Bab 18

245 27 6
                                    

Sudah jam sembilan tepat. Aku berada di kamar masih menatap bungkusan plastik di meja. Tadi sebelum pulang ternyata Gerald memesan seporsi pecel lele beserta nasinya untuk dibawa pulang.

Ada keraguan saat akan memakannya. Bukan karena makanan itu dari Gerald, atau pun dari warung tenda lesehan, atau juga takut akan kotor. Akan tetapi, lebih mengingat ke badanku ini. Jarum penunjuk pasti akan mengarah ke kanan.

Suara perut terdengar oleh telingaku sendiri. Sepertinya cacing di sana sudah berorasi ingin meminta jatah makan.

Ah, sudahlah, peduli apa dengan berat badanku kali ini. Akhirnya aku menikmati makan malam yang kemalaman sendiri di kamar. Biar nanti bisa tidur dengan tenang, tanpa gangguan dari cacing-caring di perut.

Satu notifikasi pesan terdengar. Tepat di saat aku selesai makan.

'Udah selesai makannya?'

Dahiku mengernyit, kenapa dia bisa tahu kalau aku selesai makan?

'Udah, Pak.'

'Ya udah, tidur, gih. Jangan lupa mimpiin aku.'

Aku meletakkan ponsel kembali ke meja. Merebahkan tubuh yang penat. Rasanya ada yang berbeda saat aku bersama Gerald juga Dean. Entah mengapa, jika bersama Dean membuatku merasa ada getaran aneh di dada. Sedangkan jika bersama Gerald hanya datar saja, flat.

Sudah jam sepuluh lebih, tapi kantuk tak kunjung datang. Malah teringat tentang perkataan Dean tadi siang.

"Terkadang rasa itu sulit untuk diungkapkan, Eyang. Ada kalanya harus memendam dalam demi keinginan melihatnya bahagia."

"Tapi, cinta itu nggak boleh dipaksakan. Jika hati sudah memilih, kenapa harus harus merelakan? Bukankah cinta itu adalah rasa yang sangat berharga dan semestinya diperjuangkan?"

Aku hanya tertunduk dalam. Ingin rasanya menyahut kata-kata mereka. Namun, tenggorokanku seolah-olah tercekat oleh sesuatu yang kuat. Aku pun masih tak mengerti tentang apa yang kurasakan saat berada di dekat Dean. Untuk bilang bahwa aku jatuh hati padanya saja, tak berani. Apalagi mengungkapkan.

"Eyang yakin, takdir akan berpihak pada orang yang benar-benar tulus memiliki rasa yang sama." Eyang berujar penuh penekanan.

"Seseorang yang sudah diminta orang lain, apa masih bisa untuk dimiliki diri sendiri?"

Pertanyaan Dean membuatku berpikir keras. Apa maksudnya?

"Kalau sudah jodoh, pasti akan jadi milik kita, Sayang." Eyang mengusap punggung tangan Dean.

Sementara, aku masih saja terdiam. Haruskah aku mengatakannya pada Eyang juga? Bahwa aku akan dijodohkan dengan Gerald.

Entahlah, otakku sulit untuk mencerna. Biar saja berjalan apa adanya, toh Dean juga tak mengungkapkan apa yang dia rasakan padaku. Untuk apa juga aku harus menunggunya?

"Entah bagaimana pun caranya, entah sesulit apa jalannya. Sekali lagi, kalau udah jodoh pasti nggak akan lari," lanjut Eyang lagi.

Aku dan Dean hanya mengangguk. Nasihat Eyang kusimpan baik-baik di kepala. Beliau selalu bijak dalam mengambil keputusan.

Getaran ponsel membuyarkan lamunanku.

'Udah tidur?'

'Ada apa?'

'Besok ada waktu? Ada sesuatu yang pengen gue omongin ke lo.'

'Oke, abis pulang kerja, ya.'

***

Pagi. Aku bersiap masuk kerja, saat kubuka pintu, kulihat seseorang sudah berdiri di depan mata.

"Pagi."

Buruan Cium Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang