Bagian Tiga Belas | Tembok Tertinggi

1.1K 169 3
                                    

"Ada yang lebih rapuh dari salju di tengah badai, tapi juga lebih kuat dari ombak pasang yang kerap menghancurkan karang.

Ketahuilah, itu adalah perasaan."

Gala membanting pintu dengan asal

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gala membanting pintu dengan asal. Ia langsung melompat ke atas kasur tanpa lebih dahulu mengganti pakaian. Sejak ia menyelesaikan hukuman yang diberikan oleh Pak Bahri, tubuhnya merengek minta cepat-cepat diistirahatkan.

Bersamaan dengan luruhnya sebagian beban yang ada di tubuh, pikirnya melayang, pada beberapa saat ke belakang. Ia masih ingat dengan jelas percakapan terakhirnya dengan Saka. Berakhir di kalimat yang ia lontar, kemudian keduanya diam, tak lagi membuka suara. Hingga Pak Bahri datang dan memperbolehkan mereka pulang—dengan syarat tidak akan ada lagi keributan di antara mereka.

Embusan napas kasar Gala buang berbarengan dengan posisi tubuh yang ia miringkan ke sebelah kanan. Ia menatap lurus pada apa saja yang mampu ia rekam. Hingga fokusnya jatuh pada meja belajar yang ada di ujung ruangan—tepatnya pada pigura kecil bercat putih yang warnanya telah berubah kekuningan.

"Woy Gandhis, itu anak sialan cari gara-gara lagi sama gue."

Hanya detik jarum jam yang Gala dengar. Ucapannya sama sekali tak mendapat balasan—tak akan pernah, tepatnya—dan ia sangat paham. Tapi baginya hal tersebut sudah menjadi ritual—bercerita dengan sosok sang kakak yang tersenyum manis di dalam bingkai.

"Gue bikin dia nangis lagi, Dhis. Jahat banget nggak sih, gue?"

Gala tertawa miris. Mengasihani diri sendiri yang selalu terlihat antagonis.

"Tapi dia duluan yang mulai. Dia numpahin kuah sup ke seragam gue. Kan kampret. Terus kita ribut. Gara-gara gitu, gue sama dia jadi dihukum ngepel gor indoor. Retek semua tulang pinggang gue."

Gala menjilat bibir yang terasa kering. Ia meraba belakang tubuh, meraih benda apapapun yang bisa ia jadikan guling. Gerakannya terhenti saat sebuah boneka spongebob berhasil ia raih. Ia bawa benda itu ke dalam pelukan, tanpa mengalihkan fokus dari senyum cerah sang kakak yang telah lama berpulang.

"Gue suruh dia masuk klub voli, Dhis. Gue salah ambil keputusan nggak ya?"

Dulu, saat sosok hangat nan cantik itu masih mampu ia rengkuh, Gala selalu menjadikan pelukan sang kakak menjadi tempat ia melepas peluh. Dan Gandhis akan dengan senang hati menjadikan pundaknya sebagai tempat sang adik membagi keluh. Tapi kini raga berbalut kulit putih dan tubuh ramping itu telah lama menjadi tulang. Tertimbun tanah dan tak akan lagi bisa Gala gapai. Tak akan ada lagi ocehan panjang yang akan ia dengar kala ia pulang dalam keadaan berantakan. Tak ada lagi kalimat penguat yang akan ia dapat kala ia hancur menjadi kepingan. Semua lenyap dalam satu hari yang membuat Gala sadar apa itu sejatinya makna dari kata kehilangan. Hari yang lebih buruk dari sekedar badai. Hari yang merebut bahagianya dengan cara kejam nan menyakitkan.

Behind Your Back[√] [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang