Part 4

625 56 7
                                    

"A-apa?!" Aku gelagapan, wajah pun terasa memanas. Dia baru saja berkata tentang ciuman? Di saat yang tak tepat seperti ini? Setres dia.

"Apa maksudnya, Bang? Cium? Ka-kalian sudah saling kenal? Kalian udah pernah ... kiss? Wah, parah!" Wajah kepo Agas terlihat sekali. Dia kemudian duduk tegap, menyenggol lengan orang itu dengan sikunya. "Gue nggak tahu kalo Abang kenal sama Kak Prisa?"

"Emang nggak kenal," ucap orang itu datar. Sedatar talenan Mama di dapur. "Tapi pernah ketemu."

Ck, bisa-bisanya orang itu mengatakan yang sejujurnya pada Agas. Masalahnya, adikku tersayang itu biasanya kepo akut, lagipula dia tak selalu bisa jaga rahasia dengan benar.

"Agas! Nggak usah ikut campur, deh, lo."

"Uwaow ... apa ini yang dimaksud dengan jodoh?" Elaah, ini anak. Malah bahas jodoh.

"Kakak lo, tuh, minta cium sama gue." Ini lagi, malah semakin diperjelas. Kan, kurang kecut namanya.

"Apa? Beneran, Bang?" Agas semakin ingin tahu. Wajahnya terlihat berbinar. Perasaanku mulai tak enak. "Waah agresif banget lo, Kak. Mentang-mentang udah kelamaan jomblo."

Kan, bener. Perlu dihajar sekarang juga kayaknya. Pakai diperjelas status jomlo, pula. Kan jadi 'nyut' hatiku yang selembut dan sekenyal kulit bayi ini. Eh, apasi!

Aku memutar bola mata, malas. Lalu, berdiri, tatapanku tajam ke arah orang itu. Sekian detik masih bertahan. Kulihat dia menahan senyum. Diikuti kekehan Agas yang begitu menyebalkan. Menjengkelkan sekali mereka itu.

"Liat kakak lo, Gas. Mukanya udah merah, keknya pengen banget gue cium." Lagi-lagi dia berucap datar sambil menyilangkan tangan di dada.

"Ish ish ish ... Kak Prisa malu-maluin Agas di depan Bang Dean." Agas menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, tapi berongga.

Oh, jadi nama orang itu, Dean. Akrab banget mereka berdua, seperti sudah sering bertemu. Dua kali bertatap muka dengannya, kupikir dia seorang yang dingin, cuek, dan arogan, tapi kenapa dengan Agas sepertinya kompak sekali. Lihat saja, dia berusaha menahan tawa, sementara Agas sudah tepingkal-pingkal.

"Ooh, bagus. Main keroyokan ngebully gue sekarang, ha?" Aku melipat tangan kiri di pinggang. Sedangkan tangan kanan menunjuk-nunjuk wajah sok polos Agas di sana. "Liat aja, Gas. Kaga ada jatah jajan dua bulan ke depan!" Lanjutku dengan lantang mengancamnya.

"Wowowooo ... nggak bisa gitu, dong, Kak. Ini beda urusan."

"Vodo amat!"

"Kalian ini! Gaduh sekali, dari dapur sampai kedengaran. Asyik banget kayaknya, ya. Mama boleh gabung?"

Astaga, Mama! Aku menepuk dahiku sendiri. Bukan, bukan merasa kalah dengan perdebatan ini. Tapi, jika harus melawan beberapa orang, pasti membuatku naik darah.

"Tapi makan dulu, yuk."

***

"Prisa, mau nginep berapa hari?"

"Emm ... paling dua hari, Yah."

Dua hari ini aku memang sengaja mengambil cuti. Mungkin akan kuhabisakan untuk bersama Ayah, Mama dan tentu saja si tengil Agas. Dan biarlah juga, aku bersembunyi di rumah. Biar dua orang yang terus mengejarku itu menyerah.

Andai saja yang mengejarku itu karena cinta, pasti akan beda rasanya. Lha ini dikejar tanpa ada alasan yang jelas. Kan, jadinya aku malas. Lagipula wajah mereka garang, bukan tipeku.

Bahkan, sampai sekarang masih bertanya-tanya, kenapa mereka mengikuti kemana-mana? Apa karena aku cantik? Ah, tentu bukan. Wajahku pas-pasan, hidung agak mancung, tak banyak memang. Ya, yang penting bisa bernapas, lah. Apa karena tinggiku yang seperti anak SMP, lalu mereka ingin menculikku? Ah, kurasa bukan juga.

Haduh! Aku mikir, apa, sih? Sudahlah, selama mereka tak berhasil menemukanku lagi. Hidupku masih aman, meski masih was-was jika melihat mereka.

"Mikirin apa, Pris?" Ayah bertanya setelah posisinya menjadi duduk bersandar di kepala ranjang. Tentu dengan bantuan Mama.

"Mungkin mikirin Dean tadi, ya?" Mama merapikan selimut Ayah sambil melihatku dengan tatapan menggoda, menaik turunkan alisnya berulang kali.

"Dean siapa?" tanya Ayah penasaran.

"Dean yang nganter Agas pulang tadi, Yah." Mama sengaja tak mengatakan jika Agas baru saja mengalami kecelakaan.

"Ganteng, ya?"

Mama mengangguk sambil tersenyum, membuatku menarik bibir juga. Beliau memang selalu bisa membuat kami nyaman berada di rumah. Jika mereka yang ada di luaran sana mengatakan ibu tiri itu jahat. Mereka salah. Mama sama sekali tidak jahat. Wanita berhati lembut ini memang tak memiliki anak dengan Ayah, tapi kasih sayangnya pada kami senantiasa kami rasakan.

"Elah, ganteng dari sedotan?"

Ehm, ya ... memang ganteng, sih. Duh! Apa lagi, sih, ah? Sepertinya otakku perlu dicuci dengan sabun suncling, biar bersih dari bayangannya.

"Jadi inget anak temen ayah, Pris. Kira-kira kamu mau nggak dijodohin?"

"Ya ampun, Yah. Emang aku nggak bisa cari jodoh sendiri?"

"Makanya kita kenalan dulu aja, ya. Besok temen ayah kayaknya mau jenguk ke sini. Biar sekalian sama anaknya. Siapa tahu cocok dan berjodoh."

"Tapi, Yah ...."

Mama tiba-tiba berada di belakangku, mengusap-usap kedua lengan dengan lembut. Tandanya permintaan Ayah tak bisa kutolak.

Aku hanya menghela napas pasrah. Toh, hanya berkenalan saja, kan? Tak ada salahnya. Aku berusaha untuk menenangkan diri sendiri.

***

Aku mematut diri di cermin. Dress bermotif bunga mawar yang sudah lama tak kupakai ini, terasa agak sempit di badan. Ah, andai saja aku boleh memakai celana jeans saja, tapi kata Mama penampilanku harus rapi.

Ketukan pintu terdengar, lalu terbuka. Aku hanya menoleh sekilas, kemudian fokusku kembali ke depan, memoles lipstik tipis di bibir.

"Kak, lo yakin mau dijodohin? Kan belum pernah ketemu."

"Cuma kenalan aja kata ayah, Gas."

"Padahal gue ngarepnya lo bisa sama Bang Dean." Ada nada kecewa di kalimatnya. Sebegitu kenalkah dia dengan Dean?

Hari ini, Agas pun tampak rapi. Jalannya juga sudah tak seperti kemarin yang sedikit pincang dan harus dibantu.

"Lo udah kenal lama, ya?" Aku memutar badan. Lalu memperhatikan Agas yang tengah duduk di tepi ranjangku.

"Bang Dean itu senior gue di kampus. Ya. Meski sekarang udah lulus kuliah, sih. Tapi, dia udah gue anggap kayak abang gue sendiri, Kak. Gue udah ngerasa klop sama dia. Dia baik sama gue, sering bantu kalo gue lagi susah pas ngerjain tugas."

Duh, kenapa adikku itu jadi mellow begitu, ya? Apa benar yang dia katakan tentang Dean? Aku belum mengenalnya, belum tahu tentang dia sama sekali kecuali nama yang baru kemarin aku dengar.

"Dan lagi, Bang Dean itu sering traktir gue, Kak."

"Yaelah, yang lo pikir traktiran mulu."

"Pris, tamunya udah pada dateng. Yuk keluar. Lalu juga, Gas." Mama hanya berbicara dari luar kamar. Kepalanya menyembul dari balik pintu tanpa kutahu dandanannya seperti apa. Tak lama setelah mendengar titahnya. Aku dam Agas keluar kamar.

Samar kudengar suara obrolan dari ruang tamu. Aku semakin mendekat, berpegangan pada lengan Agas. Ada rasa yang tak biasa dalam dada.

"Tenang, Kak."

Kami semakin mendekat, terlihat di sana Ayah duduk berdampingan dengan Mama. Selang infus sudah tak ada lagi di punggung tangannya. Namun, masih bisa kulihat wajah Ayah yang masih pucat.

Saat kulihat siapa saja yang ada di sana, mataku tertuju pada seseorang. Aku sama sekali tak menyangka jika Ayah akan mengenalkanku pada dia.

"Kak, dia ...."

Aku menoleh ke kiri, sepertinya Agas menyadari sesuatu.

Buruan Cium Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang