9. Perasaan yang Tumpul

320 99 5
                                    

Happy Reading!

Karen menoleh saat seseorang membuka pintu kamarnya tanpa izin. Dia baru saja akan mengomel jika yang datang bukan Shafira. Senyumnya terbit melihat gadis itu membawa kantung plastik besar. Dia segera meninggalkan meja belajar untuk menyambut kehadiran sang sahabat.

“Ada gerangan apa Nona Shafira datang tanpa dipanggil dulu?” gurau Karen, seraya menutup pintu kamar.

Shafira langsung melempar kantung plastik ke kasur dan habis itu ia ikut merebahkan tubuh di tempat yang sama. Dia menatap Karen yang sedang berjalan ke arahnya dan kini sudah duduk di kasur sambil mengecek apa saja isi kantung tersebut. 

“Si Tante yang minta gue ke sini. Katanya lo aneh amat dari kemarin nggak mau keluar kamar bahkan nggak ikut ke mall sama Om dan Tante. Kaki lo sehat nggak nginjek lantai mall minggu ini?” ucap Shafira, dengan sarkas diujung kalimat.

“Oh itu, gue lagi nulis laporan. Kemarin coba baca-baca laporan punya Koh Willy terus gue beli e-book di Google Playbook tentang cara menulis laporan yang benar,” kata Karen, santai sambil membuka bungkus camilan ringan, tak peduli sindiran Shafira tentang mall.

“Terniat,” komentar Shafira. 

“Haruslah. Nanti pasti sidang ada tiga orang guru, jadi biar pun gue dapat nilai jelek dari Pak Tana seenggaknya masih ada dua orang yang bisa menilai laporan gue dengan objektif,” ujar Karen. Lalu ia melahap keripik singkong instan yang dibelikan Shafira.

“Gue doain semoga nilai lo bagus, deh dan semoga aja guru-guru bisa lihat kegigihan lo,” kata Shafira, sungguh-sungguh.

Karen hanya mengangguk-angguk saja. Shafira melihat laptop dengan layar menyala juga beberapa gelas kotor di meja lalu ia kembali melirik Karen. Gadis itu masih dengan baju tidur dan celana pendek di atas lutut bahkan cepolan rambutnya sudah berantakan tak beraturan.

“Lo belum mandi, ya?!” tuduh Shafira, yang langsung disambut anggukan santai dari Karen.

“Kok lo bisa tahu?” tanya Karen, sambil lalu.

“Siapa pun yang lihat pasti tahu lo belum mandi. Sumpah! Jorok banget, Karenina. Astaga dragon!” Shafira kemudian duduk sambil menatap sahabatnya tak habis pikir. Dia tahu Karen memang agak sulit mengumpulkan niat untuk mandi tapi melihat gadis itu langsung masih berpiyama saat petang mulai tiba membuat Shafira tidak bisa berkata-kata.

“Yaudah, sih. Weekend ini, mandi sekali sehari doang nggak masalah kali. Nggak bau ketek juga,” seloroh Karen.

Shafira menggeleng-geleng. “Kapan terakhir lo mandi?”

“Kemarin malamlah,” jawab Karen.

“Udah sana mandi dulu. Jangan mandi malam-malam terus, Ren. Ntar lo kenal rematik, tahu rasa!” Shafira merebut camilan ringan yang sedang dipangku Karen.

Gadis itu beringsut kesal dan turun dari ranjang. Karen kembali ke meja belajar dan menatap laptop lalu melirik Shafira.

“Menurut lo, apa gue bisa menghadapi Pak Tana?” tanya Karen, kembali ke mode serius.

Shafira mengangkat bahu. “Gue kalau jadi lo, sih, bakalan santai-santai aja sampai sidang. Bukan salah gue juga, si Suri yang nggak mau kasih pinjam. Kalau udah kepepet, pasti Pak Tana juga nyerah kali. Mau nggak mau, laporan lo yang dia tolakin itu pasti terpakai.”

Karen masih menatap Shafira dengan intens. Pikirannya mencerna kata-kata Shafira. Itu mungkin saja terjadi, mengingat semua laporan murid kelas 11 adalah tanggung jawab guru pembimbing tapi yang selalu menjadi beban pikiran Karen adalah kalimat belum sesuai standar sekolah yang selalu diulang-ulang Pak Tana.

Semesta Angkasa | Teenlit ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang