun mengangkat kursi meja rias yang dia maksud dan meletakkan di sebelah Salva, lalu duduk di sana.

“Kakak tumben ke sini?” tanya Salva akhirnya.

“Kenapa, nggak boleh?” tanya balik Lutfi.

Salva menggeleng pelan, lantas berkata, "Nggak pa-pa, lah. Kenapa harus dilarang?” jawabnya.

“Yaudah, yuk, nonton aja.” Lutfi kembali memfokuskan pandangannya ke layar laptop.

Salva tersenyum tipis, langkahnya menuju hati Lutfi mungkin semakin mudah. Ternyata Lutfi tidak sedingin yang Salva pikirkan.

***

Pukul setengah sebelas malam. Ponsel milik Salva berdering, menandakan ada panggilan masuk. Gadis itu menghentikan kegiatannya mengetik tugas kuliah, lantas mengangkat telepon yang ternyata dari sang ibu.

Assalamualaikum, ada apa, Bu?”

Waalaikumsalam. Nak, Ibu cuma mau kasih kabar kalau besok Ibu mau pindahan,” jelas Bu Ambika.

“Oh, gitu, Bu. Pindah ke mana?” tanya Salva.

“Pindah ke Yogya, rumah keluarga Ibu sekarang kosong, jadi, Ibu pikir lebih baik tinggal di sana saja, tempatnya juga luas.”

Salva mendesah pelan, dia sebenarnya tak ingin jauh-jauh dari ibu dan ayahnya. Tapi, dia juga tidak bisa memaksa agar kedua orang tuanya tetap tinggal. “Kalau begitu, besok Salva ke rumah, ya, sekalian bantu Ibu kemasi barang,” ujar Salva.

“Seperti biasa, rumah Ibu terbuka untukmu,” jawab Bu Ambika. “Nak, Ibu hanya bisa berdoa agar kamu bahagia sama Lutfi, kamu yang sabar, ya, Lama-lama Lutfi akan luluh sama kamu, berdoa, ya.”

“Aamiin. Ibu doain aja yang terbaik buat Salva.” Salva tersenyum tipis.

“Kalau begitu, Ibu tutup, ya, teleponnya, mau lanjut beres-beres barang.”

“Iya, Bu. Maaf, ya, Salva nggak bisa bantu sekarang.”

“Iya, Nak. Assalamualaikum.”

Waalaikumsalam.”

Panggilan terputus, gadis itu kembali mengerjakan tugasnya. Besok pagi dia harus ke rumah orang tuanya untuk membantu dan mengucap salam perpisahan.

***

Salva memeluk tubuh ibunya dengan sangat erat. Sepanjang hidupnya, Salva tidak pernah terpisah jauh dengan Ambika. Wanita itu selalu menjadi tempat Salva pulang, menuangkan segala keluh kesahnya. Namun, sekarang Ambika harus meninggalkan kota kelahiran putrinya.

“Ibu jaga kesehatan, ya, di sana. Jangan telat makan,” ujar Salva.

“Iya, kamu juga, jangan lupa untuk makan tepat waktu dan jangan tidur terlalu malam, salat lima waktu jangan ditinggal,” pesan Ambika yang diangguki mantap oleh Salva.

Pemberitahuan bahwa kereta menuju Yogya yang akan ditumpangi Bu Ambika dan Pak Yusril telah tiba. Keduanya pun melangkah setelah saling melepas dengan sang anak. Salva meneteskan air matanya, gadis itu mengusap air matanya pelan. Lutfi berdiri di belakang Salva. Tangannya perlahan menyentuh pundak Salva untuk menenangkan gadis itu. Salva yang merasa pundaknya diusap oleh Lutfi, seketika mematung. Belum pernah Lutfi perhatian kepadanya.

“Ibu sama ayah kamu pasti sudah naik kereta. Yuk, kita pulang,” ujar Lutfi dengan tersenyum tipis.

Salva mengangguk pelan. Gadis itu berjalan beriringan dengan Lutfi. Tanpa disadari, jemari Lutfi terpaut dengan jemari Salva. Gadis itu menatap tangannya yang terpaut itu dengan rasa yang berbunga-bunga, seakan ribuan kupu-kupu terbang di perutnya.

***

Assalamualaikum, semua
Alhamdulillah, akhirnya bisa update

Btw, voment and share jangan lupa
See u next time^^
-Dn💙

Btw, voment and share jangan lupaSee u next time^^-Dn💙

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Yulim Qalbi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang