Bab 8

334 46 9
                                    

Hening untuk beberapa lama. Menjadi canggung. Ya, bayangkan saja, aku dan Dean, hanya berdua di kostan. Semoga tak ada setan yang lewat di antara kami.

Aku berdeham, sekadar meredam detak jantung di dada. "Kenapa lo sampai bonyok kek gitu?"

"Adalah, ceritanya panjang. Tadi kenapa lo nggak buka chat gue?"

"Lagi makan siang tadi sama sepupu lo?"

"Gerald?"

Aku mengangguk. Tak ada salahnya, kan? Niatku hanya memberikan surat pengunduran diri saja, mengingat dua orang yang sudah mengetahui keberadaanku itu. Ah, jadi bergidik kalau membayangkan betapa besar otot lengan mereka. Mungkin sekali cengkeraman, tulang patah bisa seketika.

"Kenapa emang?"

Dean sepertinya ingin bangun, tapi terlihat kesusahan. Segera kubantu, meletakkan satu bantal di tembok sebagai sandarannya. Di beberapa kali mendesis membuatku lebih hati-hati.

"Nggak pa-pa."

Saat membantunya duduk, kami sempat saling menatap, untuk sekian detik. Aku tak bisa menghitung jarak kedekatan wajah kami, tapi bagiku ... ini terlalu dekat. Wajah yang sebelumnya terlihat segar dan bersih, sekarang harus ada lebam di beberapa bagian. Lagi-lagi, seperti adegan slow motion, saat dia menutup mata dan membukanya lagi, terlihat jelas bulu mata itu.

🎶 Kuharap semua ini bukan sekedar harapan
Dan juga harapan ini bukan sekedar khayalan
Biarkan 'ku menjaganya sampai berkerut
Dan putih rambutnya jadi saksi cintaku padanya

Tak main-main hatiku
Apapun rintangannya kuingin bersama dia

Kumau dia, tak mau yang lain
Hanya dia yang s'lalu ada kala susah dan senangku
Kumau dia, walau banyak perbedaan
Kuingin dia bahagia hanyalah denganku🎶

Aarrggh, rese! Debar di dada semakin menggila. Kenapa di pikiranku terdengar lagu itu?

Aku menarik diri darinya. Gugup melanda. Pandanganku ke mana-mana, asal bukan padanya.

Dean meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya. Detik kemudian, suara Andmesh mengalun merdu.

"Gu-gue cuma mau ngasih surat resign, kok. Ja-jangan salah paham." Aku menyelipkan anak rambut ke belakang telinga. Ada satu rasa yang belum kumengerti sekarang. Tapi entah apa?

Sekilas kulihat Dean tersenyum. "Eeaakk, padahal gue nggak minta alasan lo kenapa kalian makan siang bareng."

Seketika pipiku memanas. Membenarkan perkataannya, kenapa juga harus kujelaskan? Dean kan, bukan siapa-siapaku.

"Takut kalo gue cemburu, ya?"

🎶 Biarkan kumenjaganya sampai berkerut

Dan putih rambutnya jadi saksi cintaku padanya

Tak main-main hatiku
Apa pun rintangannya kuingin bersama dia

Kumau dia, tak mau yang lain
Hanya dia yang s'lalu ada kala susah dan senangku
Kumau dia, walau banyak perbedaan
Kuingin dia bahagia hanyalah denganku

Bukan ku memaksa, oh, Tuhan
Tapi kucinta dia (yang kucinta hanya dia)
Kumau dia (yang kumau hanya dia)🎶

Aku menatapnya tajam. Namun, dia malah membalasnya dengan senyum yang memperlihatkan lesung pipi kecil di sebelah kanan. Kenapa dia jadi semanis ini?

Baru aku menyadari jika lirik lagu tadi tenyata sama dengan apa yang kupikirkan. Ah, semenjak beberapa menit lalu seakan jantungku dipompa begitu cepat. Semoga aku tak mati muda karena mendapat serangan jantung!

Buruan Cium Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang