Bab 14

234 31 5
                                    

Setelah seharian bekerja, akhirnya aku pulang. Bukan ke kost, melainkan ke rumah.

"Nanti malam sudah siap, kan, Pris?"

Saat ini, aku sedang duduk di dapur. Melihat Mama memasak beberapa camilan. Mama memang hobi memasak. Bahkan sejak masih sekolah dulu, aku selalu dibawakan bekal.

"Sebenernya ada acara apa, sih, Ma? Prisa sampai izin kerja setengah hari, ini."

"Nanti malam, keluarga Gerald datang."

"Ke-keluarga? Untuk apa?"

Terdengar Mama mengembuskan napas. Berhenti dari aktivitasnya memotong daun bawang. Lalu, menarik kursi, duduk di dekatku.

"Mama rasa, ayahmu mau menjodohkanmu dengan Gerald."

Apa? Menjodohkanku? Bukannya dulu kata Ayah hanya berkenalan saja?

"Prisa keberatan, ya?"

Aku tersenyum tipis. Memainkan sedotan yang ada di gelas. Meski kutahu, jus wortel yang Mama berikan tadi sudah tandas tak tersisa.

"Kalau iya, bilang sama ayah, jangan sampai kamu menyesal."

"Tapi biasanya ayah nggak sampai memaksa anak-anaknya untuk mengikuti kemauan beliau. Mama kan tahu sendiri ayah kek mana."

"Tapi, mama jadi khawatir, Pris. Keknya ayahmu itu ngebet jodohin kamu sama Gerald. Apa mungkin karena anak sahabatnya, ya?"

Aku juga belum paham dengan maksud Ayah. Biasanya kalau Ayah menghendaki sesuatu, pasti akan dirundingkan dulu. Namun, kali ini berbeda.

"Kalo Prisa nolak gimana ya, Ma? Tapi takut, nggak enak hati sama ayah."

"Ya, bilang sejujurnya sama Ayah, jangan dipendam."

Aku menggeser gelas ke depan. Kepala mendadak berat, kutumpukan pada lipatan tangan di meja makan.

Aku mengembuskan napas pelan. Pikiranku melayang jauh. Membayangkan masa depan.

Kulihat tanah luas dengan bunga menghiasinya. Aku berdiri sendiri, memakai gaun brokat berwarna putih, dengan tatanan rambut tergerai rapi. Sesekali angin menerpa wajah, sejuk terasa.

Dari sini, aku hanya melihat lautan bunga kasna. Bunganya putih bak hamparan salju, tumbuh subur. Tak jauh dari sini, kulihat sosok berdiri di sana membelakangiku. Perlahan aku mendekati.

"Hei." Aku menepuk pelan bahunya. Dia pun sama, memakai kemeja putih lengan panjang. Serta menggengam sebuket bunga mawar putih di tangan. Menatapku dengan senyuman menawan.

"Aku sayang sama kamu." Dia berucap pelan. "Tunggu aku."

Kembali kami saling menatap. Wajahnya tak begitu terlihat jelas karena silaunya matahari. Kemudian dia memberikan buket bunga itu.

"Prisa?"

"Hmm ...."

"Pris!" Terasa guncangan di bahu semakin kencang. "Prisa, bangun!"

Saat aku membuka mata, hanya ada Mama di sini. Detik kemudian, aku menegakkan badan dan melihat sekeliling. Ternyata aku hanya bermimpi. Namun, sosok itu sepertinya tak asing bagiku.

"Udah sore. Siap-siap, ya." Mama berucap sambil membereskan peralatan dapur. Ternyata beliau sudah selesai memasak. "Mama udah siapin gaun buat kamu. Semoga cocok."

Sejenak aku berpikir. Bagaimana mengatakan yang sebenarnya dengan Ayah. "Ma?" Aku memainkan jemari. "Gimana aku bilangnya sama ayah?"

"Mau bilang apa?" Suara itu membuatku dan Mama menoleh. "Cerita sama ayah?" Beliau duduk di kursi yang tadi ditempati Mama di sampingku.

"Maksud pertemuan nanti malam, apa, sih, Yah?"

"Ayah hanya ingin yang terbaik untuk kamu, Nak. Gerald anak yang baik. Ayah pikir nggak ada salahnya jika kalian bersama."

"Tapi Prisa nggak ada rasa sama sekali dengan dia."

"Cinta itu datang karena terbiasa, Prisa. Yang penting kamu yakin, bahwa suatu saat rasa itu akan tumbuh seiring waktu." Ayah berujar sambil menggenggam tanganku.

