Pagi, aku telah sampai di cafe dengan sedikit malas. Padahal baru beberapa hari aku bekerja di sini. Harusnya aku rajin, bukan lemas seperti ini. Apa karena pertemuan malam itu yang membuatku tak bersemangat?
"Lesu amat?" Dean menghampiriku yang sedang menyimpan tas ke loket.
Aku hanya bergumam, tanpa menatapnya. Rasanya benar-benar seperti tak ada tenaga. Jika tak berkewajiban masuk kerja, aku pasti akan tidur saja bergelung dengan selimut. Bermimpi lagi tentang masa depan, tentang bunga, dan sosok itu.
"Beberapa hari ini kenapa nggak mau gue jemput? Eyang nanyain lo terus." tanya Dean yang bersandar pada tembok, sambil memasukkan tangan dalam celana.
Aku menutup pintu loker dan menguncinya. Menatap Dean lagi. "Gue bingung."
"Kenapa?"
Entahlah, aku ingin bercerita, tapi masih ragu. Apakah nanti Dean akan marah atau tidak?
"Gue kerja dulu."
"Masih belum buka, Pris. Cerita dulu ke gue. Ada apa?"
"Ntar ajalah." Aku berbalik, akan melangkah, tapi terasa cekalan di pergelangan tangan.
"Pris!"
Cekalannya semakin kuat, membuatku memejamkan mata. Sekilas aku menatap mata Dean. Kuembuskan napas pelan. Apa aku harus cerita padanya jika sepupunya itu akan dijodohkan denganku?
"Gue ...." Lagi-lagi, aku mengambil napas dalam-dalam. "Gue keknya mau dijodohin."
Cekalannya seketika terlepas. Sorot matanya berubah dengan cepat. Yang tadinya ingin tahu, kini sepertinya dia menyesal dengan permintaannya tadi padaku.
"Sama siapa?"
"Gerald."
Wajahnya berpaling, lalu mendongak. Mengusap hidung dengan tangan kanannya. Detik kemudian, dia hanya ber-oh ria. Entah maksudnya apa, yang pasti aku lihat ada kilat kecewa di wajahnya.
"Dean?"
Dean menyentuh lembut lenganku, sambil tersenyum kecut. "Selamat, ya," ucapnya lirih.
Kini, tangannya mengusap kepalaku dari samping. Membuat degub jantung kian cepat. Kami saling menatap untuk beberapa lama.
"Tapi ... gue belum tentu menerimanya. Gue ... baru akan pendekatan." Aku menunduk kemudian. Rasa bersalah menghampiri. Entahlah, aku merasa kacau saat ini.
"Hei ...." Dean meraih daguku dan mengangkatnya, membuatku mendongak kembali. "Jangan sedih. Rasa itu akan datang seiring waktu. Mungkin saat ini lo belum ada rasa sama Gerald, tapi ... mungkin suatu saat nanti, lo akan jatuh cinta dengannya."
Jatuh cinta? Kenapa dia berucap seperti itu dengan mudahnya? Apa dia tak merasakan seperti yang kurasa saat ini? Atau jangan-jangan, memang dia ....
"Gerald itu baik. Lo pasti nyaman sama dia."
"Tapi ...."
"Masalah Eyang, biar gue yang urus. Lo fokus aja sama Gerald. Dia juga cucu Eyang. Gue pikir sama aja, Pris."
Setelah Dean berucap, dia berlalu meninggalkanku dengan penuh tanya. Setelah beberapa lama menghabiskan hari bersamanya, apa dia tak ada rasa sedikit pun padaku? Rasa sayang mungkin?
***
Di cafe ini, ada dua sift. Kebetulan hari ini jadwal sift pagi. Jadi aku bisa pulang sore. Seharian tadi, aku tak melihat Dean menjadi waiters. Mungkin dia sedang banyak kerjaan, pikirku. Padahal tadi pagi saat mengobrol dengannya, dia sudah memakai seragam waiters seperti biasanya.
Setelah mengambil tas selempang di loker. Aku berpamitan dengan beberapa teman yang sedang melanjutkan pekerjaannya. Lalu, keluar lewat pintu belakang.
Saat sedang menunggu ojek online, ponselku bergetar.
'Nanti malam nonton, yuk.'
'Udah pulang kerja belum? Aku jemput, ya.'
Beberapa pesan dari Gerald rupanya. Saat itu juga, Dean menghampiriku dengan motor besarnya. Dia membuka helm fullface-nya.
"Ikut gue bentar, yuk." Laki-laki dengan jaket jeans robek di beberapa bagian itu memberikan helm padaku.
Aku masih bergeming dengan ponsel yang masih di genggaman.
"Nggak lama, kok."
Kuanggukkan kepala, kemudian mengetik balasan untuk Gerald. Jika hari ini aku pulang sendiri. Juga membatalkan ojek yang tadi telah kupesan.
Jalan yang dilewati sepertinya asing bagiku. Semburat jingga terlihat, tapi Dean tak juga memberhentikan motornya. Apa masih jauh? Mau dibawa ke mana aku?
Tak berapa lama, jalanan menanjak, berkelok, dan agak sepi. Dari tadi hanya beberapa kendaraan yang berpapasan. Aku tak tahu daerah mana ini. Yang pasti, di sini pemandangan begitu indah.
Dean menghentikan motornya di pinggir jalan, entah ini kelokan yang ke berapa. Aku turun, begitu juga dengannya. Lalu, melepas helm dan memberikannya. Seketika udara terasa dingin, tapi segar karena tak ada polusi.
"Suka?"
Pandanganku lurus ke depan, dari sini bisa kulihat jelas lampu-lampu kota menyala. Seperti kerlip bintang di atas, yang terlihat semakin menampakkan diri.
"Kalo gue lagi ada sesuatu pasti ke sini."
Sesuatu? Apa dia sedang dalam masalah? Sekilas kulirik dia yang berada di samping.
"Duduk, yuk."
Beralaskan batuan datar, aku duduk bersisihan dengannya. Senja telah beranjak dengan cepat, digantikan dengan malam. Beberapa lama kami saling diam. Menikmati pemandangan di depan sana.
"Orang tua gue terlalu sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Gue di rumah cuma sama Eyang. Berkat beliau, gue nggak jadi anak nakal." Dean mengembuskan napas dengan keras, sampai aku mendengarnya.
Baru kali ini aku mendengar Dean menceritakan tentang keluarganya. Sepertinya dia kurang kasih sayang dari orang tuanya. Kulihat memang seperti itu, sudah sering datang ke rumahnya, tak sekali pun aku bertemu dengan mereka.
"Gue pernah hampir terjerumus ke dunia malam. Club, minum, dan hampir aja gue mati karena od."
"Hanya karena lo ingin perhatian dari papa mama lo?" Tebakanku benar. Dia menoleh sekilas ke arahku, lalu mengangguk. "Tapi sekarang enggak, kan?"
"Gue mau hidup gue jadi bermanfaat, Pris. Bantu banyak orang. Makanya gue sempet pinjam modal sama Eyang buat buka cafe. Dan lo tahu pegawai di sana gue terima karena apa?"
"Ya karena mereka butuh kerja, kan?"
"Nggak cuma itu. Beberapa dari mereka adalah mantan pemakai. Ada juga dari penari striptis dan ada juga karena mereka yatim yang harus menghidupi keluarga."
Aku tertegun. Pantas saja Agas bilang jika Dean adalah orang baik. Jadi memang benar, dia orang terbaik yang pernah aku kenal. Selain keluarga tentunya.
"Lo masih inget nggak, dulu pas kita bertemu untuk yang kedua kali?"
Kuaggukkan kepala. Ya, tentu saja masih ingat, di mana aku meminta cium orang yang belum pernah kukenal sebelumnya. Konyol sekali jika harus mengingatnya lagi.
"Gue lagi cari Maya. Dia mantan pemake dan pengedar juga, kebetulan saat itu dia keluar dari rehabilitasi dan butuh kerja."
Ya, aku tahu siapa Maya. Dia waiters paling cantik menurutku di cafe Dean. Ternyata masa lalunya begitu kelam. Pantas saja kerjanya begitu tekun dan rajin.
"Dia kek gitu karena broken home. Keluarganya berantakan, sementara ada adik yang masih sekolah. Mau nggak mau, dia harus jadi tulang punggung," lanjutnya lagi.
"Gue emang nggak bisa menasihati orang lain. Tapi, gue salut sama pemikiran lo. Sejauh itu lo bantu orang lain."
Dean mengangkat bahu. "Gue jalanin aja apa yang ada. Sekalipun nggak ada kasih sayang orang tua. Makanya gue sering nginep di kostan dari pada di rumah.
Aku mengacungkan kedua jempol untuknya. "Dean keren!" Sambil menyunggingkan senyum lebar.
"Makasih Prisanya Dean."
KAMU SEDANG MEMBACA
Buruan Cium Gue!
General FictionAku harus selalu waspada dengan keadaan sekitar. Aku tak ingin orang-orang itu terus mengejarku. Suatu ketika secara tak sengaja, aku bertemu dengan seorang laki-laki. Dia kumintai tolong untuk menyelamatkanku dari keadaan yang menghimpit. Bertemu d...