Part 3

1.4K 55 10
                                    

Aku mengembuskan napas berat ketika sampai di halaman rumah. Bangunan tua satu-satunya peninggalan kakek ini masih terawat sampai sekarang. Bunga dan rumput di luar, terlihat masih sama seperti saat kutinggalkan dua bulan lalu.

Rumah sederhana bergaya Eropa klasik ini sangat nyaman menururku. Sebenarnya aku suka tinggal di sini. Namun, keteguhan hati karena ingin mandiri lebih besar. Sebagai anak sulung, aku harus bisa menjadi contoh yang baik untuk adikku.

Ayah sebenarnya tak menyetujui jika aku harus pergi meninggalkan rumah ini. Katanya tak ada yang menjagaku di sana. Perkataan orang tua memang banyak benarnya, buktinya aku dikejar-kejar dua orang itu.

Iih ... membayangkannya saja membuat bulu kuduk berdiri.

"Prisa? Ayo masuk." Suara lembut wanita paruh baya itu membuyarkan lamunanku. "Sudah lama?"

Aku menggeleng, lalu menaiki lima anak tangga yang ada di teras. Menghampiri Mama yang masih berdiri di depan pintu, kemudian mencium punggung tangannya dengan takzim.

"Mau langsung ke kamar ayah?"

"Iya, Ma."

Aku mengikuti langkahnya menuju kamar Ayah. Sesampainya di depan pintu yang terbuka, kulihat pemandangan yang membuat hatiku sesak.

Ayah, priaku itu terbaring lemah tak berdaya di ranjang. Matanya terpejam, wajahnya sudah mulai ada keriput. Pandanganku beralih pada lengan kirinya yang tertancap selang infus.

Aku berlutut di dekat ranjang. Memperhatikan wajah ayah, lalu mengusap lengannya. Perhatianku beralih pada tangannya yang lemas. Kuraih punggung tangan itu lalu menciumnya singkat.

"Ayahmu baru aja tidur. Habis minum obat."

"Ayah sakit apa, Ma?"

"Katanya cuma kelelahan. Tapi tentu saja Mama nggak percaya. Kamu tahu sendiri, kan, kalau ayahku itu ngeyel. Jadi mama panggil dokter ke rumah."

Ya, Ayah memang sedikit keras kepala. Jika tak dituruti kemauannya bisa jadi perang dunia versi rumah kami ini tentu saja. Ayah hanya pensiunan guru bahasa indonesia di salah satu SMA yang letaknya sekitar dua kilometer dari sini. Pria pertama yang mengatakan cinta padaku itu, memang disiplin. Mama mengatakan juga bahwa Ayah tak mau dibawa ke rumah sakit.

"Mama ke belakang dulu, ya, Pris."

Kepalaku manggut-manggut, mengerti. Aku biarkan Ayah istirahat dulu. Kututup pintu pelan, lalu mencari Mama ke dapur. Seketika harum bumbu menusuk hidungku.

"Mama lagi masak?" Aku mendekati Mama yang tengah sibuk dengan panci di depannya.

"Iya, masak kesukaan kamu."

"Sop ikan," ucap kami hampir bersamaan.

"Kok Mama masak itu? Emang tau kalo aku mau ke sini?"

Mama menoleh ke arahku. "Cuma ngandalin perasaan aja, sih, Pris."

Mengenalnya sepuluh tahun lalu, saat aku berusia dua belas tahun, sementara Agas--adikku--itu sembilan tahun. Beliau wanita yang sangat baik menurutku. Dan benar saja, saat beliau menjadi mamaku, terlihat sekali ketulusannya merawatku dan adikku satu-satunya.

Hampir saja terlupa, sedari tadi aku tak melihat batang hidungnya Agas. Ah, aku kangen juga dengan adik yang paling menyebalkan itu.

"Agas ke mana, Ma?"

Mama sedang mencicip kuah sop dengan sendok, lalu setelahnya mematikan kompor. "Biasa, nongkrong sama temannya paling."

"Ish ... kebiasaan anak itu! Bukannya belajar biar lulus kuliah cepet."

Aku mendudukkan diri di kursi meja makan. Tak lama, Mama memberikan semangkuk sop yang berisi sepotong ikan mas dengan irisan wortel dan daun bawang, tak lupa daun kemangi serta taburan bawang goreng di atasnya. Begitu menggugah selera. Mungkin kalau dijadikan kartun atau animasi, mulutku sudah mengeluarkan air liur.

"Mama nggak ikut makan juga?" tanyaku, setelah menyuapkan satu sendok penuh ke mulut.

"Sudah tadi, Pris." Mama ikut duduk di seberang meja, berhadapan denganku.

Aku tahu Mama sering seperti ini. Berkata sudah makan, sudah kenyang, atau nanti saja kamu duluan. Pada kenyataannya berbanding terbalik.

Tanpa kata lagi aku beranjak, mengambil mangkuk lalu menuangkan sop. "Aku tahu Mama bohong." Kuletakkan mangkuk itu di hadapannya. "Harus dihabisin pokoknya."

Mama tersenyum dan mengangguk. Akhirnya kami berdua menyantap sop ikan dengan kuah segar tanpa nasi. Rasanya masih sama seperti biasanya. Mama paling bisa mengerti aku.

Kami menghabiskan makan siang dengan tenang tanpa gangguan dari Agashtya. Namun, tak lama terdengar suara lantang Agas dari luar.

"Ma ... tolongin Agas!"

Aku dan Mama saling menatap sejenak. Kemudian berjalan cepat menuju pintu depan. Saat Mama membukanya, terlihat Agas sedang merangkul pundak seseorang. Sementara, satu tangan Agas memegang lutut yang sedikit ditekuk.

"Kamu kenapa, Gas?" Wajah Mama terlihat sangat khawatir. Detik kemudian mempersilakan orang itu membantu Agas ke dalam rumah.

"Tadi Agas nggak hati-hati, Ma. Jadi keserempet motor." Agas didudukkan di sofa panjang, masih dibantu oleh seseorang yang memakai kaus dilapisi dengan kemeja panjang dan jeans robek di bagian lututnya itu.

"Dasar ceroboh, lo! Makanya kalo jalan hati-hati." Aku mengikuti dan ikut duduk di hadapan mereka yang hanya bersekat meja persegi.

"Maaf, Tante, saya yang harusnya lebih hati-hati mengendarai motor," ucapnya begitu sopan membuatku berdecih.

"Yang penting Agas nggak terluka parah," ujar Mama dengan sabar, sambil mengusap kepala Agas.

"Halah! Paling juga sama-sama nggak lihat jalan, mereka tuh."

"Kalo ngomong mulutnya dijaga, Kak."

"Apa?!"

"Kalian ini, udah lama nggak ketemu kok malah berantem. Apa pada nggak kangen?" Mama mengulum senyum. Tahu akan kebiasaan kami dari dulu.

"Nggak!" ucapku dan Agas bersamaan.

Adik paling menyebalkan itu ternyata sepemikiran denganku. Namun, yang aku heran kenapa harus bertemu dengannya lagi? Bukankah kota ini luas? Dan lagi, dia hanya diam saja.

Huft! Leave it, lah!

"Kalian belum makan, kan? Mama masak sop ikan. Kalian mau?"

"Aku yang banyak kuahnya, Ma. Tanpa nasi, ya. Tadi udah makan nasi padang soalnya." Agas berseru senang. Seperti anak kecil yang dibelikan tiga lolipop yang setara dengan satu gelas susu. Halah!

Setelah Mama ke dapur, suasana ruang tamu menjadi hening sejenak. Aku melihat ke arah Agas yang bersandar, beberapa kali dia merintih. Mungkin terasa perih di lututnya. Sempat juga aku melirik ke samping kanan Agas. Ah, sialnya dia juga melihatku. Buru-buru kualihkan pandangan ke segala arah.

Kenapa dia tak mengatakan apa pun padaku, ya? Atau sekadar basa-basi. Aku yakin dia masih ingat padaku. Mengingat kejadian beberapa kali saat dengan tak sengaja bertemu dengannya.

"Terima kasih." Aku berucap pelan, tapi aku yakin orang itu mendengarkan. Terlihat dari tatapannya yang mengarah padaku.

"Mau dicium sekarang nggak?"

Buruan Cium Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang