Bab 7

364 44 9
                                    

Pagi ini, aku sengaja datang lebih awal. Sambil membawa sebuah amplop, rencananya akan resign hari ini juga. Bukannya aku tak betah di sini, tapi karena ada yang terus-menerus mengejar. Aku tak ingin terlihat seperti penghutang yang dikejar depkolektor.

Untuk pekerjaan selanjutnya, bisa kupikirkan lagi. Mungkin setelah menyerahkan surat pengunduran diri aku akan segera mencari pekerjaan lain.

"Prisa, buat kamu."

Aku yang sedang di pintu gudang memandang seseorang yang ada di hadapan. Pakaiannya rapi khas kantor. Setelan jas hitam, dasi abu-abu, juga jam bermerk mahal melekat di tangannya. Dia mengulurkan setangkai mawar merah.

"Ambil." Lagi, dia mengulurkan lebih dekat.

"Terima kasih, Pak." Aku menerimanya, sambil tersenyum.

Entah kenapa aku merasa jika Gerald berusaha mendekatiku. Dari kemarin semenjak bertemu dengan Dean pun, dia berencana mengajakku makan siang di luar, tapi kutolak. Padahal sebelumnya, Gerald tak pernah mengobrol dengan pegawainya jika tak penting. Ya, aku hanya tak ingin menjadi perbincangan seluruh pegawai JaeMart. Paling menjengkelkan jika menjadi obyek bergosip.

Atau mungkin ini semua karena rencana perjodohan orang tua kami? Ah, entahlah. Yang jelas, aku tak ingin memikirkan hal itu dulu.

"Nanti, bisa kita makan siang bareng? Aku ingin kenal lebih dekat denganmu."

Aku berdeham, lalu mengangguk mengiyakan permintaannya. "Tapi nanti ketemuannya di tempat makan aja, Pak. Nggak enak kalo dari sini barengan. Ntar ada gosip yang nggak jelas." Mungkin, tak ada salahnya jika nanti aku menyerahkan surat pengunduran diri saat makan siang bersamanya.

"Baiklah, aku ke atas dulu. Semangat bekerja, ya!" Gerald mengepalkan tangannya di wajahku. Bukan, bukan untuk meninju tapi ekspresi memberi semangat, sambil mengedipkan sebelah matanya.

Jam berlalu, kini sudah saatnya makan siang. Tadi sebelum berangkat Gerald memberitahu jika akan makan siang di resto yang tak jauh dari sini. Dan bisa kutempuh hanya dengan berjalan kaki saja.

Tak sampai sepuluh menit aku sudah berada di sini. Resto Italia yang mewah menurutku. Suasana begitu tenang dengan alunan musik khas. Resto ini tak begitu ramai, hanya beberapa saja yang mengisi bangku termasuk aku dan Gerald.

"Kamu mau pesan apa, Pris?"

Aku masih melihat menu yang ada. Di samping sudah berdiri pramusaji cantik dan ramah dengan name tag Dinar.

"Aku pesan pasta carbonara dan granita." Diajak makan di sini siapa yang nolak? Aku yang biasanya hanya makan mie instan dengan berbagai rasa, sekarang bisa makan pasta. Bukankah itu kemajuan yang sangat pesat?

"Kamu mau gelato nggak?"

"Gelato?"

"Es krim."

Setelah memesan, Gerald mulai bertanya beberapa hal tentangku. Sebenarnya aku tak begitu suka jika menceritakan tentang masalah pribadi. Namun, aku juga tak bisa jika Ayah sampai tahu sikapku buruk dengan Gerald.

"Kenapa harus berhenti kuliahnya?"

"Biasalah, Pak. Aku nggak ingin nyusahin Ayah. Lagi pula beliau sudah tua. Biar Agas saja yang kuliah."

Percakapan kami terjeda saat pramusaji datang membawa beberapa pesanan. Setelah mengucapkan terima kasih pada pramusaji, Gerald bertanya lagi.

"Apa kamu nggak ingin kuliah lagi?"

Aku menggeleng cepat sambil menyunggingkan senyum. Lalu, kami sama-sama menikmati makan siang tanpa suara.

Selesai menyantap makanan, kami kembali mengobrol karena waktu istirahat masih ada beberapa menit lagi. Meski masih agak sedikit kaku. Namun, perasaanku tiba-tiba tak enak.

Sedari tadi ponsel bergetar. Sepertinya ada banyak pesan masuk.

"Aku ke toilet dulu, ya, Pris. Sebentar."

Aku mengangguk mengiyakan. Setelahnya, cepat kubuka ponsel. Benar saja, puluhan pesan masuk dari nomor tak dikenal.

'Pris, tolongin gue kali ini.'

'Kita ketemuan, yuk.'

'Prisa.'

'Ini gue, Dean.'

'Gue tunggu di taman yang kemaren malem itu.'

Dan masih banyak lagi pesan lainnya. Cm, dari mana dia dapat nomorku? Ah, ya, pasti si Agas yang memberitahu.

Namun, baru saja ingin membalas, Gerald sudah duduk kembali di hadapan.

"Maaf, lama, ya."

Aku hanya tersenyum. Sambil meletakkan ponsel di meja.

"Prisa, kamu kenal Dean udah lama?"

"Nggak juga, Pak."

"Duh, kamu, tuh. Kalau di luar jangan panggil Pak, dong. Berasa tua aku tuh."

Lagi, ponsel bergetar, tapi tak kuhiraukan. Biar saja, paling hanya Dean yang ingin meminta tolong agar aku jadi pacar pura-puranya. Ya, seperti kemarin yang dia bilang.

"Kok nggak diangkat?"

"Oh, ya, Pak." Aku tersenyum kikuk. Sepertinya aku harus mengangkat telepon kali ini.

Kuraih ponsel yang tergeletak di meja. Membuka layar. Dahulu mengernyit. Ternyata Agas.

"Paan, Gas?"

"Lo ini gimana, sih? Dikirim banyak pesan dari Bang Dean nggak dibuka."

"Gue lagi makan. Sorry. Tapi barusan gue buka, kok."

"Buruan ke sini. Bang Dean abis berantem."

"Apa?!" Nada suaramu meninggi. Jelas saja, aku kaget kali ini. Kenapa dia harus berkelahi? Dengan siapa?"

Gerald yang melihatku menaikkan dagu cepat, seperti bertanya ada apa? Tapi, aku hanya menggeleng.

"Sekarang di mana?"

"Gue udah di kostan dia."

"Kirim alamatnya sekarang."

Telepon kumatikan. Lalu, menyimpan ponsel di saku celana. Mendengar Dean berkelahi, pikiranku menjadi tak tenang.

"Ada apa?"

"Pak, boleh aku izin keluar sebentar? Ada yang harus aku lakuin sekarang."

"Kenapa, Pris? Ada masalah?"

Aku beranjak. "Maaf, Pak."

Sudah lima langkah aku meninggalkan meja. Namun, aku baru menyadari sesuatu. Detik kemudian aku kembali, lalu menyerahkan amplop putih pada Gerald.

"Maaf, Pak. Ini."

Tak sempat lagi aku menjawab pertanyaannya. Aku bergegas, tak membawa apa pun, selain ponsel. Baju yang kukenakan juga masih seragam JaeMart.

Empat puluh menit, aku baru sampai tempat kost Dean. Di sini aku menghadap pintu yang tadi sudah diberi tahu Agas jika Dean sudah boleh pulang dari klinik. Ya, Agas yang mengurus Dean sewaktu di klinik.

Ada rasa sesal yang yang mengganjal di dada. Seharusnya aku datang saat dia meminta tolong tadi. Bukannya mengabaikan dan asyik makan siang dengan Gerald.

Aku menghela napas, lalu pintu kuketuk pelan. Apa dia sedang tidur, ya? Dua kali aku mengetuk dan memanggilnya. Tak kunjung mendapat jawaban. Aku mencoba membuka pintu. Eh, tak terkunci rupanya.

Saat pintu terbuka. Aku mengedarkan pandangan. Kamar ini terlihat bersih dan rapi untuk laki-laki. Tak seperti kamar Agas yang berantakan, banyak baju berceceran. Buku kuliah berhamburan di meja. Tak ada wanginya pula.

Saat melangkah masuk, pemandangan tak biasa kulihat. Di sana dia berbaring dengan mata terpejam. Ada bekas kebiruan di beberapa bagian di wajahnya. Aku mendekat, lalu duduk di samping kasur lantai tipis miliknya.

Hening beberapa lama.

Aku masih memperhatikan wajahnya. Dia ....

"Gue ganteng, ya?"

Ashh ... kurang micin! Ternyata dia tahu aku melihatnya dengan intens.

Dia membuka mata. "Lo mau cium gue?"

Buruan Cium Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang