Kamar itu sepi. Lebih sepi dari biasanya. Tak ada tanda-tanda adanya kegiatan atau apapun di sana. Dengan lampu yang tak dinyalahkan dan hanya mengandalkan penerangan dari lampu di balkon, kamar itu terasa semakin sepi. Dan suram.Tak ada siapapun di sana?
Tentu saja tidak! Omong kosong jika ada kamar tanpa pemilik. Kamar tamu pun ada pemiliknya. Ya, kecuali jika rumah di mana kamar itu berada sudah tak berpenghuni.
Baiklah! Lupakan tentang masalah kamar dan pemiliknya.
Kembali lagi pada pemilik kamar yang tengah sepi ini.
Ya, pemiliknya ada di sana. Duduk di depan meja belajar dengan menunduk tanpa melakukan apapun. Bahkan meja belajarnya kosong, menandakan jika ia memang tak belajar.
Minhee—lelaki manis pemilik kamar itu—menghela nafas pelan lalu memejamkan matanya dan berusaha menghilangkan kenangan buruk yang menghampirinya sejak tadi sore.
Kenangan buruk memang sulit hilang. Apalagi jika ada kejadian baru yang membuat kenangan itu seakan dipaksa keluar dari bagian terdalam otak, tempat di mana selama ini ia disembunyikan baik-baik oleh pemiliknya.
Minhee tak pernah tahu jika kejadian hari ini akan membuatnya mengingat kembali kejadian itu. Kejadian sepuluh tahun yang lalu, yang juga telah membentuk karakternya menjadi seorang dengan kepribadian galak tak terjamah. Kejadian yang menyebalkan saat ia masih berusia enam tahun, di mana orang tuanya tak sengaja meninggalannya di jalanan sepi yang tak ia ketahui.
Saat itu, mereka sedang piknik bersama di sebuah taman. Taman itu tak terlalu ramai. Minhee kecil yang sedang ceria-cerianya, begitu gembira saat ia melihat kupu-kupu. Dan dengan ditemani ayahnya, ia berlari mengejar kupu-kupu itu. Daniel—sang kakak—yang saat itu usianya sepuluh tahun, diam saja bersama ibunya.
Karena keasyikan dengan kupu-kupu, Minhee tak sadar jika ia dan ayahnya sudah cukup jauh dari tempat di mana ibu dan kakaknya berada.
Lalu, ibunya datang dengan terburu-buru, mengatakan jika ayahnya harus mengantar sang ibu ke toilet umum terdekat, karena ibunya sedang sakit perut. Kepanikan ibunya membuat ayahnya ikut panik sehingga mereka meninggalkan Minhee begitu saja di situ. Sendirian. Dan tanpa siapa-siapa.
Minhee yang kebingungan tidak tahu jalan pulang. Dan ia diam di sana. Pikirnya, ayahnya akan datang dan menjemputnya. Namun, itu tak terjadi hingga beberapa orang anak laki-laki yang seusia Daniel datang dan mengganggunya. Bahkan ada yang memukulnya dan menampar wajahnya. Minhee ketakutan dan ia menangis. Namun tak ada yang menolongnya. Dan anak-anak itu semakin mengganggunya. Mereka mulai bertindak diluar batas akibat pengaruh pergaulan tak baik dan teknologi yang semakin canggih dengan tak ada pengawasan dari orang tua.
Minhee ingat, jika Daniel tak dapat tepat waktu saat itu, ia pasti sudah 'habis'.
Tapi, Minhee tak mau mengingat kejadian itu lagi. Terlalu mengerihkan untuk diingat.
Yang ia ingat hanya satu hal.
"Kalau ada yang gangguin, marahin aja. Pukul kalo perlu, nanti orangnya keenakan. Jangan jadi orang yang lemah. Adek abang kuat."
Kalimat penyemangat yang Daniel, kakak lelakinya ucapkan setelah kejadian itu.
Ya, hanya kalimat itu yang Minhee ingat sehingga ia tumbuh menjadi seseorang dengan kepribadian galak seperti saat ini.
Minhee menggeleng kuat-kuat saat kejadian itu hadir lagi. Ia lalu memejamkan matanya dan berusaha untuk melupakannya.
Beruntung suara ketukan pintu bisa membantunya. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan masuknya Daniel dengan segelas susu di tangannya.
"Kok lampunya gak dinyalain?"
Daniel berjalan mendekati sang adik, lalu meletakan gelas susunya di meja di depan adiknya itu.
"Gak mau," jawab Minhee pelan.
Daniel tahu jika adiknya itu bukan tipe anak yang heboh dan suka melebih-lebihkan sesuatu. Tapi, ia tahu adiknya itu juga bukan anak yang tak semangat bicara seperti itu.
Dan ia hanya bisa menghela nafas pelan saat ia ingat apa yang membuat adiknya jadi seperti saat ini.
"Tadi, kenapa gak nunggu abang kayak biasanya?" tanya Daniel beberapa saat kemudian, sambil meraih puncak kepala adiknya dan mengelus pelan rambut adiknya.
Minhee menggeleng lagi, "Ada perlu sama temen," jawabnya kemudian.
"Terus kenapa gak telpon abang pas ditinggal?"
"Jam segitu abang lagi ada kelas, jadi adek gak mungkin gangguin."
"Lain kali telpon abang aja."
Minhee mengangguk, "Gak pa-pa, temen kelas adek sekarang baik kok, bang."
"Iya, abang ngerti. Tadi juga yang nganterin kamu banyak banget."
Minhee tersenyum. Daniel mengangguk lalu menyuruh si manis untuk meminum susunya. Dan setelah adiknya itu selesai minum, ia mengatakan sesuatu yang membuat adiknya itu melongoh.
"Ada temen kamu di depan," ucap Daniel.
"Lah, Wonjin sama Dongyun kan baru pulang, bang. Kok balik lagi?" tanyanya heran.
"Bukan Wonjin sama Dongyun," jawab Daniel.
"Terus siapa? Yang lain kan udah tadi sore ke sini."
"Temen yang itu, dek."
"Yang itu?"
Daniel tersenyum jahil. Pikirnya, ini adalah cara untuk membuat adiknya itu lupa akan masalah yang tengat terjadi. Lebih tepatnya, melupakan kenangan buruk adiknya.
"Yang suka kamu gambar itu. Abang baru tahu ternyata dia temen kamu."
Jawaban Daniel membuat wajah Minhee memerah karena malu. Tapi, ia bersyukur. Lampu kamar yang sengaja ia matikan tak akan membuat Daniel melihat rona merah di wajahnya.
"Dia juga kan yang ninggalin kamu tadi?" tanya Daniel lagi, membuat Minhee diam lebih lama, "Abang tadi mau hajar dia aja, tapi karna dia bilang mau minta maaf dan mau nungguin kamu sampe kamu keluar, abang pikir dia tulus mau minta maaf. Jadi, abang suruh tunggu."
Minhee mengerjap-ngerjap lalu mengatur ekspresi wajahnya agar tak kelihatan aneh di mata sang kakak.
"Turun gih, samperin dia," ucap Daniel lagi.
Minhee diam sesaat, memikirkan apa ia harus turun dan menemui Yunseong atau tidak.
Sejujurnya, Minhee bukan tak mau bertemu Yunseong. Tapi, jarak kejadian tadi dan malam ini terlalu dekat. Ia belum siap. Ia siapnya besok. Bukan sekarang.
Tapi, Yunseong sudah datang. Ia tak mungkin menyuruh lelaki itu pulang.
Dan tentang kejadian tadi sore, Minhee pikir bukan salah Yunseong.
Lelaki itu tidak tahu jika ia tak bisa ditinggalkan. Lelaki itu tak tahu jika Minhee pernah mengalami kejadian buruk hingga ia bisa seperti itu.
Lagi pula ia yakin jika Yunseong punya alasan ketika meninggalkannya tadi. Dan alasan itu pasti penting sehingga lelaki Hwang bahkan tak mengatakan sesuatu.
Dan Daniel bilang, Yunseong ingin minta maaf.
Jadi, kenapa harus menghindar?
Thank you...
KAMU SEDANG MEMBACA
[4] FAKE ENEMY || HwangMini
FanfictionKerjaan mereka ribut terus. Tapi kok, lama-lama jadi manis ya? ⚠bxb HwangMini Yoa's Flash Work 270520-290520