15. Sadar Diri & Ekspektasi

316 88 3
                                    

Happy Reading!

Sebuah angkringan di pinggir jalan menjadi tempat tujuan mereka sebelum pulang ke rumah masing-masing. Suri yang inisiatif duluan, selain ingin mencairkan suasana yang cukup canggung akibat pelukan kilat di depan ruko, dia juga merasa malas tinggal di rumah sendirian. Perasaan bersalah menyelimut laki-laki berusia 18 tahun itu. Kini siapa yang impulsif? Dia atau Karen? Tentu saja Suri! Dia hanya tidak sanggup melihat wajah sendu Karen ketika ia mulai bercerita apalagi saat gadis itu mulai berpikir macam-macam yang berpotensi kabur dari hidupnya.

Suri jelas tidak mau. Dia sudah nyaman dengan gadis itu. Bertemu dan mengobrol dengan Karen kini sudah seperti rutinitas. Menyapa ketika berpapasan di lorong sekolah sudah seperti kewajiban. Diawal dia merasa aneh karena hampir tak pernah bertegur sapa dengan siapa pun namun lama kelamaan dia menikmati hari-harinya.

Laki-laki itu melirik Karen yang masih tampak diam sambil sesekali mengusap gelas beling berisi teh hangat dengan jemarinya. Pemandangan tersebut malah menambah rasa bersalah Suri.

"Kenapa coba pakai gue peluk segala?! Sok manis banget lo, Suri!" Bahkan menggerutu dalam hati pun tidak mengurangi rasa malunya. Suri mengurungkan niat untuk bercerita pada Siwa, tadinya dia ingin menghubungi laki-laki itu untuk meminta solusi. Setidaknya Siwa lebih berpengalaman soal perempuan daripada dirinya yang cupu ini.

Suri menghela napas cukup keras. Dia sendiri tidak sadar karena kelamaan melamun tapi gadis di hadapannya menyadari. Karen mendorong gelas ke sisi kanan dekat wadah tisu, dia memberanikan diri untuk menatap Suri.

"Lo pasti tersiksa banget waktu awal-awal gue muncul. Hampir setiap hari gue panggilin dan gangguin. Gue pasti jadi sumber utama kenapa ingatan lo tentang 10 tahun lalu itu kembali lagi. Seandainya gue tahu, nggak akan pernah gue lakukan. Maaf untuk itu, Koh," ujar Karen.

Tak ingin terlihat terkejut karena Karen memulai pembicaraan duluan, Suri cepat-cepat menanggapi, "Lo nggak seharusnya merasa bersalah karena memang nggak tahu apa-apa dan bukan tugas lo juga buat jaga perasaan gue. Masa itu udah lewat, justru gue yang minta maaf karena udah buat lo marah."

"Sebenarnya apa yang lo rasain sekarang ... tentang kematian Nad?" tanya Karen, pelan.

"Gue nggak tahu, Ren. Nggak ada kenangan baik saat kehilangan. Dalam sekejap semua berubah. Gue udah delapan tahun saat itu, mustahil buat melupakan seolah-olah nggak pernah terjadi. Gue nggak nangis waktu datang ke tempat kremasi Nad, gue terus denial sama kesedihan. Saat itu gue berpikir, mungkin ini salah gue juga karena udah izinkan orang lain masuk dan berhubungan sejauh itu sama gue," tutur Suri, nelangsa tersirat dari tatapan laki-laki itu.

"Lo boleh sedih. Kayak apa yang lo bilang, kehilangan itu menyakitkan. Nggak salah kalau lo mau nangis," balas Karen.

"Udah telat, Ren. 10 tahun dan gue baru nangis sekarang, Nad mungkin udah reinkarnasi," sahut Suri, lalu terkekeh.

Karen tidak menanggapi lelucon garing laki-laki itu. Dia paham dibalik ucapan Suri, pasti ada yang lebih menyakitkan dan bahkan tidak mampu diwakilkan oleh tangisan. Rasa senang jauh lebih mudah diungkapkan daripada kesedihan, baik dari si pencerita maupun si pendengar.

"Mungkin sebenarnya selama ini lo nangis tapi nggak keluar air mata. Tangisan lo adalah diri lo yang sekarang. Entah lo menyadari atau nggak, lo juga belum mengikhlaskan Nad pergi. Nggak tahu karena kecewa atau penyesalan yang belum bisa lo terima," kata Karen.

Suri tersenyum, bukan senang tapi lebih pada pasrah. Gadis itu selalu menebaknya dengan benar. Suri memang hanya butuh validasi dari apa yang sedang ia rasakan. Dia tahu tapi bimbang untuk mengakui.

Semesta Angkasa | Teenlit ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang