Bab 19

257 31 4
                                    

Rasa hati tak keruan. Melihat beliau terbaring lemah tak berdaya. Dari tempatku berdiri dengan Dean, sangat jelas jika Ayah memejamkan matanya.

Semenjak sampai di sini, genggaman Dean tak terlepas. Bahkan, dia tak sedetik pun meninggalkanku.

Sesak sekali rasanya melihat Ayah di sana. Mama dan Agas mengizinkanku masuk ke ruangan bersama Dean terlebih dahulu. Membiarkan kami melihat Ayah yang ....

Ah, aku merasa tak sanggup untuk menjelaskannya. Banyak alat dan selang yang tak kumengerti berada di tangan dan dada Ayah. Mama hanya menjelaskan bahwa Ayah sesak napas dan jatuh pingsan di rumah.

"Ayah ...." Aku tak tahan lagi. Air mataku kini mengalir begitu mudahnya. Jatuh membasahi lantai keramik dingin di bawah sana.

Dean masih terdiam. Aku mengerti, mungkin Dean membiarkanku menyalurkan rasa pada Ayah lewat air mata.

Namun, tak berapa lama, genggaman terlepas, membuatku menoleh ke samping. Dean menatapku dengan pandangan yang ... entah, aku bahkan tak bisa mengartikannya.

"Sabar, ya, Pris." Dean memegang kedua bahuku. Setelah dia merubah posisinya menjadi menghadapku.

"Ayah pasti akan sembuh."

Lagi-lagi hanya air mata yang menjadi jawabannya.

Aku hanya mengangguk pelan, lalu menunduk memejamkan mata.

Dean memelukku. Rasa hangat tersalur sempurna saat ini. Meski kami sama-sama memakai baju khusus pembesuk berwarna biru.

Akan tetapi, itu malah membuatku semakin terisak. Kubenamkan kepala di dadanya. Sementara, dia mengeratkan pelukan. Tanpa kata.

Kami keluar ruangan setelah melepas baju khusus tadi. Dean sedari tadi terus menggenggam jemariku. Entah, mungkin dia mentransfer lebih banyak energinya untukku.

Saat kami keluar ruangan, aku terkejut dengan keberadaan Gerald dan kedua orang tuanya di sana. Kenapa mereka di sini?

Seketika aku merasakan genggaman terlepas. Aku bisa melihat dari samping, wajah Dean datar dan terlihat berbeda dengan beberapa detik lalu.

"Gantian mama sama Agas yang masuk, ya, Pris. Kamu mau di sini?"

Aku masih sibuk mengusap pipi dan hidung yang telah basah karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Hanya mengangguk saat Mama dan Agas akan ke dalam.

"Prisa, duduk sini." Di kursi tunggu, Gerald berdiri.

Tatapan mata Gerald masih ramah seperti biasanya. Namun, kali ini aku melihat seolah ada senyum yang dia paksakan.

"Tenangkan hati kamu dulu, Pris. Duduk dulu." Om Arman berucap lembut. Sedangkan sang istri hanya diam saja.

"Gue pulang dulu, ya. Semoga ayah lo lekas sehat."

Aku mengangguk.

Duduk diam, menunggu Mama dan Agas keluar ruangan. Di sini, ada hati yang tengah gelisah. Kala Ayah tak kunjung membuka mata.

Tangan kekar itu berniat menggenggam jemariku yang berada di atas paha. Namun, dengan cepat aku menghindar. Entahlah, aku merasa ada sesuatu yang mengganggu pikiranku jika menyangkut tentang Gerald.

***

Beberapa hari aku, Mama, dan Agas bergantian menunggu Ayah, meski Mama dan aku yang lebih sering menginap di sini. Sekarang kondisi Ayah sudah membaik dan dipindahkan di ruang perawatan biasa.

Selama itu juga, aku izin untuk tidak bekerja. Dengan senang hati Dean memberikan izin, libur semauku katanya. Meski tak enak hati, aku menerimanya.

"Pris, apa kamu nggak sebaiknya masuk kerja?" Mama bertanya sambil mengupas buah untuk Ayah.

"Kata Dean, Prisa boleh masuk kapan aja kok, Ma."

"Dean siapa?" Ayah menyahut.

Aku lupa, ternyata Ayah belum pernah dikenalkan pada Dean. Pun belum tahu kalau Gerald dan Dean adalah saudara sepupu.

