18. Manis Banget, Sih!

286 87 4
                                    

Happy Reading!

Karen tidak dapat menahan bibirnya untuk tidak tersenyum saat Suri berjalan ke arahnya sambil sedikit terengah akibat kelelahan setelah bermain basket disiang menuju petang ini. Seluruh kancing kemeja hitamnya—seragam kebanggan Semesta Angkasa—sudah terlepas, menampilkan kaus abu-abu dengan logo band jadul. Wajah laki-laki itu sedikit memerah, kedua pipinya lembab karena keringat begitu juga dengan kedua tangannya.

"Nih!" Karen menyodorkan satu botol air mineral.

"Thank's."

"Jangan dibuat cuci tangan lagi," sela Karen, ketika Suri menerima botol plastik tersebut. Sang laki-laki hanya tersenyum tipis, sebuah adegan konyol yang pernah ia lakui hanya untuk menghindari gadis itu dulu.

"Gue pikir lo udah balik," kata Suri, kemudian ia duduk di sebelah Karen seraya mengistirahatkan tubuhnya.

"Aji bilang lo lagi basket, jadi gue ke sini dulu, deh," ujar Karen. Begitu selesai mengembalikan buku pinjaman ke perpustakan, ia bertemu Aji yang hendak ekskul futsal dan mengatakan bahwa dia melihat Suri sedang bermain basket di lapangan SMA.

"Oh, dia. Lo sama Aji memang sedekat itu?" Suri menoleh.

Karen menipiskan bibirnya lalu mengangguk. "Ya, sama aja kayak gue dan lo."

Ada rasa tidak rela ketika Karen menyamakan posisi dirinya dengan Aji. Entah mengapa ia ingin protes, mengatakan bahwa dia dan Aji jelas berbeda namun Suri tidak punya alasan yang masuk akal.

"Lo ingat, nggak, waktu pertama kali kita ketemu?" tanya Karen, tiba-tiba.

"Di kelas gue," kata Suri.

"Betul. Kejadian itu udah sebulan yang lalu dan gue nggak nyangka kalau 30 hari dari hari itu, gue bisa duduk sedekat ini sama lo," kenang Karen. 30 hari ke belakang memang cukup membuat gadis yang hidupnya biasa-biasa saja itu sedikit senam jantung.

"Perlu banget kita bahas soal itu? Gue lebih suka kita bahas hari ini atau besok," ujar Suri, sambil memainkan tutup botol.

Karen menoleh. "Memang kenapa? Lo masih kesal sama gue?"

Suri menggeleng pelan, tatapannya masih lurus ke gedung universitas Semesta Angkasa. "Bahas masa lalu cuma bikin gue takut. Orang kalau udah mulai bahas masa lalu atau nostalgia, tandanya mereka udah nggak pernah merasakan euforia kayak gitu lagi."

"Kata siapa?" sanggah Karen.

"Gue, barusan."

Karen mendengus.

"Lo udah tahu mau kuliah dimana, Ren?" tanya Suri, kali ini sambil menatap mata lawan bicaranya.

Gadis itu hanya menggeleng. "Masih jauh kali, lagian-"

"Nggak jauh. Begitu lo masuk kelas 12, lo harus fokus buat UN dan milih jurusan kuliah. Pikirin dari sekarang supaya lo nggak salah jurusan. Lo udah nggak ada waktu buat mikirin minat dan bakat ketika lo udah kelas 12," potong Suri, tegas. Laki-laki ini benar-benar cocok jadi bapak muda.

Karen menghela napas kemudian menyandarkan punggungnya ke besi kursi. "Sejujurnya gue juga nggak tahu mau masuk apa. Gue nggak punya minat, semua jurusan nggak ada yang tepat buat gue."

"Kalau gitu cari yang berpotensi tepat buat lo. Jangan sia-siain fasilitas yang lo punya. Kalau merasa terbebani, nggak usah kuliah sambil kerja. Fokus aja buat kuliah," saran Suri. Bolehlah dia berkata begitu, toh dia hidup satu tahun lebih dulu dari Karen.

"Tapi pengin kerja juga. Mumpung masih fresh otak gue habis PKL, ilmunya belum luntur," ujar Karen. Dia ingin sekali bekerja tetapi dia juga takut tak bisa menyanggupi dua kewajiban sekaligus.

Semesta Angkasa | Teenlit ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang