16. Kamu Itu Seperti Hadiah

288 88 7
                                    

Happy Reading!

"Pertanyaan-pertanyaanmu itu seperti hadiah yang kuharapkan isinya cinta. Hal-hal kecil yang kau ucapkan, itu istimewa. Bahkan sekedar tawa yang singkat dan kepercayaan dirimu, itu istimewa."

-Zarry Hendrik-

.....

"Kamu suka filmnya, Fir?"

Langkah dua insan itu melemah ketika mereka mulai mendekati kerumunan yang hendak keluar ruang bioskop. Jarak di antara keduanya semakin menipis, sesekali lengan mereka bersentuhan dan menyebabkan setruman halus dalam diri sang gadis. Shafira bahkan tidak yakin menyimak film yang mereka tonton dengan benar selama laki-laki itu ada di dekatnya.

"Aku kurang suka filmnya, mungkin karena bukan seleraku. Kamu gimana?" tanya Siwa, dia menoleh sebentar saat mereka sudah keluar dari ruang bioskop.

"Sama. Aku juga nggak begitu suka," kata Shafira. Jelaslah lo nggak suka, lo aja nggak nonton dari tadi! misuh dirinya dalam hati. Selama 90 menit film diputar, mungkin Shafira hanya tau 10 menit pertama dan terakhir.

"Mau makan dulu?" Siwa berhenti tepat di hadapan Shafira.

"Boleh. Kakak mau makan apa?"

Siwa menipiskan bibirnya sembari menyimpan kedua tangan di saku jaket. Kemarin waktu lembur, pikirannya dipenuhi banyak sekali makanan dan ketika disuruh memilih, dia bingung sendiri.

"Jangan bilang terserah," seloroh Shafira.

Laki-laki itu terkekeh. "Sebentar, mikir dulu."

Untung saja mereka bertemu di tempat umum. Setidaknya keramaian dapat membuat sedikit kewarasan Shafira tetap tinggal didiri gadis itu. Entah sudah berapa kali dia merasa ingin terbang ketika berbicara dengan Siwa. Senang dan gugup bercampur menjadi satu.

Selama 17 tahun tidak pernah Shafira merasa dimabuk asmara separah ini. Dia menggilai Siwa karena yakin tak mungkin bisa laki-laki itu ia raih. Tak disangka, semakin ia menyadari betapa menariknya Siwa, semakin lekat laki-laki itu dipikirannya dan kini takdir sedang mempermainkan dirinya dengan memberikan satu momen bersama Siwa. Damn! Shafira akan mencatat hari ini dalam sejarah hidupnya.

"Soto suka, Fir?" tanya Siwa. Sudah lama dia tidak mengonsumsi makanan berkuah tersebut.

"Soto betawi?"

Siwa mengangguk. "Kayaknya di food court ada Soto Betawi H. Aji."

"Ayo, kesana."

Mereka berjalan beriringan menaiki eskalator. Bukan hanya Shafira, Siwa pun ikut merasa gugup sejak mereka bertemu namun pandainya laki-laki itu adalah bisa menutupi dengan baik. Siwa tahu ini sedikit tidak pantas, memiliki perasaan lebih pada murid bimbelnya sendiri dan lagi usia mereka terpaut empat tahun. Bisa-bisanya ia mengencani gadis yang hampir seumuran dengan adiknya.

Siwa tidak ingin terlalu gamblang menyebut hari ini sebagai kencan. Dia tidak mau Shafira menjauh apalagi jadi takut padanya. Dia ingin menjelaskan pelan-pelan agar gadis itu tidak menangkap poin yang salah. Bagaimanapun juga usia sangat memengaruhi cara keduanya berpikir. Siwa tahu, Shafira cukup dewasa untuk remaja seusianya namun tetap saja apa yang ia pikir tepat, kadang harus ia olah kembali untuk dijelaskan pada perempuan itu.

Jujur saja, ajakan tiga hari lalu bukanlah spontanitas. Dia memanfaatkan waktu sesingkat mungkin di halte untuk mempertimbangkan rencana hari ini dan voila! Berhasil. Shafira menerima ajakan darinya tanpa neko-neko. Dia senang, sudah lama tidak merasakan hawa asmara sejak hubungannya dengan sang mantan kandas setahun lalu. Ketika mengetahui Shafira tak lagi menjadi murid di tempat bimbel tersebut, Siwa pun memutuskan untuk berhenti.

Semesta Angkasa | Teenlit ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang