Bismillah
Salva keluar dari kamar mandi sambil membenarkan posisi jilbabnya. Sebenarnya, posisi jilbabnya sudah sangat benar, tapi dia melakukan itu karena gugup di depan suaminya.
“Silakan mandi, Mas. Handuk baru ada di dalam,” ujar Salva sambil berjalan mendekati koper miliknya.
Lutfi tidak menjawab, lelaki itu langsung berjalan menuju kamar mandi guna membersihkan diri.
Salva membawa kopernya ke atas tempat tidur, membuka koper itu lalu mengambil mukenah untuk menjalankan salat Isya. Baru saja akan menggelar sajadah, matanya menangkap sebuah cincin pernikahan yang tadi dia pasangkan di jari manis Lutfi.
Gadis itu mengambil cincin bewarna putih polos itu, lantas menggenggamnya dengan kuat, membuat telapak tangannya memerah. Air matanya meluruh tanpa aba-aba, sakit hatinya saat melihat cincin itu tidak digunakan.
“Sesepeleh itukah pernikahan ini?” lirihnya.
Gadis itu membuka tangannya, ditatapnya cincin sang suami dan miliknya secara bergantian. Tidak mau ketahuan menangis, gadis itu mengelap air matanya dan menyimpan cincin milik Lutfi di dalam koper dan segera menunaikan salat Isya.
***
“Kak, kita perlu bicara,” ucap Salva menatap Lutfi tajam.
Lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandi itu mengangkat satu alisnya, menunggu gadis itu melanjutkan ucapannya.
“Bisa?” Salva menunggu konfrimasi.
“Iya, bicara apa?” tanya Lutfi lantas duduk di sebelah Salva, di sofa.
“Maksud Kakak apa lepas cincin pernikahan kita?” tanya Salva to the point.
“Masih perlu ditanyakan?” Bukannya menjawab, Lutfi malah menanyakan hal yang tidak dimengerti oleh Salva.
“Maksud Kakak?”
“Saya yakin kamu lebih pintar untuk tahu apa maksud saya. Pernikahan kita bukan pernikahan impian, semua berjalan karena keterpaksaan,” terang Lutfi.
Jantung Salva kini terasa seperti tertusuk beribu anak panah. Dia tahu, memang pada dasarnya pernikahan ini hanyalah sebuah keterpaksaan. Tapi, hati wanita mana yang tak sakit saat suaminya tidak menerima kehadirannya sebagai seorang istri.
“Aku tahu, Kak. Pernikahan kita hanya keterpaksaan, tapi aku nggak mau pernikahan yang sakral ini malah kamu permainkan." Salva berdiri dari duduknya, menatap sang suami dengan air mata yang sudah tidak dapat dibendung lagi.
Lutfi ikut berdiri, tangan lelaki itu mencengkram kuat pundak sang istri.
“Dengar saya, saya nggak pernah mempermainkan sebuah pernikahan. Tapi saya tidak bisa membohongi perasaan saya sendiri. Saya tidak mencintai kamu dan saya pikir kamu juga tidak mencintai saya. Berhenti pura-pura peduli dan bahagia.”
Setelah itu, Lutfi menghempaskan tubuh Salva ke atas ranjang. Membuat gadis itu tersentak dan terisak semakin kuat. Lutfi keluar dari dalam kamar lalu pergi entah ke mana.
Kini hanya Salva yang ada di dalam kamar. Gadis itu terisak sambil menatap cincin yang tergeletak di sebelahnya. Tangannya meraih benda kecil itu lalu menggenggamnya dengan kuat.
“Kenapa takdirku sekejam ini? Aku tidak mendapatkan lelaki yang aku cintai. Dan aku juga tidak mendapatkan suami yang mencintaiku. Kenapa Ya Allah? Kenapa?” raungnya.
Salva kini menutup wajahnya dengan telapak tangan. Membiarkan tangisnya tumpah dan menuangkan segala isi hatinya. Membebaskan segala lara yang menjerat dan menjerit dalam jiwanya.
“Astagfirullah.”
***
Pukul setengah tiga dini hari. Salva terbangun dari tidurnya, gadis itu merasa matanya sangat berat karena menangis semalaman. Dilihatnya jam dinding lalu menatap ke sekeliling ruangan. Lutfi tidak ada.
Salva berdiri dan berjalan ke kamar mandi guna membersihkan diri untuk melaksanakan salat malam. Seusai salat dan menumpahkan segala isi hatinya, gadis itu meraih ponsel untuk menghubungi Lutfi. Bagaimana pun keadaannya, Lutfi adalah suaminya. Dia berhak untuk tahu di mana Lutfi berada sekarang. Tapi bodohnya Salva, gadis itu baru teringat bahwa dia tidak menyimpan nomor ponsel Lutfi.
Salva lebih memilih untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran sembari menunggu Lutfi datang. Gadis itu menghentikan bacaannya saat pintu kamar terbuka. Dia menoleh ke belakang, tepat saat seseorang yang membuka pintu itu masuk ke dalam.
“Kakak dari mana?” tanyanya kembali menatap Al-Quran di tangannya.
“Bukan urusan kamu,” jawab Lutfi lalu menghempaskan tubuhnya di atas ranjang.
“Dulu. Sekarang itu juga urusanku,” sahut Salva sembari berdiri. Gadis itu meletakkan Al-Quran di atas meja lalu berjalan mendekati Lutfi yang sekarang sudah duduk di atas ranjang.
Tepat saat Salva ada di hadapan Lutfi, lelaki itu berdiri dan menatap Salva.
“Mulai sekarang dan seterusnya, jangan pernah ikut campur urusan saya. Saya juga tidak akan ikut campur urusan kamu. Jangan larang saya melakukan apa yang saya mau, begitu pula saya tidak akan melarang apa pun yang kamu mau..." Lutfi menjeda kalimatnya. “Termasuk jika saya masih berpacaran dengan Dian. Kamu juga berhak menjalin hubungan dengan lelaki lain—“
“Aku nggak pacaran, dan nggak akan pernah pacaran. Pertama, pacaran dilarang dalam agama kita. Kedua, aku sudah menikah.”
Lutfi mengembuskan napas berat. “Terserah, yang penting jangan larang saya bertemu dengan Dian. Dian nggak tahu apa pun tentang masalah ini.”
Tak lama, azan subuh terdengar. Berkumandang di setiap sudut kota. Salva kembali mengambil air wudu dan bersiap melaksanakan salat subuh.
***
Assalamualaikum...
Halo, semua! Apa kabar? Semoga baik, ya^^Bagaimana part ketiga hari ini? Plis komen di bawah, karena aku pengen tau kesan kalian^^
Jangan lupa follow Instagram dan Twitter aku @ea_ekasyah di sana kadang aku kasih info soal kepenulisan.
-Dn💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Yulim Qalbi [Selesai]
Spiritual[Spiritual-Romance] Pernikahan Salva dengan Lutfi sama sekali tidak memberikan kebahagiaan bagi satu sama lain. Lutfi mencintai pacarnya, gadis yang tidak halal untuk ia cinta, dibanding mencintai Salva, istrinya. Rasa cemburu mulai datang kala me...