Bagian Satu | Awal Dari Semuanya

2.8K 232 26
                                    

"Even if you knock it, ain't no way to stop it."

—Selena Gomez

Tetes air membasahi kerah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tetes air membasahi kerah. Kelereng cokelat itu menatap pantulan dirinya sendiri di cermin besar sambil menaruh sebagian beban tubuh pada wastafel. Dia memejam, menarik napas dalam satu tarikan, kemudian membuangnya dengan perlahan.

"Eh, klub voli sekolah kita mau dihapus ya? Katanya sih gara-gara udah nggak ada peminatnya."

"Demi apa? Serius? Bagus lah kalau gitu. Gue jadi nggak usah rebutan lapangan indoor lagi kalau mau latihan basket. Kaptennya resek banget."

Saka membuka kelopaknya tepat saat dua laki-laki yang tengah berbincang itu berjalan keluar. Toilet siswa kini agak lengang karena memang jam pelajaran masih belum usai. Agaknya itu yang membuat dua laki-laki tadi berbicara dengan volume yang agak kencang.

Tapi, Saka juga tidak peduli. Saka rasa, pembicaraan dua orang itu bukanlah suatu privasi—toh mereka 'kok yang bicara dengan volume di atas rata-rata—jadi bukan salah Saka saat telinganya secara tidak sengaja merekam obrolan mereka.

Saka membasuh wajahnya sekali lagi, mematikan kran, kemudian berjalan meninggalkan toilet dengan langkah cukup pelan. Hal itu sengaja ia lakukan, karena ia tidak ingin cepat-cepat masuk ke dalam kelas dan bertemu dengan diferensial yang kerap kali membuatnya kepayahan. Percayalah, matematika itu sungguh menyebalkan!

Saka mendengus kala pada akhirnya langkah kaki itu membawanya ke hadapan pintu kelas. Ia menggeser pintu dengan asal hingga menimbulkan derit yang cukup keras. Yeah, mau bagaimana pun, ia tetap harus memperhatikan penjelasan gurunya meskipun memahami angka di papan tulis saja rasanya dia malas.

Bahkan ia sudah duduk di bangkunya sejak lima belas menit yang lalu, menaruh atensi penuh pada 4x⁵ + 2x³ + 7 yang tiba-tiba berubah menjadi 20x⁴ + 6x² dan hilanglah si angka tujuh. Saka bahkan tidak kedip sama sekali, tapi tetap saja satu pun penjelasan gurunya tidak ada yang ia mengerti.

Akhirnya, Saka memutuskan untuk tidur saja. Toh bangkunya ada di paling belakang, jadi tidak akan kelihatan dari depan sana. Lagipula memperhatikan papan tulis tidak akan berguna baginya. Tidak, jika yang ada di sana adalah matematika.

Saka memejam, sambil diam-diam menikmati suara goresan pena yang terdengar samar. Tidur di kelas saat guru sedang mengajar itu merupakan suatu kenikmatan, karena seisi kelas fokus memperhatikan ke depan, jadi kelas pasti hening dan ia bisa tidur dengan tenang.

Lelap membawa pemuda bertubuh kecil itu menjelajah alam mimpi hingga lebih dari setengah jam. Bahkan hingga bel berbunyi dan jam pelajaran telah usai, ia masih mendengkur halus dengan amat damai. Pejam yang tak kunjung usai itu membuktikan kalau Saka cukup berteman dengan kelas yang kini mulai hingar.

Pemuda itu baru saja akan menjelajah mimpi yang panjang kalau saja tidak ada sebuah suara nyaring yang meneriakkan namanya. Bahkan punggung kecil yang tadinya bergerak naik turun seirama nafas ditepuk kencang setelahnya.

Behind Your Back[√] [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang