Aku masih bergeming di tempat duduk. Sejak setengah jam yang lalu, hanya para orang tua yang mengobrol satu sama lain. Sementara, orang yang ada di hadapan tampak memperhatikanku.
"Kak?" Agas yang duduk di sebelahku berbisik. "Aku ...."
Tak kujawab panggilannya, tapi kubalas dengan tatapan tajam. Mengisyaratkan dia harus diam. Kurasa tak sopan jika malah mengobrol sendiri di saat seperti ini. Hanya helaan napas yang keluar berulang kali dari mulutku. Kenapa harus dia? Apa dunia memang sesempit ini?
Tiba-tiba suasana menjadi hening sesaat. Lalu, setelahnya ....
"Prisa apa kabar?" tanyanya dengan halus.
Aku melihat sekeliling, para orang tua sepertinya menyadari jika kami saling mengenal. Mereka diam.
"Ba-baik."
"Kalian udah saling kenal?" Ayah bertanya sambil mengulum senyum.
"Iya, kami ...."
"Wah, berarti jodoh." Ayah menyahut sebelum orang itu meneruskan kalimatnya.
Saling mengenal belum tentu jodoh. Saling sayang pun belum tentu berakhir dengan pernikahan. Bukannya aku tak ingin membina sebuah hubungan lebih serius, tapi jika orang yang dimaksud belum pas di hati, ya, buat apa?
Ah, maksudku tentang perasaan pribadi. Bukan seperti terpaksa menjalaninya. Aku hanya ingin melakukan semuanya dengan hati, dari hati, dan untuk satu hati.
"Apa kita lanjutkan saja, Man?" lanjut Ayah, bertanya kepada seseorang yang sedang meneguk teh melati.
"Ide bagus, aku setuju. Gimana denganmu, Ge?"
Aku menatap lekat orang yang ada di hadapan. Dia baik menurutku. Namun, aku tak terlalu mengenalnya. Hanya beberapa kali saja bertemu.
"Aku terserah Prisa aja, Pa."
***
Malam. Aku menarik napas dalam-dalam. Menghirup udara yang segar di sini, lalu menyesap teh melati hangat buatan Mama. Menatap langit dengan bulan sabit dan taburan bintang di sana. Saat seperti tak akan kudapatkan di kostan.
"Kak, lo sama Gerald udah kenal lama, ya?"
Saat ini, aku dan Agas sedang berasa di teras. Dulu, kami sering seperti ini sampai tengah malam. Kadang hanya bercanda, kadang juga Agas memamerkan suaranya di depanku bersama petikan gitarnya. Suara Agas bisa dibilang bagus, dari sekolah dasar, dia selalu diikut sertakan dalam lomba menyanyi atau paduan suara.
Aku berbalik menghadapnya, lalu berjalan ke arah Agas dan duduk di kursi sebelahnya. "Dia bos gue."
"Bos? Aku kira dia pemilik restoran."
"Entah kalo itu. Gue nggak terlalu deket, sih. Cuma tahu aja kalo dia atasan gue."
"Ooh ...."
"Kenapa, lo? Ada yang salah sama dia?"
Agas menggeleng. Namun, aku rasa ada sesuatu yang Agas rahasiakan. Dari sikapnya tadi setelah pertemuan, agak berbeda.
"Kakak nggak ada niatan buat terima kalo dijodohin sama Gerald, kan?"
Aku mengendikkan bahu. Entahlah, belum kupikirkan masalah itu. Aku tak ingin mengambil keputusan secara gegabah. Lagi pun, pasti Ayah juga tak akan memaksaku untuk menerima pinangan orang lain.
"Gue masih ngarep lo jadian sama Bang Dean."
Apa-apaan dia? Kenapa ujungnya malah bahas si beruang kutub?
'Adoowwhh!" Kepalanya kutoyor hingga hampir terjatuh ke samping.
"Kenapa ujungnya bahas dia? Lo udah disuap?"
"Paan, sih, Kak? Dia itu baiknya minta duit, eh, maksud gue minta ampun. Jadi gue pikir dia cocok sama lo."
"Kok bisa?"
"Dibisainlah. Gue udah tau dia luar dalem."
"What?!"
"Eh eh ... lo jangan pikir yang aneh-aneh, ya. Gue ini masih normal. Makanya gue rekomendasiin dia ke elo."
Agas terlihat begitu ngotot. Selama ini, Agas tak pernah berbohong padaku, apalagi dengan Ayah dan Mama. Apa yang dia ucapkan tentang Dean itu benar, ya?
***
Setelah dua hari di rumah, akhirnya aku kembali bekerja. Sebenarnya Ayah masih keberatan, tapi mau bagaimana lagi. Tanggungjawab sebagai pegawai yang harus kulakukan.
Sejak pertemuan itu, Agas tampak lebih pendiam. Sempat aku bertanya ada apa, tapi dia hanya menggeleng. Aneh!
"Pris?"
Aku yang sebelumnya sedang berjongkok menata mie instan, kini mendongak. Mendapati wajah seseorang yang dua hari kemarin kutinggalkan.
"Uceet, dah." Aku kaget. Benar-benar kaget saat melihat penampilannya. Sampai aku terduduk di lantai. Sambil mengusap dada dua kali. "Muka lo kenapa, Nei? Sakit? Serem amat."
Neishia terdiam, mengikutiku duduk di lantai. Lalu, beberapa saat kemudian dia menangis sampai terisak-isak. Matanya merah, hidungnya berair, rambutnya yang biasanya digelung, kini dibiarkan tergerai.
Mungkin, jika dia di jalan, orang yang berpapasan dengannya pasti mengira gila. Lihat saja, geraian rambutnya yang kusut dan berantakan.
"Gue ...." Neishia mengusap air yang ada di hidungnya dengan punggung tangan. "Gue baru putus, Pris."
"Elaah ... kirain ada paan." Aku kembali menata sisa mie di rak bagian bawah.
"Tapi, gue masih cinta dia."
"Cari lagi, lah. Yang lebih dari kemarin."
"Lo jomblo tau apa?"
Aku berdecak, lalu menatapnya tajam. Tak terasa kuremas bungkusan yang ada di tangan. Jomlo gini tahu diri juga kali, ah. Memangnya apa yang dia maksud?
Kebahagiaan menjadi seorang jomlo adalah hidup dalam koridor yang bebas di mana, bisa berbuat atau melakukan apa pun tanpa adanya halangan. Dan juga bisa melangkah ke berbagai arah dalam menentukan tujuan. Namun, harus tahu batasan juga.
"Ups sorry, gue gak maksud nyinggung lo."
Belum sempat aku menjawab, ada suara seseorang yang memanggilku.
"I-iya, Pak."
Aku berdiri. Rasanya tak baik jika posisiku masih duduk di lantai. Sesaat aku melihat siapa yang ada di hadapan. Wajahku terasa memanas setelah tahu ada dia di hadapan.
"Lo!" ucapku, dengan nada yang sedikit tinggi. Namun, yang kulihat dia hanya diam dengan
"Kalian saling kenal?"
Dean mengangguk. Setelah itu dia menggulung kemeja panjangnya hingga siku. Memperlihatkan jam dan gelang yang kupikir itu dari bahan kayu. Melirik Gerald sejenak, lalu tersenyum miring. Tak lama dia menunduk, memajukan wajah tepat di hadapan. Sampai aku bisa merasakan embusan napasnya.
Kurasakan detak jantung tak keruan. Apa aku sekarang punya penyakit jantung? Jika iya, tolong panggilkan dokter spesialis obgyn. Ah, bukan ... maksudku dokter spesialis jantung, sepertinya ada yang tak beres denganku kali ini.
Aku menahan napas saat dia membisikkan sesuatu tepat di telinga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buruan Cium Gue!
General FictionAku harus selalu waspada dengan keadaan sekitar. Aku tak ingin orang-orang itu terus mengejarku. Suatu ketika secara tak sengaja, aku bertemu dengan seorang laki-laki. Dia kumintai tolong untuk menyelamatkanku dari keadaan yang menghimpit. Bertemu d...