Happy Reading!
Sambil menunggu Shafira selesai ekskul dance, Karen memutuskan untuk duduk sembari menulis laporan di beranda belakang vihara. Semilir angin tipis menjelang sore dan satu cup cappucino cincau ikut serta menemani kegiatan Karen kali ini. Dia sempat terdiam lama pada bagian pertengahan bab empat, baginya tidak ada yang perlu lagi direvisi. Semua sudah pas dan sesuai fakta.
Karen membuka laporan milik Willy dan dia mencoba membandingkan isi bagian 4.2 punya Willy dengan tulisannya. Satu kata yang mendeskripsikan perbedaan mereka adalah jomplang. Kening Karen berkedut, dia tak yakin Willy sama sekali tidak mengalami kendala sedikitpun. Memang, sih, persiapan PKL tahun lalu lebih matang dari angkatannya. Ada seminar, pelatihan sebulan sekali selama tiga bulan, dan lain sebagainya sementara angkatan Karen tidak ada.
“Nggak usah disamainlah, ya? Kan, kendala gue dan dia beda. Lagi pula sekolah emang harus belajar buat bikin persiapan yang matang. Jangan dikit-dikit mendadak semua.” Memang salah satu penyesalan dia bersekolah di Semesta Angkasa selain banyak omong kosong adalah pemberian informasi yang selalu mendadak.
Bayangkan, baru dua hari menyandang status sebagai anak kelas 11, tiba-tiba ada pengumuman bahwa kegiatan praktik kerja lapangan akan dimajukan tiga bulan lebih awal dari tahun-tahun sebelumnya. Fantastic! Mereka cuma punya waktu satu bulan untuk mencari tempat PKL atau jika tetap tidak dapat, maka terpaksa melaksanakan di tempat yang sudah disediakan pihak sekolah. Tentu saja banyak yang kalang kabut termasuk Karen, untung saja Mama merekomendasikan satu tempat di dekat kantornya dan Karen sangat bersyukur bisa diterima.
Bukan. Karen bukan diterima karena orang dalam. Dia bahkan mengajukan lamaran sendiri dan datang lagi untuk melihat hasil permohonan PKL-nya.
“Biarpun yang lo tulis semua adalah fakta, sekolah tetap butuh pencitraan. Lo nggak bisa menulis seenaknya tentang kekurangan sekolah karena akan banyak pihak yang tersinggung nantinya. Itu sama sekali nggak akan menguntungkan buat lo.”
Jemari Karen yang sedang mengetik seketika terhenti. Gadis itu diam sesaat, dia masih menatap layar laptop dengan tenang. Suara barusan tentu tidak asing, setelah membuatnya kesal mati-matian kini dia datang sendiri tanpa ia panggil-panggil seperti dulu.
“Ngapain lo?” tanya Karen, tanpa melihat langsung si sumber suara. Dia melanjutkan kegiatannya.
Suri membuka ritsleting ransel miliknya dan mengeluarkan sebuah plastik bening berisi tumpukan kertas lalu menyerahkan pada Karen. Gadis itu tidak merespons dan karena Suri tak ingin ambil pusing jadi dia meletakkan benda tersebut di dekat kaki Karen yang sedang berselonjor. Selanjutnya, dia mengeluarkan sebuah hardcover merah dan kembali meletakkan di atas kertas bening tersebut.
Laki-laki itu duduk di dekat ujung kaki Karen. Dia memandang lurus pot-pot besar di sekitar tembok yang membatasi tempat ibadah mereka dengan gedung universitas Semesta Angkasa.
“Laporan lo udah gue revisi. Nggak banyak yang salah dan lo bisa belajar dari laporan gue,” kata Suri. Dia yakin gadis yang duduk tak jauh di belakang dirinya pasti bisa mendengar suaranya.
“Udah nggak butuh.”
Suri merasa tidak harus tersinggung dengan kalimat yang dibawakan dengan sangat ketus barusan. Dia sadar, dia juga salah.
“Sejujurnya gue cuma pengin lihat seberapa besar ambisi lo buat lulus. Kebanyakan murid pada nggak peduli soal laporan padahal itu salah satu aspek kelulusan. Mereka harus disuapin dulu sama pembimbing baru mau kerja dan … gue cukup salut atas kegigihan lo buat selesaikan laporan,” terang Suri, tulus. Diluar alasan apa pun, dia memang mengapresiasi usaha Karen. Mungkin jika orang lain yang ada diposisi gadis itu, cerita akan berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Angkasa | Teenlit ✔
Teen Fiction"Setiap gue suka sama orang, gue nggak pernah sadar atau lebih tepatnya memilih untuk nggak menyadari kalau gue punya perasaan suka ke orang tersebut. Karena gue tahu, nggak ada ujung yang baik dari perasaan yang gue punya. Gue sering kali jatuh cin...