Part 1

716 50 1
                                    

Aku berlari melewati lorong-lorong sepi. Sementara mataku menyapu segala sudut. Beberapa ruangan yang kulewati tadi terkunci.

Sial!

Tak ada tempat untukku bersembunyi. Derap langkah beberapa orang semakin terdengar.

Masih kuedarkan pandangan. Tak ada satu pun tempat untuk bersembunyi. Namun, samar kulihat orang yang tengah berdiri di ujung lorong. Meski agak gelap karena hanya sedikit sinar matahari. Aku yakin dia manusia.

Segera aku berlari ke arahnya.

"Hei, tolongin gue, please."

Orang yang ada di hadapanku ini tak menjawab. Malah mengerutkan dahinya.

"Please bantuin gue, sekali aja." Aku berucap sambil menangkupkan tangan di dada.

Aku menoleh ke sisi kanan. Tepat saat dua orang berseragam seperti bodyguard itu semakin mendekat.

Ck, dasar patung! Orang ini malah ikut menoleh mengikuti arah pandanganku.

Aku semakin tak sabar. Sudah tak peduli lagi jika nanti aku akan kena marah dengan orang ini. Segera dipeluk tubuhnya yang tinggi tegap itu dengan erat. Sambil kutarik badannya menutupi tubuhku hingga punggung ini menempel di dinding.

Semakin erat pilihanku saat dua orang itu sudah berada di dekat kami.

"Maaf, Mas. Apa tadi Anda melihat cewek ke arah sini?"

Aku memejamkan mata. Dada berdebar tak keruan. Khawatir jika orang yang saat ini berada dalam pelukanku mengatakan sejujurnya.

"Gue nggak lihat." Dia membalas pelukanku, sesekali tangannya mengusap puncak kepalaku lembut.

"Oh, begitu?"

"Ya."

Ucapannya begitu dingin, tapi telingaku bisa mendengar detak di dadanya juga tak kalah cepat denganku. Aku tersenyum geli, tapi belum melepas pelukan.

Dua orang bodyguard itu sepertinya sedang berbicara, entah apa. Aku tak begitu mendengar dengan jelas.

"Baik, Mas. Terima kasih informasinya. Emm ... kalau mau begituan jangan di sini, Mas."

Aku meringis seketika. Maksudnya begituan apa coba? Dasar sinting mereka.

"Sampai kapan lo mau kek gini?"

Cepat aku melepas pelukan. Menunduk dalam melihat lantai yang berdebu di bawah. Sejurus kemudian rasa malu menghampiri. Wajah pun terasa memanas.

"Ma-maaf, Kak." Aku masih menunduk. Tak berani menatapnya. Sedari tadi memang aku tak begitu memperhatikan wajahnya.

"Lo ngomong sama lantai?"

"A-apa?" Aku mendongak seketika. "Ma-maksud lo apa?" Menatap tajam ke matanya.

Sekarang jelas terlihat bagaimana bentuk wajah orang ini. Seperti adegan slow motion dalam film. Perlahan dia berkedip, bulu matanya lentik untuk ukuran seorang laki-laki. Alisnya tebal, sorot matanya tegas, ada sedikit bulu yang tumbuh di dagunya, lalu penglihatanku tertuju pada bibirnya.

Aargghh!

Apa-apaan ini? Aku menggeleng cepat. Rasanya seperti tersihir, saat menatapnya lama.

"Dahlah!"

Langkahnya begitu lebar. Aku yang masih berdiri di sini hanya memandang ransel hitam di punggungnya semakin menjauh dan menghilang di tikungan ujung koridor.

Aasshh! Bodoh, aku belum mengucapkan terima kasih, tapi dia sudah pergi dengan cepat. Ingin mengejar ke arahnya, tapi aku takut kalau dua orang tadi masih berada di sekitar sini.

***

"Jadi lo nggak tau dia siapa?"

"Kaga!" Aku masih membungkuk. Menata satu per satu bungkus makanan ringan di rak dengan rapi.

"Gila lo, ya?"

Aku memutar bola mata, malas. Lalu, menatapnya sekilas saat berdiri tegap, detik kemudian membungkuk lagi, melanjutkan kegiatanku. Perempuan yang bersedekap di sampingku ini masih melihat dengan wajah penuh tanya. Namanya Neishia, biasanya aku memanggil Nei saja.

"Apa, sih?"

"Apa lo nggak penasaran sama dia?"

Aku menghela napas kasar. Kemudian menghadapnya. "Heh, Kakak senior yang sok imut, lo tuh tanya apa gimana, sih? Kok malah lebih kepo dari pada gue?"

Neishia, perempuan yang berusia dua tahun di atasku ini malah terkikik sendiri. Mungkin menyadari kekonyolannya. Kami memang sudah lama kenal, dia kakak kelas sewaktu SMA.

"Ya, kan, kali aja gitu dia pangeran yang bakal nyelametin hidup lo."

Seketika tawaku menyembur. Pangeran macam apa dia itu? Wajahnya datar, sikapnya yang kurang asem itu hanya membuat geregetan.

"Malah ketawa. Aamiinin, dong."

"Emang hidup gue dalam bahaya?"

"Nyatanya lo terus-terusan dikejar sama ...."

Aku membekap mulutnya yang lemes itu. Kalau sampai dia keceplosan dan ada yang mendengar, kan, bisa kacau.

"Pelanin suara cempreng, lo!" Aku membungkuk lagi. Mengambil kardus yang telah kosong. Lalu berjalan ke gudang, meletakkan kardus di tumpukan.

Aku melirik jam di pergelangan tangan kiri. Sudah siang ternyata. Aku bekerja di JaeMart, swalayan yang tak jauh dari tempat kost. Di sini aku belajar mandiri, mencari rezeki untuk sekadar bertahan hidup. Belum lama memang, baru dua bulan.

"Prisa, lo nggak mau makan siang dulu? Gue gantiin tempat lo." Ziva yang selesai makan siang menghampiriku di kasir.

"Wah, pas banget, nih. Cacing di perut gue udah meronta minta jatah." Aku berucap sambil mengusap perut.

***

Usai menyantap makan siang aku bergegas kembali ke tempat kerja. Baru masuk aku dikejutkan dengan dua orang yang kemarin mencariku

Aaarrgghh! Kenapa hidupku tak tenang! Padahal selama sebulanan kemarin tak ada yang menggangguku. Sialan memang!

Ingin keluar, tapi pasti akan ketahuan. Ingin masuk ke gudang, tapi harus melewati mereka. Akhirnya, kuputuskan saja untuk keluar. Perlahan, dengan mengendap, sebisa mungkin melangkah tanpa ada suara.

"Prisa, lo ngapain?"

Ah, dobel shit, kali ini malah Neishia yang membuatku ketahuan. Tanpa pikir panjang aku berlari keluar. Tak peduli panggilan Neishia dengan kerasnya.

Aku berusaha berlari sekuat yang aku bisa. Mereka berdua terus mengejar. Napasku sudah terengah-engah. Aku berhenti di gang sempit. Lagi-lagi tanpa pikir ulang, aku masuk gang itu dengan cepat, dan tak menyadari jika ada seseorang yang tengah berdiri di sana.

Seperti de ja vu. Saat aku mendekat, parfum itu sama seperti yang dipakai laki-laki yang menolongku beberapa hari lalu.

Aku meraih lengannya. "Mas, minta tolong," ucapku tak sabar.

"Hmm?" Dia menoleh mengerutkan kening. Detik kemudian kami sma-sama melebarkan mata, seolah-olah menyadari jika pernah bertemu.

Sudah tak sabar lagi aku menggoyangkan lengannya dan mencengkeramnya dengan sedikit keras. Peduli setan dengan orang yang ada di hadapan. Yang penting kali ini aku bisa terbebas lagi dari orang-orang yang mengejarku itu.

"Cepetan tolongin gue lagi!"

Dia masih bergeming di tempat, hanya menoleh ke kanan dan kiri. Seperti kebingungan, atau mencari sesuatu.

"Buruan cium gue, please." Aku menatapnya penuh harap. Jantung tak keruan rasanya, saat aku melihat dua orang itu semakin mendekat.

Tuhan ... berikan keajaiban untukku.

Baru saja aku akan memohon lagi, tiba-tiba dia ....

"Hmmpp ...."

Hai aku datang lagi, nih dengan cerita baru.
Jangan lupa vote komen yak!
Love 😘

Buruan Cium Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang