"Jadian sama gue."
"Jadian sama gue."
"Jadian sama gue."
Kata-kata itu selalu menggangguku seharian ini. Bahkan beberapa kali Neishia menegur karena salah menempatkan barang. Sial! Dean telah membuat kacau pikiranku.
Benar-benar ada masalah di otakku sekarang. Siapa yang tak kaget dengan ucapannya seperti itu? Tiba-tiba saja dia mengatakan hal itu tadi. Jika didengar Gerald, kan, aku jadi tak enak hati.
"Lo kenapa, sih, pris? Gue yang baru putus, tapi lo yang banyak ngelamun, ada masalah?"
Aku mengangguk. Menceritakan dari awal kenapa sekarang Gerald banyak interaksi denganku. Lalu, kemarin dia dan papanya datang ke rumah. Kemudian Ayah dan Om Arman--papanya Gerald--merencanakan perjodohan.
Padahal sebelumnya Ayah mengatakan jika hanya berkenalan saja. Setelah mengetahui aku dan Gerald saling kenal, malah jadi seperti itu. Bukannya itu terlalu cepat? Ah, padahal aku belum tentu menyetujui jika benar kami akan dijodohkan.
"Jadi lo terima?" tanya Neisha lagi. Sikapnya yang ingin tahu itu keluar lagi. Padahal beberapa jam yang lalu dia seolah-olah hancur karena diputus kekasihnya.
"Gue kan belum terlalu kenal sama Pak Gerald, Nei. Lagian aku sama sekali nggak mikirin kek gitu dulu."
"Kenapa?"
"Tapi dia yang malah mengganggu pikiran gue."
"Oh, Dean tadi, ya. Sepupunya bos?"
Lagi-lagi aku mengangguk, lalu mengembuskan napas pelan. Dunia ini ternyata sempit sekali. Apa hidupku penuh dengan kejadian yang tiba-tiba sekarang?
***
Jam pulang tiba. Aku bersiap, seragam kuganti dengan kaus panjang dan ransel kecil berisi dompet serta ponsel butut yang kubeli dua tahun lalu.
Saat akan keluar JaeMart, aku melihat dua bodyguard itu lagi.
Aarrgghh! Bagaimana ini? Kapan aku bisa terbebas dari mereka? Aku tak pernah tahu kesalahan apa yang telah kuperbuat, sehingga mereka terus mengejarku.
Mereka tampak berjaga di samping mobil mewah yang terparkir di pinggir jalan, tak jauh dari JaeMart. Aku yang melihatnya langsung menunduk. Khawatir jika mereka mengetahuiku
Saat menyadari mereka melihat ke arahku juga, segera kupacu langkah lebih cepat. Hampir berlari, tapi tak berapa lama, aku sadar jika telah menabrak punggung seseorang di hadapan.
"Awh!" Aku mental, sampai mundur beberapa langkah. Tapi aku tak peduli dengan siapa yang ada di depan. Aku terus menunduk, menghindari kejaran dua orang menyeramkan itu.
"Jangan berlari," bisiknya saat langkah orang itu menyejajariku. "Kalo lo nggak mau ketahuan, deketan sama gue."
Aku berhenti melangkah, melihat ke samping kanan. Agak mendongak karena dia jauh lebih tinggi dariku. Tak lama, dia memberikan jaket besar dan memakaikannya di punggungku.
"Tetap berjalan dan jangan berjauhan dari gue."
Seperti sihir, aku mengikuti apa yang dia katakan. Tubuh kami saling berdekatan. Bahkan dia tak segan merangkul pundakku. Seperti melindungiku dari apa pun. Ah, bukannya dia memang sedang melindungiku dari kejaran bodyguard itu?
Kami berjalan sedikit cepat, menembus keramaian yang ada di trotoar. Malam ini memang ramai. Sudah biasa jika malam Minggu tiba.
Kurasa kami telah berjalan jauh. Sampai aku tak mengenali jalanan ini. Aku hanya memikirkan bagaimana bisa melarikan diri lagi dari mereka, sampai tak ingat jika telah berjalan semakin jauh dari kost.
"Keknya mereka udah nggak ngejar lo lagi."
Dean, dia selalu saja ada untuk menolongku. Terhitung sudah tiga kali ini. Bisakah aku menyebutnya pahlawan kebangetan? Ya, dia kebangetan membuat jantungku tak keruan saat di dekatnya.
Jangan tanya sejak kapan aku merasakan hal itu? Aku pun tak tahu.
"Lo belum pulang sari tadi?"
Dean memberikan sebotol air mineral padaku. Saat ini kami sedang duduk di pinggir jalan. Rasa lelah setelah berjalan tadi membuatku haus. Tadinya aku ingin bilang padanya jika tenggorokanku kering. Namun, ternyata dia memberikanku minuman sebelum aku memintanya.
"Gue sengaja nungguin lo."
Dean sengaja menungguku pulang kerja hingga malam seeprti ini? Apa dia akan mengatakan hal yang sama dengan tadi siang?
"Pris, apa boleh gue minta tolong balik?"
"A-apa?" Mendadak aku jadi salah tingkah.
"Jadian sama gue."
Apa aku tak salah dengar? Lagi-lagi kalimat itu yang dia ucap.
"Ke-kenapa harus begitu?"
Dia berdeham, mungkin dia sama gugupnya denganku. "Maksud gue, jadian yang pura-pura."
Jadian yang pura-pura? Apa itu? Susunan kalimatnya kali ini malah membuatku tertawa. "Gue harus jadi pacar bohongan lo, gitu?"
Dean mengangguk. "Jangan ketawa."
Aku menutup mulut, dia terlihat lucu jika salah tingkah seperti itu. Ekspresinya membuatku tak bisa menahan tawa.
Tak berapa lama, Dean meraih pergelangan tanganku, lalu menggenggamnya. "Beneran, gue butuh lo."
Kami saling menatap. Meski di jalanan depan lalu-lalang kendaran sedang ramai, orang-orang yang berjalan pun banyak. Namun, kurasa hanya kami berdua yang ada di sini.
Selama beberapa detik kami masih di posisis yang sama, hujan turun dengan lebatnya. Membuatku tersadar dan menarik tangan Dean untuk berlari mencari tempat berteduh.
Ah, bukankah ini seperti adegan di televisi? Menampilkan dua orang yang saling jatuh cinta dalam diam. Memiliki rasa yang sama, tanpa harus saling menyatakan. Karena lewat mata, rasa itu bisa terlihat.
"Yah, malah tambah deras hujannya." Aku berucap setelah bersin berulang kali. Setelah setengah jam lebih kami terjebak di emperan toko yang sudah tutup.
"Lo sakit?"
"Nggak, udah biasa gue kek gini. Alergi dingin."
Aku mengusap-usap lengan yang masih terbalut jaket besar milik Dean. Lalu, aku memperhatikan dia. Dia hanya memakai kemeja tipis, celana jeansnya yang sedikit robek itu terlihat basah. Sepertinya Dean kedinginan juga, dia mengusap kedua tangannya sendiri sambil meniup berulang kali.
"Tangan lo mana?" Aku mengulurkan tangan dari samping dia berdiri.
Dia mengerutkan dahi, seolah tak paham dengan apa yang barusan kuucapkan. Tanpa ada kata lagi Dean, aku meraih tangan kirinya, menggenggamnya, lalu memasukkan dalam saku jaket yang kupakai.
"Tangan yang satu masukin aja di saku celana lo."
Dia tersenyum tipis setelah melakukan apa yang kurusuh. Di dalam saku jaket, dia mengeratkan genggaman. Tadinya tangannya sangat dingin, kini sedikit menghangat.
"Gu-gue kek gini karena gue kasihan sama lo yang kedinginan."
"Apa nggak salah? Bukannya lo yang kedinginan sampai bersin-bersin gitu?"
Kenapa dia bisa menebak apa yang kupikirkan, ya? Dia bukan peramal, kan?
Beberapa lama kami masih bertahan di sini. Menikmati dinginnya udara malam. Entah jam berapa sekarang, kurasa sudah mulai larut. Jalanan semakin sepi kendaraan. Hanya beberapa saja yang masih lewat, itu pun dengan cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Buruan Cium Gue!
Ficção GeralAku harus selalu waspada dengan keadaan sekitar. Aku tak ingin orang-orang itu terus mengejarku. Suatu ketika secara tak sengaja, aku bertemu dengan seorang laki-laki. Dia kumintai tolong untuk menyelamatkanku dari keadaan yang menghimpit. Bertemu d...