"Atasannya Prisa, Mas." Mama menjawab sambil menyuapkan potongan buah pada Ayah.

"Oh, kirain siapa. Berarti kamu mau kan, sama Gerald?"

Seperti petir di siang yang sangat cerah ini. Pertanyaan Ayah membuatku tak bisa bergerak sama sekali. Aku ... aku harus jawab apa?

Aku dan Mama saling menatap. Seakan-akan Mama mengerti dengan apa yang ada di hatiku.

"Mas, apa nggak sebaiknya kita omongin nanti saja kalau udah pulang?"

"Nggak! Aku ingin Prisa menjawabnya sekarang. Aku nggak Enak sama keluarga Arman." Ayah menolak suapan dari Mama. Kini, melihatku dengan tatapan tegas. "Kita ini udah dibantu keluarga mereka. Perawatan di sini mereka yang nanggung. Masa mau menolak?"

"Tapi, Yah. Prisa masih pengen kerja." Ingin menyanggah, tapi sepertinya Ayah keberatan.

"Gerald itu kan baik, Pris. Kamu mau yang kaya gimana?"

Aku duduk menunduk, sambil memainkan jari sendiri. Menahan betapa sesak dada ini, saat pertama kalinya Ayah memaksakan sesuatu yang tak kuinginkan.

Padahal waktu itu, Ayah sendiri yang bilang jika tak akan memaksa. Namun, hari ini semuanya berubah.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulutku. Seakan terkunci rapat.

Aku menghela napas sejenak, lalu mengembuskannya pelan lewat mulut. Yakinkah aku mengambil keputusan ini? Bukankah terlalu cepat?

***

Beberapa hari setelah Ayah pulang. Kedua keluarga bertemu kembali, saling membicarakan bagaimana rencana pertunangan yang akan digelar beberapa waktu yang akan datang.

Kulihat, di sana Gerald tersenyum senang. Sesekali dia melirikku, tapi segera kualihkan pandangan ini ke arah lain.

Di rumah sederhana peninggalan kakekku ini. Suasana terasa begitu riuh oleh obrolan beberapa orang. Namun, aku tak terlalu mendengarkan. Hanya seperti dengungan yang menyapa telinga saja.

Bahkan, beberapa kali Mama menyenggol lenganku, agar fokus pada acara.

"Baiklah, jadi hari pertunangan digelar minggu ke depan, ya." Om Arman berucap seraya memperlihatkan senyum lebar pada kami.

"Oke, Man. Aku setuju. Lebih cepat, lebih baik, kan?" Ayah menimpali.

"Tentu saja."

Tawa terdengar memenuhi ruangan sempit ini. Berikutnya mereka membahas tentang dekorasi, baju yang dipakai, bahkan makanan yang akan disajikan.

Aku pikir ini terlalu berlebihan. Bukankah masih dalam tahap pertunangan? Belum nikah, kan?

Acara inti selesai. Namun, para orang tua masih berada di ruang tamu. Agas juga sudah masuk ke kamar begitu saat acara selesai. Entah, aku merasa heran dengan anak itu. Dia berubah menjadi pendiam ketika tahu aku akan bertunangan dengan Gerald. Aku sudah bertanya berulang kali kenapa dia berubah sikap, tapi lagi-lagi tak mendapatkan jawaban yang puas.

Kini aku berada di teras. Melihat ke langit malam, tak ada satu pun bintang yang menggantung di sana. Terasa gelap. Segelap hatiku saat ini. Ah, entahlah.

"Aku seneng, akhirnya kita akan bertunangan, Pris." Langkah kaki Gerald mendekati. Lalu, berdiri di sampingku. Ikut mendongak saat kulirik dia.

"Semoga, kita akan selalu bersama terus, ya."

Aku memejamkan mata. Sampai saat ini aku masih ragu dengan apa yang kulakukan. Merasa masih gamang saat menatap Gerald.

Bagaimana aku ini?

"Kamu juga bahagia kan, Pris?"

Bahagia? Entahlah, aku tak bisa mengartikan rasa ini. Seperti ada sesuatu yang ... meragukan saja.

Hati kecilku mengatakan tolak saja sebelum terlanjur. Namun, di sisi lain, ada yang bahagia dengan rencana ini.

Ayah.

Buruan Cium Gue!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang