Happy Reading!
Ratusan murid Semesta Angkasa berdesakkan menyusuri tangga yang tak seberapa besar. Satu kata yang menggambarkan situasi saat ini adalah ruwet. Yang ingin naik dan turun tangga saling bertabrakan, belum lagi banyak murid yang dengan seenak jidat berhenti di ujung tangga terakhir hingga menyebabkan kepadatan yang semakin panjang.
Keadaan seperti ini bukan hal asing pada jam pulang sekolah. Lantai satu akan menjelma seperti pasar di pagi hari. Ada yang ingin ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas, yang ingin ke ruang tata usaha untuk bayar SPP, yang ingin melihat informasi di mading, hingga duduk – duduk doang di meja piket seperti yang dilakukan Karen dan Shafira.
“Ini alasan kenapa gue lebih suka keluar kelas pas udah sepi,” ucap Shafira, sambil memandang tumpukan murid Semesta Angkasa.
“Lima menit lagi juga udah sepi,” tambah Karen.
“Nggak ada yang minat lama-lama di sekolah,” lanjut Shafira.
“Emang. Nggak ada apa-apa juga.”
Mereka menghela napas bersamaan lalu tersadar dan saling tatap kemudian tergelak. Kadang kala keduanya sering melakukan hal yang sama tanpa direncanakan. Kalau kata Shafira, ini adalah kekuataan hubungan antara aries dan sagitarius. Karen adalah si kambing dan Shafira adalah si kuda. Tidak tahu apa yang buat cocok tapi selama berteman mereka jarang bertengkar.
“Btw, dengkul lo kenapa dilakban?” tanya Shafira, usai tertawa.
“Lakban? Mata lo dilakban! Ini plester luka, Shafira,” ucap Karen, lalu mendengus. Shafira memang sering mengeluarkan sebutan-sebutan aneh untuk benda yang tidak ia ketahui namanya.
Gadis itu terkekeh. “Sama-sama nempel juga.”
“Koyo juga ditempel,” timpal Karen.
Shafira tergelak. “Jadi kenapa?”
“Nyungsep kemarin,” jawab Karen, pelan. Dia malu jika ada yang mendengar. Sudah kelas 11 jalan saja masih nggak becus.
“Serius? Dimana?” Shafira tanpa mampu menahan tawa lagi.
“Gue nggak yakin bakal ditolong kalau sampai nyungsep di depan lo, Shaf,” ujar Karen.
“Ya iyalah! Gue ketawain dulu baru gue tolong,” seru Shafira.
Karen berdecak. “Bisa-bisanya gue temenan sama orang jahat.”
“Pasti kocak lihat lo nyungsep, anjir. Kok bisa, sih? Padahal lo kalau jalan nunduk mulu perasaan,” kata Shafira, heran.
Karen mendengus dan memutuskan untuk menceritakan detail kejadian kemarin sore. Mulai dari ia berlari demi mengejar Suri dan tidak menyadari tali sepatunya lepas lalu menyebabkan Karen tersungkur hingga terjebak bersama Suri di kantin setelah laki-laki itu membelikan ia plester luka.
“Kok Suri jadi sweet gitu?” tanya Shafira, tak percaya.
“Mana gue tahu. Manisnya cuma beberapa menit doang habis itu jutek lagi. Kasihan kali dia sama gue,” kata Karen.
“Apa mungkin dia udah luluh sama lo?” Shafira mengira-ngira.
“Nggak, Shaf. Kemarin itu dia mendadak jutek kuadrat, dia sempat mau ngomong sesuatu sama gue tapi nggak sempat karena Papa telepon. Sampai sekarang gue penasaran dia mau ngomong apa,” ujar Karen. Dia bahkan masih kepikiran hingga saat ini.
“Kalau perubahan suasana hati sedrastis itu dalam kurun waktu yang singkat, ada kemungkinan dia bipolar nggak, sih?”
Karen langsung menoleh pada Shafira. Mana mungkin Suri mengidap bipolar, memang pada dasarnya dia itu jutek maka tidak mungkin mendadak jadi baik dan manis. Karen yakin hari itu Suri hanya kasihan padanya. Mungkin hati kecilnya tergerak untuk menolong gadis bodoh yang keserimpet tali sepatunya sendiri. Karen juga yakin pasti sehabis itu Suri menyesali keputusannya karena membuat ia terjebak di kantin bersama si gadis bodoh tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semesta Angkasa | Teenlit ✔
Teen Fiction"Setiap gue suka sama orang, gue nggak pernah sadar atau lebih tepatnya memilih untuk nggak menyadari kalau gue punya perasaan suka ke orang tersebut. Karena gue tahu, nggak ada ujung yang baik dari perasaan yang gue punya. Gue sering kali jatuh cin...