Bab 16

244 32 4
                                    

Pagi kembali cerah setelah semalam Dean mengantarku pulang dalam keadaan gerimis.

Entahlah, semalam Dean terasa berbeda. Setelah menceritakan banyak tentang kehidupannya, dia diam. Apa dia menyesal telah berbagi cerita denganku?

Aku sudah siap untuk berangkat ke cafe. Baru saja keluar kamar kostan, aku dikejutkan dengan keberadaan seseorang di depan pintu.

"Eh, Pak?"

"Mau berangkat kerja?"

Aku mengunci pintu. Lalu, menyimpan kuncinya di tas salempang yang kupakai. "Iya, Pak."

"Aku antar, ya."

Rasanya ingin menolak, tapi tak enak hati. Sementara, Dean kemarin bilang bahwa akan menjemputku pagi ini. Sebaiknya aku mengirim pesan untuk Dean saja. Agar yak perlu menjemputku.

'Dean, gue berangkat duluan, ya. Nggak usah jemput.'

Setelah benar-benar terkirim. Aku mengikuti Gerald menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.

Selama beberapa lama kami hanya saling diam. Untuk memulai sebuah obrolan, memang tak mudah untukku. Entahlah, mungkin sudah terbiasa seperti ini. Jika tak ada yang memulai, aku pun enggan untuk bercerita atau sekadar menanyakan sesuatu.

Gerald berdeham. "Prisa udah sarapan?"

"Sudah, Pak."

"Duh, kamu, tuh. Jangan panggil aku pak, dong. Kan, kemarin udah dibilangin." Gerak berucap sambil terus fokus melihat ke depan, menyetir.

"Ya. Gimana, ya. Udah kebiasaan, sih, Pak." Aku melirik sekilas. Tak sengaja tatapan kami bertemu. Segera kupalingkan wajah ke samping.

"Kan, sekarang udah nggak kerja di JaeMart lagi. Kita udah temenan. Tapi kalo bisa, ya ke jenjang selanjutnya."

Jenjang selanjutnya? Perjodohankah maksudnya?

Huft! Apa aku yakin dengan keputusan menerima ajakannya untuk lebih dekat? Sedangkan hatiku seolah tak begitu nyaman dengannya. Entah kenapa.

"Maksud aku, biar kita lebih dekat aja, Pris."

Ponselku bergetar, menandakan pesan masuk. Segera kuambil dari tas. Membuka layar, ternyata dari Dean.

'Ogitu, oke.'

'Gue juga baru mau sarapan, kok.'

Tanpa terasa sudut bibir terangkat. Pesannya biasa, tapi bisa membuatku tersenyum. Apa itu wajar?

"Siapa? Kok senyum-senyum, ada yang lucu, ya?"

Ya ampun, kenapa Gerald jadi sekepo ini? Ah, aku baru tahu jika ternyata rasa ingin tahunya tinggi.

"Teman, Pak."

Tak ingin Dean menunggu lama. Kuketik balasan untuknya.

'Maaf, ya.'

'Ya nggak pa-pa, sih. Ini Eyang titip salam. Kangen katanya.'

Hampir lupa, hampir seminggu ini memang aku tak sempat untuk menjenguk Eyang. Mungkin nanti sepulang kerja aku ke sana sebentar.

"Tempat kerjamu sekarang di Lucky Cafe, ya, Pris?"

"Iya, Pak. Tempatnya Dean."

"Kamu kelihatan akrab sekali dengan Dean? Kalian satu kampus atau gimana?"

Aku menarik napas. Ternyata jika ditanggapi, Gerald akan banyak tanya seperti ini. Padahal aku sudah menjawabnya sesingkat mungkin. Apa dia memang begitu?

"Dia kakak tingkat Agas, Pak."

"Oh Agas adik kamu? Kemaren kok dia nggak ada pas acara pertemuan keluarga kita? Kemana dia?"

"Biasa, cowok, Pak."

***

Sunrise with you on my chest
No blinds in the place where I live
Daybreak open your eyes
'Cause this was only ever meant to be for one night
Still, we're changing our minds here
Be yours, be my dear
So close with you on my lips
Touch noses, feeling your breath
Push your heart and pull away, yeah
Be my summer in a winter day love
I can't see one thing wrong
Between the both of us
Be mine, be mine, yeah
Anytime, anytime

Ooh, you know I've been alone for quite a while
haven't I? I thought I knew it all
Found love but I was wrong
More times than enough
But since you came along
I'm thinking baby

Lagu dari Shawn Mendes itu terdengar merdu. Meski hanya diiringi gitar akustik. Aku menikmatinya dari sini.

Suara seseorang yang sepertinya tak asing bagiku. Dari loker, aku mencari arah suara. Ternyata dari depan. Tempat biasa para penyanyi cafe menghibur para tamu. Akan tetapi, yang kulihat sekarang hanya ada satu orang di sana.

Aku mendekat, dia melihat.

Petikan gitar berhenti. Lalu, senyum itu menyambutku. Seketika kuberikan tepuk tangan. Benar-benar suaranya bagus.

"Ternyata bisa nyanyi juga?"

"Nggak sekeren Agas." Dia menaruh gitar di samping kursi. Lalu turun dari panggung kecil itu. Berjalan mendekatiku.

"Jangan ngerendah gitu. Suara lo bagus, Dean."

"Makasih, ya."

"Tadi dianter Gerald, ya?"

Aku mematung. Kenapa dia bisa tahu, ya? Padahal aku tak mengatakan apa pun. Lagi pula Gerald tak turun dari mobilnya.

"Dia bilang tadi sama gue."

Apa-apaan dia? Baru sekali menjemputku saja sudah bilang-bilang pada Dean. Aku jadi tak enak hati.

"Ternyata, lo orangnya."

"Maksudnya?"

"Nggak." Dean mengulurkan tangannya ke atas kepala ini, lalu mengacak rambutku. "Dah, kerja, yuk."

Dean berlalu begitu saja meninggalkanku yang masih mematung di sini. Rambutku yang diacak, tapi mengapa hati ini yang berantakan?

Hari ini pengunjung tak begitu ramai, tapi juga tak sepi. Bahkan beberapa siswa yang masih memakai seragam sekolah menyempatkan ke sini. Kulihat mereka sedang belajar di sudut ruangan yang terkhusus ada buku-buku di sana. Mungkin mereka sedang mengerjakan tugas sambil kongkow bersama.

Aku mengedarkan pandangan. Di satu sudut ruang, ada seseorang yang dari tadi duduk sendiri. Di hadapannya belum ada menu atau minuman. Aku berinisiatif untuk mendekatinya, karena kulihat dari tadi dia tak memanggil waiters.

"Selamat siang. Silakan menunya, mau pesan apa?"

Tak ada jawaban darinya. Setelah sekian detik, aku kaget. Orang yang berada di depanku itu tak ada senyum sedikit pun.

"Eyang?"

"Kenapa? Kaget?"

"Eyang, kenapa ke sini?" Suara Dean mendekat. "Eyang bukannya tadi katanya sakit?"

"Sengaja."

Eyang hari ini seperti bukan beliau yang biasanya. Tampak pemarah dan tak bersahabat. Tak ada senyum yang biasa menghiasi wajahnya itu.

"Eyang?" Dean merendahkan badan. Kemudian mensejajarkan tingginya dengan Eyang yang telah duduk. Bertumpu pada lutut, meraih tangan Eyang dan menggenggamnya. Sesekali mencium lembut punggung tangan keriput itu.

"Ada apa, eyang?" tanyanya lagi.

"Ada yang perlu eyang tanyakan pada kalian berdua. Sekarang!"

Aku masih berdiri di samping Dean. Menerka-nerka, untuk apa Eyang kemari? Pertanyaan apa yang akan Eyang tujukan pada kami?

"Mana ruanganmu?"

Aku mengekor di belakang Dean dan Eyang. Hati terasa berdebar-debar. Ada perasaan yang tidak enak di dalamnya.

"Duduk, Eyang."

Kami akhirnya duduk bersama. Susana sedikit tegang, aku merasakannya. Sepertinya Eyang tahu akan sesuatu.

"Katakan yang sebenarnya, kenapa kalian membohongi eyang? Kalian pikir eyang nggak tahu kalau kalian ini hanya pura-pura pacaran?"

Seperti petir menyambar di atas kepalaku. Begitu cepatnya Eyang menyadari akan hal ini. Harus bagaimana ini?

Buruan Cium Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang