Part 18

1K 49 2
                                    

Bismillah

S

udah seminggu Salva absen. Gadis itu tidak memiliki mood untuk berangkat ke kampus dan bertemu dengan Lutfi. Tapi, kali ini, dengan paksaan dari Binar dan Elish, gadis itu akhirnya pergi ke kampus.

Langkahnya melewati koridor dengan wajah datar, tidak seperti biasanya. Gadis itu berhenti tepat di depan kelas. Tangannya membuka pintu dan langsung duduk di bangku yang tersisa. Tempat, Binar dan Elish berada di kiri dan kanannya.

“Kami marah sama kamu, Sal,” ujar Binar pelan, tetapi, Sava masih bisa mendengarnya. Salva melirik ke arah Binar yang matanya terfokus pada dosen di depan.

“Kami kecewa sama kamu.” Kini Elish yang berujar. Kini Salva melirik ke arah Elish yang fokusnya juga ke depan.

Salva meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan. Gadis itu bingung dengan ucapan kedua sahabatnya barusan. Dia diminta datang ke kampus, tapi malah disuguhkan dengan ungkapan yang membuat pikiran Salva bingung tak keruan.

“Bangun!”

Salva terjingkat kaget saat di hadapannya sudah berdiri Pak Agung, dosen killer yang terkenal di seantero anak-anak Fakultas Hukum.

“Maa--maaf, Pak,” jawab Salva gemetar.

“Keluar dari kelas saya!” usir Pak Agung.

“Tapi, Pak, saya—“

“Sekarang!”

Salva berdiri dengan wajah yang amat sangat menyedihkan. Gadis itu permisi dan pergi meninggalkan kelas.

Di sepanjang perjalanannya, dia hanya bisa diam tanpa berucap sepatah kata. Tidak ada lagi Salva yang ceria, yang selalu menebar senyum ramah kepada teman-teman perempuannya, atau sekadar menjawab sapaan. Gadis itu kini bagai patung yang berjalan.

Salva mendapati Lutfi berjalan dengan langkah lunglai dari arah yang berlawanan dengannya. Mata Salva seketika memanas mengingat kejadian seminggu lalu yang menimpanya.

Gadis itu menguatkan pertahanan, karena langkah mereka semakin terkikis oleh jarak yang semakin dekat. Gadis itu memalingkan wajah saat selangkah lagi mereka akan berpapasan. Lain halnya dengan Lutfi, lelaki itu sejak tadi menatap Salva tanpa henti. Wajah itu yang dia rindukan seminggu ini, tapi, kini wajah itu telah berubah, tidak seperti dulu lagi.

***

Seminggu berlalu. Terhitung dua minggu dia berpisah dengan Lutfi. Selama dua minggu itu pula Salva mencoba untuk melupakan segalanya tentang Lutfi.

Gadis itu duduk mengerjakan setumpuk tugas di dalam kamar. Kegiatannya terhenti saat seseorang mengetuk pintu rumahnya. Gadis itu keluar dari dalam kamar setelah menggunakan jilbab instannya. Salva membuka pintu, tubuhnya seketika membeku saat mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya adalah Lutfi, mantan suaminya.

“Assalamualaikum, Salva.”

“Waalaikumsalam. Ada apa Kakak ke sini?” tanya Salva tanpa menatap Lutfi.

Tanpa menjawab, lelaki itu menyodorkan dua benda berbahan kertas itu ke depan Salva. Tangan Salva perlahan meraihnya.

“Hanya itu, maaf.”

Salva mengangguk pelan, “Iya.”

“Saya pamit, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam.”

Lutfi berlalu dari hadapan Salva. Sedangkan Salva langsung saja masuk dan mengunci pintu rumahnya dengan rapat. Gadis itu membuka map yang ternyata berisi surat cerai dari pengadilan.

Air matanya kembali meluruh membanjiri wajah. Dengan berat hati yang teramat dalam, gadis itu akan melakukan hal yang akan menjadi penyesalan terberat yang pernah dia lakukan suatu saat nanti.

“Ya Rabb, ampuni hamba.”

Salva menandatangani surat cerai itu. Pada hari ini, jam ini, dan detik ini pula, semuanya telah berakhir. Hubungan mereka telah selesai, baik di mata agama maupun di mata hukum.

Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, tiada pundak untuk dia bersandar, maka, dia memilih untuk menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Beberapa detik kemudian dia teringat. Ada satu lagi pemberian Lutfi yang belum dia buka. Gadis itu mengambil sesuatu yang dibungkus oleh plastik itu. Dan dia tahu, apa itu.

Dirabanya tekstur kertas bermotif batik itu. Perlahan, dia membuka undangan bewarna hijau di tangannya. Oksigen di sekitarnya seakan menghilang saat aksara yang tertuang di atas kertas itu berhasil ia baca.

Lutfi Yusuf Aditama dan Diandra Karisty

***

Salva berada di kantin sendirian. Menunggu kedatangan Binar dan Elish untuk menagih penjelasan atas dinginnya sikap mereka berdua kepada Salva.

“Assalamualaikum” Binar dan Elish mengucap salam, keduanya lantas duduk di hadapan Salva.

“Waalaikumsalam.”

To the point aja, ya, Sal. Kami marah sama kamu karena kamu mengambil keputusan yang salah atas permasalahan terbesar dalam hidupmu,” ujar Binar panjang lebar.

Salva tahu ke mana arah pembicaraan ini. Dia tidak ingin membahas ini lagi.

“Jangan bahas itu lagi. Aku yakin, kalian tahu masalah ini, berarti kalian juga tahu sebab dari semua ini.” Salva menyandarkan tubuhnya dengan malas.

“Kami tahu, kamu selama ini berjuang sendiri. Yang kami kecewakan dari kamu adalah kenapa kamu nggak bilang masalah ini ke kami? Kami malah dapat kabar ini dari orang lain. Kami ini sahabat kamu, kan, Sal?” Kini Elish yang bicara. Salva mengangguk pelan.

“Kenapa nggak cerita?” tanya Elish.

“Karena aku nggak mau hal ini jadi beban juga buat kalian, cukup aku yang ngerasain. Dengan kalian aku pantang berbagi luka meskipun itu salah satu hal yang selalu ada dalam persahabatan. Karena aku hanya ingin berbagi kebahagiaan dengan kalian, itu saja," jelas Salva.

“Kamu nggak boleh berpikir seperti itu, Salva. Kita ini sahabat,” ujar Binar.

Binar dan Elish kompak berdiri dan memeluk tubuh Salva yang pasti sangat membutuhkan pelukan dari orang-orang yang dia sayang.

“Aku sayang kalian,” ungkap Salva.

“Kami juga sayang kamu.” Elish dan Binar berucap secara bersamaan.


***

Assalamualaikum...
Halo, semua!

Alhamdulillah, update lagi hari ini... Btw, part ini gimana? Semoga suka, ya wkwkwk

Vote, komen, dan share jangan lupa

-Dn💙

Wattpad-nya juga, jangan lupa difollow🤣🤣🤣

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Wattpad-nya juga, jangan lupa difollow🤣🤣🤣

Yulim Qalbi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang