"Don't forget, beautiful sunsets needs cloudy skies."
—Paulo Coelho
Saka baru saja hendak keluar dari toilet saat ia berpapasan dengan manik kelam yang sangat ia kenal. Ada getar tak nyaman di dalam relungnya kala tatap mata mereka bertabrakan. Tapi ia berusaha untuk melawan. Maka ia putuskan untuk langsung melangkah tanpa menengok ke belakang.
Tapi, getar suara itu mengalun begitu saja. Beserta kalimat yang membuatnya membatu detik itu juga.
"Udah hampir seminggu. Gue masih nunggu jawaban lo. Gue harap, kali ini lo nggak kabur kayak dulu."
Saka menggigit bibir dalam sambil menunduk, berusaha menetralisir gugup yang tiba-tiba menelusup. "Gue bakal kasih jawaban, tapi nggak sekarang. Tolong kasih gue lebih banyak waktu, Gal," balas Saka, benar-benar tanpa menolehkan kepala.
Kemudian ia kembali berjalan. Baru beberapa langkah, hingga getar yang sama kembali meminta ia membeku, dan kali ini, ia tidak melawan.
"Tunggu!"
Saka memutuskan untuk menoleh. Dan yang ia temukan ialah tatapan lurus Gala yang sama sekali tidak bisa ia baca. Bibir tipis itu merekah, tapi tak ada sepatah kata pun keluar dari sana. Hingga akhirnya kembali mengatup, beriringan dengan dengus kasar setelahnya.
Saka menautkan alis saat Gala menggelengkan kepala. "Nggak jadi," ujar pemuda itu, kemudian melangkah masuk ke dalam toilet dan menghilang terhalang pintu.
Saka mengedikkan bahu, memutuskan untuk kembali berjalan menuju kelas. Tanpa sadar pikirnya melayang, pada kalimat yang baru saja Gala lontar, juga malam-malam panjang yang ia habiskan untuk menimbang sebuah keputusan. Bahkan setelah hari-hari berlalu, keputusannya masih belum juga final. Ia masih bimbang. Jalannya bercabang dan ia tidak tahu harus memilih yang kiri atau kanan. Terlebih, konsekuensi dari tiap pilihan yang harus ia ambil sangatlah besar.
Sebenarnya tidak serumit itu apabila dilihat dari sudut pandang orang luar. Saka hanya dihadapkan pada dua pilihan. Menerima kenyataan dan hidup dalam bayang-bayang penyesalan, atau melawan takdir untuk memperbaiki dosa yang pernah ia ciptakan. Hanya dua itu saja. Tapi rasanya tetap sulit bagi Saka.
Dari dulu, hidupnya hanya ada di satu lintasan. Ia hanya mengikuti alur yang telah diatur oleh Tuhan. Karena apapun jalan yang ia ambil, semua sudah menjadi takdir yang telah dirancang. Ia hanya menerima dan tak berusaha mengubah, apalagi melawan. Jadi, Saka dan kata pilihan bukanlah hal yang bagus jika dipadukan.
Ia hanya takut memilih. Ia takut menapakkan kaki di cabang yang salah.
Lebih dari itu, Saka hanya terlalu pengecut.
Sedangkan sosok lain di balik pintu, kini tengah merenung sambil mengusap wajah kasar. Kepalanya dipenuhi tanda tanya besar, tapi bibirnya terlalu kelu bahkan hanya untuk melontar sebuah pertanyaan. Ia akui gengsinya terlalu besar, bahkan lebih besar dari rasa penasaran yang beberapa hari ini hadir tanpa bisa ia buat hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Your Back[√] [TERBIT]
Cerita Pendek[Dibuat untuk merayakan ulang tahun penulis] Beberapa part telah ditarik demi kepentingan penerbitan🙏 Ketika kata naif masih melekat pada Saka dan Gala, keduanya pernah sama-sama bahagia. Mereka saling menautkan jari kelingking dan mengumbar janji...