"I tried so hard and got so far. But in the end, it doesn't even matter."
—Linkin Park
"Loh, kok kamu ikut ganti baju?"
Saka hanya berdiri kaku dengan raut penuh tanya—tanda tak paham atas pertanyaan yang dilontar oleh Pak Bahri, si guru olahraga. Teman-teman yang sudah mulai berbaris pun ikut menaruh atensi pada sosok Saka, membuat ia merasa agak risih karena menjadi pusat perhatian teman kelasnya.
"Mohon maaf, Pak. Memangnya kenapa ya?"
Saka mengambil langkah untuk mendekatkan diri dengan Pak Bahri. Saka menuntut jawaban, tapi sorot yang ia tangkap dari guru tersebut membuat ia semakin tak mengerti.
"Materi kita hari ini sudah bukan senam lantai lagi. Itulah alasan Bapak kumpulkan kalian di gor, karena hari ini kita akan main basket."
Ah, kini Saka paham. Ia mengerti alasan Pak Bahri bertanya tentang mengapa ia berganti pakaian. Saka menarik senyum canggung kala ia menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal. "Ah, maaf Pak. Saya lupa. Yasudah, saya duduk saja, ya," ujarnya, dengan rasa malu yang ia tahan mati-matian. Bisa-bisanya ia lupa kalau minggu kemarin merupakan hari terakhir ia mempelajari materi senam lantai. Dalam hati ia merutuk, menyayangkan pakaian olahraga yang ia kenakan. Tahu begitu ia tidak akan berganti pakaian. Kan sayang, hanya menambah beban cucian.
Saka melangkah menaiki tribun paling bawah tepat setelah Pak Bahri memberi anggukan. Sedangkan teman kelasnya hanya acuh dan kembali menghadap ke depan, masih sambil merapikan barisan. Bagi Dua Belas Mipa Tiga, pemandangan seperti itu sudah biasa. Sejak mereka mengenal Saka sebagai teman sekelas, mereka paham benar kalau Saka tidak pernah ikut pelajaran olahraga—kecuali materi yang tidak terlalu menguras tenaga, senam lantai contohnya—dengan alasan yang sama sekali tidak diketahui oleh mereka.
Saka sendiri tak keberatan dengan tugas tambahan yang selalu ia dapat untuk menggantikan nilai praktik olahraga yang tidak ia lakukan. Mulai dari membuat essai—hingga menulis rangkuman—semua ia selesaikan.
Sebenarnya, ia tak mengikuti kegiatan orahraga bukan tanpa alasan. Bukan karena ia malas atau lemah—toh beberapa tahun lalu ia masih sanggup berdiri di atas lapangan voli, berlari-lari dari kiri ke kanan. Tapi, ada satu hal yang tak bisa ia langgar. Satu hal yang tiga tahun ini ia pendam mati-matian.
Saka mengembuskan napas dari kedua bibir yang merekah. Ia menatap teman-temannya yang kini terlihat tengah membagi tim menjadi dua. Ada rasa iri terselip di dalam dada. Sejujurnya ia jengah, ia ingin ikut berada di antara mereka. Tapi ia tahu ia tidak bisa.
Pada kenyataannya, ia tidak akan pernah bisa. Karena ia paham dengan benar bahwa dirinya yang dulu dengan yang sekarang telah jauh berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Your Back[√] [TERBIT]
Short Story[Dibuat untuk merayakan ulang tahun penulis] Beberapa part telah ditarik demi kepentingan penerbitan🙏 Ketika kata naif masih melekat pada Saka dan Gala, keduanya pernah sama-sama bahagia. Mereka saling menautkan jari kelingking dan mengumbar janji...