Aku mengakui bahwa sebuah rasa itu datang dengan sendirinya. Seperti sesuatu yang kurasakan saat bersama ... Dean.

Meski aku belum sepenuhnya yakin bahwa rasaku ini akan sama dengan Dean. Ya, setidaknya aku lebih dekat dengannya. Mungkin ini terdengar konyol, tapi aku tak menyangkal jika debar-debar itu membuat candu untukku saat berdekatan dengannya. Laki-laki menyebalkan yang kusuka.

"Ayah sayang sama Prisa dan Agas. Ayah ingin kalian selalu bahagia. Tapi ayah nggak akan memaksa jika prisa nggak mau. Ayah ... sudah tua, Pris."

Jika sudah begitu, aku tak sanggup untuk menolaknya lagi. Aku terlalu sayang dengan Ayah. Beliau adalah panutanku. Mungkin, saat inilah, aku harus berbakti padanya. Meski aku harus merelakan rasa ini tak berlanjut.

***

Aku masih menunduk dalam. Mengira-ngira, siapa saja yang ada di ruang tamu. Karena tadi aku keluar paling terakhir. Bukannya malas atau bermaksud lain, hanya terasa ada sesuatu yang mengganjal.

Ternyata selain Gerald dan papanya, ada seorang lagi yang baru kutahu beliau adalah mama Gerald. Sekilas aku melihatnya tadi seperti wanita sosialita kelas atas. Tak terlalu heran sebenarnya, mengingat bahwa orang tua Gerald memang kaya. Bisa dilihat juga dari penampilan mereka.

Seperti kehilangan diri sendiri saat berada di sini. Aku berdiam, tak banyak interaksi. Sempat beberapa kali Mama menyenggol lenganku. Namun, aku hanya mengangguk dan tersenyum. Begitu saja terus sampai mereka pulang.

Ah, sudahlah, ingin rasanya ikut Agas keluar rumah. Tadi Agas berkata lirih padaku dia tak setuju jika aku menerima Gerald. Makanya adik satu-satunya iu pergi tanpa bilang akan ke mana.

"Mari, diicip, lho, Mbak Diah. Ala kadarnya, ya." Mama menyodorkan sepiring resoles sayur yang dibuat tadi sore.

Malam ini, kami berkumpul di ruang tamu. Agas yang tadinya ada di rumah, berpamitan keluar sebelum Gerald dan keluarga datang.

Sesekali aku mendongak ketika ditanya. Lalu, menjawab sekadarnya saja, kemudian menunduk lagi. Aku dan Gerald sempat bertatapan tadi, tapi tak lama. Karena aku segera menunduk lagi.

"Iya, terima kasih, nanti saya ambil sendiri, Mbak." Mama Gerald menolak dengan halus.

Seharusnya, demi menghormati tuan rumah, ambil sesuatu untuk dimakan. Meski tak seberapa, itu sudah melegakan sang pemberi. Itu menurutku sudah sangat menghargai.

"Ge, gimana pendapatmu?"

"Pendapat apa, Pa?"

"Ya, Prisa, dong. Masa om?" Ayah menyahut. Lalu, terdengar kekehan dari Om Rahman dan Gerald, juga Mama. Sementara Tante Diah hanya diam, memperhatikan.

"Cantik, Om."

"Bukan, maksud om, gimana kalau kalian saling mendekatkan diri dulu. Om pikir kalian harus saling mengenal lebih jauh sebelum ada perjodohan."

Deg!

Seketika jantungku berpacu lebih cepat dari tadi. Ayah benar-benar ingin menjodohkanku dengan Gerald.

"Gerald sudah lumayan sedikit tahu tentang Prisa, Om. Karena kan, beberapa waktu lalu, Prisa bekerja di JaeMart."

"Iya, papa tahu, tapi kenal sebagai atasan dan pegawai saja itu belum cukup untuk mengenal satu sama lain, kan?" Kali ini suara Om Rahman yang terdengar.

"Mungkin, kami akan mencobanya dulu," ucap Gerald. "Siapa tahu nanti akan ada rasa yang timbul di antara kami," lanjutnya dengan yakin.

Kami? Maksudnya dia dan aku?

Ya, Tuhan ... kenapa dadaku malah terasa sesak, ya? Bukankah tadi aku juga tak menolak keinginan Ayah untuk dekat dengan Gerald?

Haruskah aku melanjutkannya? Lalu bagaimana dengan Dean?

Buruan Cium Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang