Selama kurang lebih dua minggu belakangan, aku tak menemui Eyang. Sementara, di cafe, Dean sepertinya juga menghindar dariku.
Huft!
Rasa bersalah kian menghantui. Aku kacau saat ini.
"Dean!" Aku memanggil sedikit keras, karena jarak di antara kami lumayan jauh.
Aku sedikit berlari mendekat.
"Jangan la ...."
Bugh. "Aaww ...." Aku terjatuh tersandung kaki meja. Posisi yang sangat tak kusuka. Karena lutut dan telapak tangan menjadi tumpuan berat badanku ini. Aku tak suka lecet.
"Baru juga gue mau bilang jangan lari, nanti jatuh. Udah tersungkur aja," ucapnya dingin, sambil membantuku berdiri.
"Iya, maaf."
"Kek anak kecil." Kemudian dia berjalan menjauh dariku.
Baru aku tersadar setelah beberapa saat lamanya. Aku mondar-mandir mencari kemana Dean pergi.
Hingga akhirnya, aku melihat dia di pintu belakang. Diam berdiri.
Aku kembali mendekat.
"Selamat, ya. Akhirnya lo terima juga."
Hening.
"Eyang juga udah tahu."
Semakin besar rasa bersalah ini. Dengan Eyang, pun dengan Dean. Rasa sesak kembali hadir menguasai hati. Rasa ragu kian membelenggu.
Apa aku benar-benar yakin dengan perjodohan ini?
Dean bersandar pada tembok setelah menggeser badannya sedikit. Salah satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Sementara, satu tangan lain terselip rokok yang masih berasap di kedua jarinya.
Baru aku tahu jika Dean merokok. Mungkin selama ini, dia menyembunyikannya dariku.
"Gue sama eyang pasti dateng ke acara lo, kok."
Aku menunduk. Memilin ujung kaus seragam kerja. Memilih untuk tak bersuara.
"Yakinkan hati lo, Pris."
Dean berjalan semakin dekat denganku. Detik berikutnya, aku merasa dia mengacak rambutku pelan.
Rambutku yang diacak, tapi aku merasa hati ini yang berantakan. Sangat. Dan itu kacau sekali.
Hingga dia berlalu pergi. Aku masih terpaku di sini. Padahal tadi aku ingin mengatakan sesuatu padanya. Aku ingin mengungkapkan rasaku ini padanya. Namun, mulut terasa ada lem kuat, sampai tak bisa untuk terbuka sedikit pun.
Maaf. Aku masih merasa bahwa aku adalah Prisanya Dean.
***
Segala persiapan telah selesai. Tinggal nanti malam aku dan Gerald yang bertugas untuk membuatnya menjadi lancar.
Keputusan paling akhir adalah terpilihnya salah satu hotel milik keluarga Gerald untuk menggelar acara pertunangan. Padahal keluargaku, terutama aku, ingin yang sederhana dan hanya mengundang keluarga besar. Ini semua terlalu mewah untukku.
Huft!
Aku menghela napas berulang kali. Menatap diri di cermin besar di hadapan. Aku semakin tak ragu saja dengan acara hari ini. Entahlah, pikiranku masih ada yang mengganjal.
"Jangan tegang gitu kenapa sih, Pris." Neishia berucap sambil mengusap kedua lenganku dari belakang. Dengan senang hati dia memoles wajahku sedemikian rupa.
Selama kenal dengannya, aku baru tahu jika dia bisa jadi tukang make up. Beberapa hari sebelum ini, aku menceritakan semua pada Neishia. Rasa hati, kegundahan, dan keraguan yang menyelimuti, bisa kuungkapkan hanya pada dia.
"Lo kenapa?" tanyanya pelan. "Yakinin hati lo sendiri. Sugesti pikiran lo, semua ini akan baik-baik aja."
Aku menarik napas panjang. Apa seharusnya aku seperti itu, ya?
"Gue selalu doain lo biar semuanya lancar, Pris. Dengan siapa pun itu."
Sejenak hening.
"Gue kira, lo bakalan jodoh sama Dean." Neishia tersenyum, sambil terus memperhatikanku. Terlihat dari pantulan cermin. "Ya, kayak di film-film gitu, kan?"
Aku tersenyum kecut. "Tapi ternyata kami nggak berjodoh, Nei."
"Hei ...." Neishia memutar badanku. Lalu, menyuruhku mendongak menatapnya. "Walaupun gue nyuruh buat lo terima kenyataan ini, tapi semuanya bisa aja berubah, Pris. Mungkin aja nanti ada keajaiban. Takdir mana ada yang tahu, kan?"
Neishia benar. Tak ada yang tahu bagaimana takdir akan berakhir. Tak ada yang tahu jika semua bisa berbalik. Tak ada yang tahu juga jika masih banyak kemungkinan untuk bisa berubah segalanya.
Aku menghela napas lagi. Merasakan sedikit kelegaan setelah bercerita dengan satu-satunya sahabatku itu.
Saat ini sudah Pukul 20.00 acara telah dimulai beberapa waktu lalu. Sambutan Om Arman pun sudah selesai. Terdengar musik mengalun lembut dari sudut ruangan.
"Kakak yakin sama ini semua?" Agas, adikku itu sedari tadi mempertanyakan hal yang sama. Sudah terhitung sepuluh kali jumlahnya.
Di meja yang kutempati, hanya ada keluarga inti. Ayah, Mama, Agas, dan aku. Sementara di hadapan ada Gerald dan kedua orang tuanya.
"Lo jangan bikin gue tambah ragu, Gas." Aku sedikit menoleh, membisikkan kalimat itu padanya.
Saat ini, kami sudah berkumpul di ruangan besar bernuansa putih dan silver. Bunga-bunga cantik menghias sudut ruangan. Lampu kristal besar menggantung di langit-langit dengan gagahnya. Meja dan kursi yang berlapis kain satin putih sudah terisi penuh oleh tamu dan keluarga.
Tak terkecuali oleh Eyang, dan kedua orang tua Dean yang baru kuketahui sekarang. Namun, sampai saat ini, aku tak melihat di mana orang itu berada.
"Gue bukannya bikin lo jadi ragu, Kak. Gue cuma takut, keputusan yang lo ambil ini salah."
Mungkin, apa yang kami lakukan saat ini kurang sopan. Padahal MC sudah mulai berbicara di panggung kecil di depan sana.
"Tapi udah terlanjur, Gas. Gue ...."
"Baiklah, kita masuk pada acara inti. Mari kita sambut pasangan malam hari ini. Gerald dan Prisa!"
Gerald yang tadinya duduk berhadapan denganku, kini berdiri, berjalan mendekatiku. Lalu, mengulurkan tangan.
Ada rasa yang entah ....
Aku tak tahu harus bagaimana sekarang. Antara ragu dan juga ....
End.
Yuuk Order udah jadi nih, novelnya. Ada 10 part lagi di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buruan Cium Gue!
Fiction généraleAku harus selalu waspada dengan keadaan sekitar. Aku tak ingin orang-orang itu terus mengejarku. Suatu ketika secara tak sengaja, aku bertemu dengan seorang laki-laki. Dia kumintai tolong untuk menyelamatkanku dari keadaan yang menghimpit. Bertemu d...