Part 19

1.1K 51 3
                                    

Bismillah

Lutfi menatap wajahnya yang terlihat kusam di hadapan cermin. Matanya tanpa sengaja menatap ke arah area wudu. Lelaki itu merasa bahwa dirinya harus melakukan sesuatu, setidaknya untuk menenangkan diri.

Lutfi berjalan pelan menuju area wudu. Tangan lelaki itu memutar keran dan mulai membasuh bagian tubuhnya yang wajib terkena oleh air wudu. Dia ingin salat, itu yang sekarang dia pikirkan.

“Kalau Kakak salat di rumah, nanti kakak jadi suami salihah, mau?” Salva tertawa pelan.

Lutfi memicingkan matanya, menatap Salva dari pantulan cermin di kamarnya.

“Suami? Suami siapa, Sal?” tanya Lutfi menggoda Salva.

Salva tersenyum lebar, menunjukkan deretan giginya. “Suami... Suami istrinya Kakak, lah,” jawabnya.

Lutfi membalikkan badan, menatap dengan jelas wajah Salva yang saat ini memerah seperti kepiting rebus. Gadis itu menunduk malu, bisa-bisanya Lutfi bertanya seperti itu.

Lutfi menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Lelaki itu memejamkan mata, bayangan akan Salva selalu mengusiknya. Entah kenapa, berada di dekat Salva, surga seakan dekat. Sedangkan jauh dari Salva, hatinya tidak keruan, seakan ada sesuatu yang kurang dalam hidupnya. Bagai hilang separuh jiwanya.

Lelaki itu masuk ke dalam masjid yang ada di area kampus. Lelaki itu pun melaksanakan salat Duha, karena saat ini masih berada di waktu Duha.

Lelaki itu telah usai melaksanakan salat Duha empat rakaat. Lelaki itu mengadakan tangannya, memanjatkan doa agar hatinya lebih tenteram. Tapi, Tiba-tiba saja dia menyalahi keputusannya yang telah melepas Salva. Ya, dia menyesal. Tetes air matanya melewati pipinya.

Dari pintu masjid, seseorang masuk dengan langkah pelan, hampir tanpa suara. Lelaki itu melaksanakan salat Duha di sebelah Lutfi. Seusai melaksanakan salat, lelaki itu menatap Lutfi lama. Tangannya lantas menyentuh pundak Lutfi, membuat Lutfi mengalihkan pandangangan kepadanya.

“Lutfi? Lu salat?” tanya Zikri tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Lelaki itu Zikri.

“Eh, Zik. Iya, gue salat,” jawab Lutfi.
Zikri menatap lurus ke depan. Entah mengapa, dia memiliki firasat dalam hatinya atas perubahan sang sahabat.

“Lu ada masalah?” tanya Zikri.
Lutfi mengangguk lemah. “Banyak, Zik.”

“Coba cerita,” ujar Zikri. “Kalau nggak mau juga nggak pa-pa, soalnya gue paham, lu butuh waktu sendiri. Gue pamit.”

“Tunggu, Zik!” Lutfi beranjak dari tempat duduknya.

“Apa?”

“Gue cerita di kafe biasanya, sekalian ajak Farrel,” jawab Lutfi.

“Oke, langsung aja ke sana, Farrel nyusul.”

Setelah kepergian Lutfi dari hadapan Zikri, Zikri langsung mencari kontak Farrel dan segera menghubunginya untuk mengajak cowok itu ke kafe langganan mereka.

***

Lutfi menceritakan semuanya dari awal, ketika Dian dan dirinya melakukan perbuatan yang membuatnya menyesal seumur hidup. Zikri dan Farrel menyimak dengan seksama, kepala mereka mengangguk pelan, tanda mengerti atas setiap kata yang Lutfi keluarkan dari mulutnya.

Yulim Qalbi [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang