Kuteguk sisa air dalam botol yang beberapa menit lalu dibeli. Sesekali menyeka keringat yang membasahi dahi. Udara siang ini cukup panas menurutku.
Beberapa kali aku melihat jam di pergelangan. Sudah jam sebelas lebih. Kenapa dia tak kunjung datang? Padahal dia sendiri yang bilang jika bertemu di jam sepuluh. Apa ada masalah? Atau dia dihajar seperti kemarin?
Saat akan mengetik pesan. Kulihat ke bawah, ada sepasang sepatu kets. Pandangan semakin ke atas, mendongak.
Omo ... omo! Dean. Ya Lord, mataku masih normal, kan?
Entah berapa lama aku masih menatap seseorang dengan tampilan casual di hadapan. Baru pertama aku melihatnya serapi ini.
"Pris, Prisa!"
Aku melebarkan mata. "I-iya, De."
"De? Gue bukan adek lo."
"So-sorry, maksud gue Dean," ucapku terbata.
"Lo aneh! Ikut gue."
Seperti kucing manis yang patuh dengan majikan. Aku menurut saja, berjalan mengikutinya dari belakang. Lalu, kami berhenti di samping sebuah mobil sedan warna hitam. Dahiku mengernyit. Sejak kapan Dean punya mobil? Kemarin saat di kostan, aku tak melihatnya.
"Masuk!" Dia membuka pintu kemudi.
Sementara aku masih bergeming di sini. Penampilanku yang terkesan cuek malah membuat malu sendiri. Lihatlah aku, rambut tergerai tak rapi, celana jeans, kemeja longgar, dan flat shoes buluk yang kubeli setahun lalu.
Tanpa sadar aku mendesah pelan. Tangan masih bermain-main di tas salempang kecil yang kubawa. Aku jadi ragu ikut dengan Dean sekarang.
"Kenapa masih di situ?" Suara Dean membuyarkan lamunanku.
Detik kemudian tangan itu menarik lenganku. Mendudukkanku di kursi samping kemudi. Apa Dean orang kaya? Ah, bukankah seharusnya memang begitu? Mengingat bahwa sepupunya--Gerald--itu pemilik JaeMart.
"Pake seatbelt-nya."
"Eh, em, ooh ya." Aku segera menarik seatbelt. Ingin mengaitkan tapi terasa sulit.
"Sini."
Seketika aku mematung. Menahan napas, saat jarak di antara aku dan Dean tak sampai sejengkal. Meski dia hanya berniat membantu, tapi ....
Sedekat ini dengannya membuat jantungku berdegup kencang. Untung saja sudah kuasuransikan pada Tuhan. Kalau tidak, pasti akan sangat berbahaya.
Saat dia akan menarik diri, sekilas kami saling menatap. Sepersekian detik yang terasa ... lama. Membuat pipi terasa panas seketika.
Dean berdeham, menarik diri. Lalu, duduk tegap, pandangan lurus ke depan. Aku pun ikut berdeham, demi meredam kegugupan.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Selama perjalanan kami saling diam. Aku merasakan aura kecanggungan melanda.
Sekitar empat puluh menit kemudian mobil berhenti di parkiran sebuah mall. Sekian detik kami masih tak bergerak.
"Pris?"
Aku menoleh ke arah Dean. Kembali tatapan kami bertemu. Perlahan tangannya terulur seperti ingin menyentuh wajahku.
Ctak!
"Adooh! Sakit tau! Rese banget, sih lo?!" Aku memukul pelan lengannya, karena aku tahu dia sepertinya masih kesakitan.
Tawanya menggelegar memenuhi mobil. Berisik sekali ternyata kalau dia tertawa. Sampai kulihat dia memegang perut. Selucu itu, kah aku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Buruan Cium Gue!
General FictionAku harus selalu waspada dengan keadaan sekitar. Aku tak ingin orang-orang itu terus mengejarku. Suatu ketika secara tak sengaja, aku bertemu dengan seorang laki-laki. Dia kumintai tolong untuk menyelamatkanku dari keadaan yang menghimpit. Bertemu d...