Bismillah
Salva sudah kembali ke rumah. Gadis itu pulang lebih dahulu ketimbang Lutfi. Tidak ada tanda-tanda keberadaan lelaki itu di rumah ini. Bahkan, hingga jarum jam menunjuk pukul dua dini hari, lelaki itu tidak juga datang.
“Kak Lutfi belum pulang?” lirih Salva.
Salva mengempaskan tubuhnya di atas sofa. Membuang semua penat yang dia rasakan, penat hati lebih tepatnya. Gadis itu menatap setiap sudut rumah yang baru dihuni nya beberapa hari ini.
Salva tahu, dirinya tak lebih istimewa bagi Lutfi dibandingkan Dian. Dia juga tahu dirinya bukan prioritas yang perlu ditemani setiap saat. Dia tahu dirinya hanya debu bagi Lutfi, ada dan tiada dirinya di dekat Lutfi, itu tidak akan berefek apa pun bagi lelaki itu.
“Assalamualaikum.” Suara Lutfi dan bunyi kenop pintu yang dibuka membuat Salva berdiri dari posisi tidurnya.
Gadis itu langsung berjalan mendekati Lutfi dan mengambil alih tas yang baru saja diberikan Lutfi olehnya. Entah keberanian dari mana, Salva bahkan menyempatkan untuk mencium punggung tangan lelaki itu.
“Kamu kenapa?” tanya Lutfi heran.
“Nggak pa-pa. Oh iya, Kak, aku tadi belum masak makan malam. Tapi, kakak pasti udah makan, 'kan habis nonton tadi?" ujar Salva panjang lebar.
Kalimat terakhir Salva membuat Lutfi menatapnya bertanya-tanya.
“Kamu tau dari mana saya habis nonton?” tanya Lutfi.
Salva membuang napasnya berat. “Saya juga ada di tempat kakak tadi. Cuma beda teater,” jawabnya.
“Oh.”
Ingin rasanya Salva menanyakan dari mana Lutfi hingga pulang jam segini, tapi, dia tidak berani.
Salva berjalan masuk ke dalam kamar Lutfi, meletakkan tas milik Lutfi di atas meja belajar. Salva memang diperbolehkan masuk ke kamar Lutfi dengan beberapa alasan, seperti membersihkan kamar dan seperti yang baru saja Salva lakukan. Matanya menatap ke sekeliling kamar dengan cat warna grey itu. Foto Lutfi dan Dian terpajang di sana, tak hanya satu, bahkan lebih dari lima potret.
Salva kembali mengembuskan napasnya berat. Foto pernikahan mereka saja, Lutfi enggan untuk melihat.
***
Azan Subuh berkumandang dari tiap-tiap masjid di area Surabaya. Salva mengerjapkan matanya dan akhrinya membuka mata bulatnya. Gadis itu berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum melaksanakan salat Subuh.
Di kamar Lutfi, si pemilik kamar masih berjelajah di alam mimpi. Tidurnya nyenyak membuat wajahnya yang tampan itu terlihat damai untuk dipandang.
Tok tok tok
Suara ketukan pintu dari Salva tak cukup mampu untuk membangunkan Lutfi. Dia masih setia berada di alam mimpi dan enggan untuk bangun.
“Kak bangun, salat.”
Tidak ada jawaban. Salva masih setia menunggu suaminya itu membukakan pintu. Dia tahu Lutfi sering bolong melakukan ibadah wajib tersebut, tetapi selama dia bisa mengingatkan, kenapa tidak?
“Kak bangun...” Suara Salva memelan.
“Apa?” Lutfi berteriak dari dalam kamar.
“Bangun, Kak, salat. Keburu telat loh,” jawab Salva.
“Saya salat di rumah,” sahut Lutfi.
“Laki-laki, 'kan lebih baik salat di masjid, Kak. Memangnya kakak mau jadi lelaki salihah?”
Cklek
Pintu terbuka, menampakkan wajah khas bangun tidur milik Lutfi.
“Saya sudah bilang sejak hari pertama saya menikah sama kamu. Jangan urusi hidup saya, terserah saya mau apa.” Suara Lutfi meninggi.
Hening, Salva tidak menyahut.
“Kamu.” Telunjuk Lutfi menunjuk tepat di depan wajah Salva. “Urusi hidup kamu sendiri, hidup saya urusan saya.”
Setelah itu Lutfi masuk ke dalam kamar. Menutup pintunya rapat-rapat.
Salva berbalik badan masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu kamarnya dan terduduk di balik pintu itu. Tangisnya pecah, air matanya menganak sungai di kedua pipi merahnya.
“Ya Allah, mengapa Engkau jodohkan hambah dengan lelaki yang tidak mencintai hambah?”
Sejenak dia teringat akan Adwit. Idamannya yang beberapa hari ini sudah jarang dilihatnya. Dia tahu dia salah memikirkan lelaki lain selain suaminya, tapi semua perlakuan Lutfi padanya membuat gadis itu teringat akan sikap manis Adwit untuknya.
***
Assalamualaikum, halo semua!
Apa kabar? Semoga baik-baik saja...Voment and share jangan lupa
-Dn💙
KAMU SEDANG MEMBACA
Yulim Qalbi [Selesai]
Spiritual[Spiritual-Romance] Pernikahan Salva dengan Lutfi sama sekali tidak memberikan kebahagiaan bagi satu sama lain. Lutfi mencintai pacarnya, gadis yang tidak halal untuk ia cinta, dibanding mencintai Salva, istrinya. Rasa cemburu mulai datang kala me...